Jepang kembali mencatat rekor jumlah kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun ini. Namun, di sisi lain juga risau dengan overtourism.
Setelah menerima 36,9 juta wisatawan mancanegara sepanjang 2024, Jepang kembali kedatangan 21,5 juta pengunjung hanya dalam enam bulan pertama 2025. Turis-turis asing itu membelanjakan total 8,1 triliun yen atau sekitar Rp 866,7 triliun. Nominal itu menjadi jumlah tertinggi dalam sejarah Jepang.
Mengutip CNA, Jumat (3/10/2025) fenomena itu menjadi berkah ekonomi, namun di saat bersamaan menimbulkan tekanan sosial dan budaya, terutama di kawasan wisata populer seperti Tokyo, Kyoto, dan Kamakura.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Kamakura yang merupakan kota kecil berpenduduk 170 ribu jiwa, rata-rata 44 ribu wisatawan datang setiap hari.
Anggota Dewan Kota, Ayako Maekawa, mengatakan jumlah wisatawan yang berlebihan itu membuat warga lokal tidak nyaman. Buat warlok, kota terasa semakin sempit, fasilitas umum berebutan dengan wisatawan asing.
"Ke mana pun Anda pergi, bahkan di jalan-jalan kecil, selalu ada orang di sekitar. Kebanyakan dari mereka adalah turis asing. Itu fakta yang tak bisa kita bantah lagi," ujar Ayako.
Ledakan jumlah wisatawan itu menyebabkan berbagai masalah, mulai dari kemacetan di transportasi umum hingga ketidaksopanan budaya. Bus umum di Kamakura penuh sesak, bahkan warga lanjut usia kesulitan naik untuk ke rumah sakit.
Survei Ernst & Young pada 10 destinasi wisata di Jepang menunjukkan bahwa sekitar separuh warga merasakan dampak negatif pariwisata. Di Kyoto, akses ke distrik geisha Gion dibatasi. Di Fujikawaguchiko, tirai hitam dipasang demi menghalangi pemandangan Gunung Fuji yang terlalu sering dijadikan latar foto.
Meski demikian, pemerintah Jepang tetap menargetkan 60 juta wisatawan per tahun pada 2030. Dosen Geografi di Universitas Ryutsu Keizai, Kazuki Fukui, menjelaskan dengan adanya kunjungan wisatawan, sisi baiknya mampu menopang ekonomi di wilayah tertentu.
"Krisis populasi menurunkan jumlah konsumen dan tenaga kerja. Wisatawan asing bisa mengisi kekosongan itu, khususnya di pedesaan," kata Kazuki.
Daya Tarik Sosial Media dan Yen yang Melemah
Jepang menjadi destinasi unggulan di media sosial. Lanskap kota yang cemerlang, kuil kuno, hingga puncak bersalju menjadikannya favorit para konten kreator. Nilai tukar yen yang melemah, maskapai murah, dan kemudahan visa juga menjadi pemicu ledakan turis.
"Orang-orang menunggu 30 menit hanya untuk naik bus," kata pakar Studi Jepang dari Universitas Nasional Singapura, Chris McMorran.
![]() |
Jepang dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi budaya, di mana norma sosial tidak selalu dijelaskan secara eksplisit. Bagi turis asing, hal tersebut kerap menimbulkan salah paham. Contoh sepele seperti menggiring koper di jalanan sempit bisa dianggap mengganggu.
"Itu seperti berjalan dengan sepatu di dalam rumah," kata McMorran.
Masalah lainnya adalah suara keras di transportasi umum. Pengelola biro wisata, Hiroshi Mizutani, pernah harus mengantar kliennya yang merupakan direktur asal China keluar dari kereta cepat karena berbicara lantang di telepon.
Ketidakpahaman budaya bahkan mendorong beberapa tempat usaha menghindari turis. Di Kyoto, sebuah restoran memasang tanda 'tidak ada lowongan' dalam bahasa Inggris, namun bertuliskan 'silakan masuk' dalam bahasa Jepang. Aksi ini viral di media sosial.
Jangan Hanya Tokyo dan Kyoto
Sebagian besar turis menumpuk di lokasi populer. Tokyo menyerap lebih dari separuh total kunjungan, sementara Prefektur Shimane hanya menerima 0,2%. Kota resor Kiyosato, misalnya, menawarkan pemandangan alam indah dan susu sapi Jersey, namun objek wisatanya kurang terawat.
"Saat orang datang, mereka malah merasa sedih," kata pengelola restoran tertua di kota tersebut. Kiyomi Dewa.
Manajer hotel Nipponia Kosuge Village, Takuma Furuya, adalah contoh generasi muda yang pulang kampung demi membangun pariwisata desa.
"Saya ingin berkontribusi untuk desa saya," kata Takuma.
![]() |
Kini, hotel tersebut meraih pendapatan tahunan 30 juta yen dan lebih dari 90% tamu mengenal desa melalui hotel tersebut.
"Banyak yang pindah ke desa ini setelah sebelumnya datang sebagai turis," ujar Takuma.
Menuju Pariwisata Berkelanjutan
Dalam 10 tahun terakhir, belanja wisatawan asing di Jepang meningkat lima kali lipat, bahkan melampaui ekspor semikonduktor dan baja.
Namun, keberlanjutan menjadi tantangan utama. Untuk mengelola keramaian, banyak tempat menerapkan sistem reservasi daring, izin kunjungan, hingga tarif masuk.
Gunung Fuji kini membatasi jalur pendakian Yoshida hanya untuk 4.000 orang per hari, disertai biaya 4.000 yen dan kursus keselamatan singkat.
Kepala Dinas Pariwisata Prefektur Yamanashi, Yoshiyuki Koizumi, menjelaskan melakukan tindakan tersebut adalah bentuk yang paling sederhana untuk memberikan dampak yang baik bagi pariwisata Jepang.
"Mengurangi jumlah pengunjung dan menjaga lingkungan akan menciptakan pariwisata berkelanjutan," jelas Yoshiyuki.
Di sisi lain, Badan Pariwisata Jepang gencar mempromosikan etika wisata yang benar. Bila ada penolakan warga, promosi wisata di daerah tersebut bisa dihentikan.
Simak Video "Video: Rencana Jepang Naikkan Pajak untuk Turis Asing"
[Gambas:Video 20detik]
(upd/fem)
Komentar Terbanyak
Viral WNI Curi Tas Mewah di Shibuya, Seharga Total Rp 1 M
Daftar Negara Walk Out Saat Netanyahu Pidato di Sidang Umum PBB
Wisatawan Bekasi Dicegat Akamsi Cianjur, Pemkab Jamin Wisata Aman dan Nyaman