Konflik antara manusia dan gajah di Tesso Nilo terus menjadi sorotan publik. Meski situasinya kompleks, para ahli menegaskan bahwa koeksistensi sebenarnya dapat dicapai asalkan pengelolaan kawasan dilakukan secara berkelanjutan dan konservasi dijalankan dengan serius.
Konsep hidup berdampingan antara manusia dan gajah dinilai menjadi fondasi utama penyelesaian konflik di Taman Nasional Tesso Nilo (TNN). Guru Besar Bidang Biologi Konservasi FMIPA Universitas Sriwijaya, Prof. Dr. Arum Setiawan, S.Si., M.Si., C.EIA, menegaskan bahwa harmoni antara masyarakat lokal dan satwa bisa dicapai melalui pengelolaan kawasan yang benar dan kolaborasi berbagai pihak.
Menurut Arum, koeksistensi dapat terwujud jika ruang jelajah gajah tetap terjaga dan masyarakat difasilitasi untuk memperoleh mata pencaharian tanpa merusak hutan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sangat memungkinkan manusia dan gajah hidup harmonis. Bahkan gajah bisa jadi sumber pendapatan melalui ekowisata. Kuncinya adalah kolaborasi, penegakan hukum, dan pengelolaan habitat yang tepat," ujarnya, dihubungi detikTravel, Minggu (29/11/2025).
Namun, kenyataannya hal ini memberikan tantangan besar. Kerusakan habitat gajah di Tesso Nilo semakin parah, terutama akibat alih fungsi kawasan hutan menjadi pemukiman dan perkebunan sawit ilegal.
Padahal, TNTN adalah kawasan hutan lindung sebagaimana ditetapkan dalam SK Menteri Kehutanan No. 255/Menhut-II/2004, yang kemudian ditegaskan kembali dalam SK Penetapan No. 6588/Menhut-VII/KUH/2014 dengan total luas 81.793 hektare.
"Kawasan itu jelas habitat alami gajah dan satwa lain yang seharusnya bebas dari aktivitas perambahan," jelas Arum.
Di sisi ekologis, perubahan tutupan lahan memberikan dampak besar terhadap pola hidup gajah. Ia menjelaskan bahwa alih fungsi lahan menyebabkan gajah kehilangan pakan alami. Gajah sumatra membutuhkan sekitar 300 kg pakan per hari, serta keberadaan salt lake sebagai sumber garam untuk bertahan hidup. "Kalau habitatnya rusak, dipastikan akan mempengaruhi pola hidup dan perilaku gajah," jelas Arum
"Selama ini yang terlihat hanya gajah merusak kebun, padahal mereka juga sangat dirugikan. Itu kan rumah mereka. Ketika rumah mereka berubah, mereka mencari tempat baru untuk makan," dia menambahkan.
Ia menegaskan bahwa kebijakan pengelolaan saat ini masih lemah pada tahap implementasi. Peraturan sudah ada, namun belum dijalankan secara menyeluruh di lapangan, termasuk keterbatasan anggaran dan kurangnya koordinasi antarlembaga.
Arum juga menyoroti adanya indikasi kepentingan khusus, dimana perambahan lahan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat kecil, tetapi juga oleh pihak berkepentingan. Luasan kawasan kebun hingga puluhan hektare dan penggunaan alat besar seperti excavator menunjukkan adanya pihak tertentu yang ikut bermain. Ia bahkan mendorong investigasi terhadap persoalan ini.
"Kerusakan paling besar disebabkan oleh masuknya masyarakat dan pembukaan kebun sawit ilegal. Di satu sisi masyarakat memang butuh tempat mencari penghasilan, tapi kawasan ini jelas kawasan hutan lindung yang tidak boleh diganggu," jelas Arum.
Arum menilai bahwa solusi tidak bisa hanya berfokus pada sanksi, namun harus mengedepankan kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, akademisi, NGO, dan pemangku kepentingan lain. Ia menyebut pendekatan ini dengan konsep ABANG (Akademisi, Business, NGO, Goverment).
"Semua pihak harus duduk bersama. Masyarakat perlu diajari cara mitigasi di sekitar jalur jelajah gajah dan difasilitasi agar tetap bisa memperoleh penghasilan tanpa merusak hutan," ujarnya.
Arum menegaskan bahwa jika semua pihak berkomitmen memperbaiki tata kelola, memfasilitasi masyarakat, dan menjaga kawasan konservasi, maka konflik dapat ditekan dan harmoni antara manusia dan satwa dapat terwujud.
(fem/fem)












































Komentar Terbanyak
Sumut Dilanda Banjir Parah, Walhi Soroti Maraknya Deforestasi
Viral Tumbler Penumpang Raib Setelah Tertinggal di KRL, KAI Sampaikan Penjelasan
Bandara IMIP Disorot, Morowali Punya Berapa Bandara Sih?