Minggu pagi (4/5/2025), suasana di kawasan Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo, memanas. Sejumlah sopir jip wisata mendatangi kantor Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) untuk menyuarakan kekecewaan mereka.
Sopir-sopir itu menilai manajemen wisata, khususnya sistem masuk kawasan dengan scan barcode, sangat tidak efisien dan merugikan. Kerugian itu dirasakan tidak hanya oleh pelaku wisata, tetapi juga para wisatawan.
Choirul Umam, salah satu sopir jip, mengungkapkan bahwa antrean panjang akibat sistem barcode membuat wisatawan telat menikmati momen utama, yakni sunrise di Bromo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini antre dari jam tujuh pagi, padahal kita sudah berangkat dari jam satu malam. Baru lolos antrean jam lima. Tiket naik, tapi sistemnya masih begini. Petugas cuma satu, antrean ratusan," keluh Choirul dikutip dari detikJatim, Senin (5/5/2025).
Sejatinya, penerapan tiket TNBTS dengan barcode itu bukan langkah baru, yakni mulai Desember 2019. Dalam pelaksanaannya cara itu dikeluhkan. Antrean pengunjung kerap mengular, apalagi jika musim liburan.
Masalah bertambah setelah sejak 1 Januari 2020 pemesanan tiket TNBTS dilakukan secara online. Rombongan yang menggunakan EO atau jasa travel juga diwajibkan menggunakan sistem booking online sejak 1 Desember 2019.
Kemudian, semua wisatawan masuk ke kawasan TNBTS dengan cara scan barcode yang didapat saat pemesanan online. Scan barcode dilakukan di Pos Tiket yang ada di Cemoro Lawang. Pelaksanaannya bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu scan mandiri oleh wisatawan atau pelaku jasa wisata yang sudah membeli tiket secara online atau scan barcode dilakukan oleh petugas.
Dalam pelaksanaannya, cara itu menyebabkan antrean panjang. Bahkan, antrean jip mencapai 5 kilometer, mulai Pos Tiket di Cemoro Lawang sampai di Pendapa Agung Desa Ngadisari.
Tiket Naik tapi Fasilitas Tak Membaik
Masalah lain yang disuarakan oleh sopir jip kepada TNBTS adalah minimnya fasilitas di kawasan wisata. Meski tarif masuk sudah naik, fasilitas seperti toilet masih terbatas. Mereka mengusulkan agar sistem pembayaran diperbarui, misalnya dengan model e-toll agar lebih cepat dan praktis.
"Pelaku wisata tidak masalah dengan harga tiket, tapi tolong manajemennya dibenahi. Fasilitas juga perlu ditingkatkan," kata dia.
Keluhan serupa datang dari Edi Purwanto, sopir lain yang menyebut bahwa sistem itu justru memperburuk pengalaman wisata. Antrean bahkan bisa mengular hingga Desa Ngadisari, meskipun bukan musim liburan.
"Kalau hari biasa saja sudah macet, bisa dibayangkan kalau pas ramai. Orang kantor mungkin tidak lihat langsung di lapangan, tapi kami yang kena marah pengunjung," ujar dia.
***
Artikel ini sudah lebih dulu tayang di detikJatim. Selengkapnya klik di sini.
(fem/fem)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Ada Apa dengan Garuda Indonesia?