Pakar ekologi Institut Teknologi Bandung (SITH ITB), Prof. Dr. Tati Suryati Syamsudin, M.S., DEA, memperingatkan bahwa gajah sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, terancam. Menurutnya, regulasi konservasi memang ada, tetapi pemerintah dinilai lamban bertindak, sementara masyarakat di sekitar taman nasional mulai merasakan dampak konflik satwa dan lahan.
Sebagian lahan TNTN kini ditanami sawit, termasuk yang akan segera panen, memperumit pemulihan ekosistem. Tati menyoroti konflik yang muncul ketika masyarakat merasa dirugikan akibat pengembalian lahan ke kawasan konservasi, sedangkan izin dan regulasi di lapangan belum jelas, sehingga situasi kian kompleks.
"Upaya penanganan kerusakan di Tesso Nilo tidak semuanya bisa tertangani, meski pedoman regulasi sudah tersedia," ujar Tati, yang juga menjabat sebagai ketua Kelompok Keilmuan Ekologi Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, itu di situs itb.ac.id, dikutip Minggu (7/12/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tati menekankan bahwa sudah saatnya pemerintah mengambil langkah yang tegas, yakni dengan memperjelas regulasi, menegakkan aturan, serta melibatkan masyarakat lokal dalam konservasi dengan pendekatan yang memberi manfaat ekonomi dan sosial.
"Konservasi tidak bisa berjalan sendiri. Pemerintah harus menjadi pengawal utama sekaligus fasilitator kerja sama antara pengelola kawasan, peneliti, dan masyarakat," ujar dia.
Dia menyebut bahwa masyarakat lokal juga harus digandeng dalam upaya konservasi. Agar langkah itu efektif maka pemerintah harus piawai melakukannya dengan pendekatan yang relevan dengan kebutuhan dasar mereka, misalnya dengan menciptakan aktivitas yang memberikan manfaat ekonomi dan sosial.
"Masyarakat lokal harus diajarkan arti konservasi. Mereka memiliki kebutuhan primer, sehingga harus ada aktivitas yang memberi manfaat langsung," kata Tati.
Belakangan, konflik antara warga dan TNTN kian meningkat. Gajah sumatera, yang ruang jelajahnya menyempit akibat kerusakan hutan, kerap masuk ke perkebunan dan pemukiman, menimbulkan kerugian bagi masyarakat sekaligus risiko bagi satwa.
Sebagai respons, pengelola TNTN mulai melakukan program relokasi gajah ke area yang lebih aman di dalam taman nasional. Upaya ini bertujuan mengurangi konflik dengan warga sekaligus menjaga kelangsungan hidup satwa, meski tantangan terkait lahan dan koordinasi dengan masyarakat masih membutuhkan perhatian serius.
Pemulihan Ekosistem Tidak Bisa Instan
Tati mengatakan pemulihan ekosistem membutuhkan waktu panjang dan konsistensi.
"Reklamasi lahan bekas tambang saja baru menunjukkan hasil setelah 15-25 tahun. Jadi memang tidak sesederhana itu," kata dia.
Tati menyampaikan bahwa dinamika lingkungan di Tesso Nilo memperlihatkan betapa erat hubungan antara kesehatan ekosistem dan ketahanan wilayah terhadap bencana.
Dia berharap peristiwa banjir belakangan ini menjadi momentum untuk memperkuat upaya menjaga daya dukung alam dan mendorong pengelolaan lingkungan yang lebih berkelanjutan.
Tati mencontohkan keberhasilan konservasi dengan pelibatan masyarakat, yakni pengelolaan Tangkahan di Sumatra Utara, yang juga habitat gajah. Tati mengatakan masyarakat lokal mampu mengelola hutan melalui ekowisata dan konservasi.
Tati juga mencontohkan model pemberdayaan masyarakat berbasis riset seperti yang dikembangkan oleh Ibu Rahayu Oktaviani, penerima penghargaan Whitley Award 2025 atas dedikasinya dalam konservasi primata endemik Pulau Jawa, yaitu owa jawa.
"Contoh pengelolaan yang baik sudah ada. Tantangannya adalah bagaimana kita mengimplementasikannya," ujarnya.
Simak Video "Video: Hiks, Anak Gajah Tari Ditemukan Mati di TN Tesso Nilo"
[Gambas:Video 20detik]
(fem/fem)












































Komentar Terbanyak
Foto Tumpukan Kayu Gelondongan di Pantai Padang dan Danau Singkarak
Turis Asing di Kertajati Turun, Dedi Mulyadi: Penerbangannya Kan Nggak Ada
Temuan Kemenhut Soal Kerusakan Hutan Sumatera, Bukan Cuma Faktor Cuaca