Budaya minum jamu di zaman modern seperti sekarang sudah mulai terkikis. Butuh perjuangan panjang untuk mengenalkan dan membudayakan jamu ke generasi muda.
Sulinem berjalan sembari menggendong bakul jamu di punggungnya. Perempuan 59 tahun itu tak seperti usianya. Ia masih segar bugar, badan tegap, kulit kencang, meskipun flek mulai bermunculan menghiasi wajahnya.
Setiap sore, tujuh hari dalam seminggu, ia tak pernah libur menjajakan jamu tradisional racikan tangannya. Resepnya selalu sama, peninggalan sesepuh yang ia rawat sepenuh hati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya sudah jualan jamu ini sekitar 43 tahun, soalnya awal jualan jamu di sini (Kelurahan Leuwigajah) itu tahun 1982," kata Sulinem, Selasa (4/11) dikutip dari detikJabar.
Berjualan jamu semenjak masih gadis, hari demi hari ia lakoni sampai akhirnya menemukan tambatan hati. Sulinem menikah dengan suaminya sampai kini dikaruniai delapan orang anak.
"Jadi saya jualan jamu dari zaman harganya segelas itu 25 perak (Rp25), sampai sekarang Rp4 ribu paling mahal. Alhamdulillah bisa menyekolahkan delapan anak, sekarang semua sudah bekerja," kata Sulinem sembari tersenyum.
Ia tak pernah mengeluh, kendati hujan angin langkahnya tetap kokoh. Tubuhnya terjaga, tak cuma karena berjalan puluhan ribu langkah sehari, tentunya karena dopping minum jamu yang ia olah setiap hari.
"Kalau capek ya pasti ada, cuma kan saya juga minum jamunya. Keluarga juga, jadi memang khasiatnya terasa. Jamu kan manfaatnya enggak instan, memang karena rutin, pasti terasa setelah tua," imbuhnya.
Perjuangan Sulinem berjualan jamu gendong selama puluhan tahun, ternyata tidak hanya bisa menghidupi keluarganya tetapi juga bisa melestarikan resep jamu yang selalu sama, peninggalan para sesepuh yang ia rawat dengan sepenuh hati.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu (GP Jamu) Jony Yuwono, mengakui berjualan jamu gendong di zaman sekarang bukanlah sesuatu yang mudah, namun penuh dengan perjuangan.
"Perlu diketahui bahwa menjual jamu gendong di masa sekarang tidaklah mudah, dengan faktor kondisi cuaca yang tidak menentu, udara yang semakin panas dan tekanan hidup dalam keluarga. Kita harus tetap memberikan semangat dan dukungan agar tetap bertahan dalam setiap situasi dan kondisi," kata Jony.
Untuk makin memberikan semangat, Acaraki Jamu Festival (AJF) 2025 pun digelar di Taman Fatahillah Kota Tua Jakarta, Minggu (16/11). Melalui acara ini, jamu tidak lagi sekadar minuman tradisional, melainkan ikon budaya yang menyatukan kesehatan, kearifan lokal, dan jati diri bangsa.
Acaraki Jamu Festival Foto: (dok. Istimewa) |
Dalam acara yang diikuti 400 peserta itu, ada beragam kegiatan yang menggugah semangat perjuangan dan cinta budaya seperti fun walk, karnaval permainan, estafet nusantara, peluncuran Shadow of The Light hingga petisi aksara nusantara.
Jony menilai sosok penjual jamu gendong harus menjadi contoh teladan tentang kegigihan perjuangan, mulai dari persiapan pembuatan dan pengolahan jamu, lanjut menjualnya dengan menempuh jarak yang cukup panjang dan jauh, dengan membawa botol jamu di pundaknya, sehingga bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda.
"Kita berharap masyarakat Indonesia dapat meniru semangat mereka, semangat perjuangan mereka untuk kesehatan masyarakat dan keluarganya," ucapnya.
(wsw/wsw)













































Komentar Terbanyak
KGPH Mangkubumi Bantah Khianati Saudara di Suksesi Keraton Solo
PB XIV Purbaya Hadiahi Kenaikan Gelar buat Pendukungnya, Tedjowulan Merespons
Keraton Solo Memanas! Mangkubumi Dinobatkan Jadi PB XIV