Materialisme Dialektika Historis, itulah yang terlintas di kepala saya ketika mengunjungi museum Bikon Blewut. Sebuah museum yang terletak di area Sekolah Katolik, tepatnya Sekolah Tinggi Filsafat Katolik di Ledalero. Museum ini terletak di atas perbukitan Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka. Berada di perlintasan jalan antara Maumere menuju Ende.
Melihat Flores dari lampau, julukan bagi saya untuk museum ini. Karena memiliki berbagai fosil dan artefak dari jaman batu, megalitikum, artefak - artefak tentang kebudayaan yang ada di Pulau Flores ini. Kita akan terbawa pada masa prasejarah dan sejarah dimana manusia itu menjadi ada di muka bumi ini. Dengan melihat himpunan barang -Β barang koleksi museum. Bikon Blewut sendiri maksudnya adalah, sisa - sisa dari yang punah atau purba.Benda - Benda di dalam tempat ini mulai dikumpulkan mulai tahun 1965 oleh Pater Verhoeven, seseorang dari Ordo SVD. Pater yang sepertinya dia juga seorang arkeolog, antropolog dan sosiolog menurut saya. Perjuangan Pater Verhoven dilanjutkan oleh Pater Piet pada tahun 1980an.
Di dalam "rumah masa lalu" ini, kita dapat melihat fosil - fosil hewan purba. Seperti Stegodon Flores yang berusia 300.000 tahun sebelum masehi, yang diketemukan di daerah Olabula, Mengeruda, Matamenge, Boaleza di wilayah Bajawa. Alat perkakas - perkakas maunsia purba yang masih dalam bentuk material batuan. Dan disisi lain dari museum ini, kita dapat melihat sebuah gambar yang menceritakan tentang peta persebaran manusia purba dengan nama - namanya di belahan dunia lain. Sisi lain dari dinding museum terpampang sebuah frame foto yang berisi tentang proses penggalian fosil purba Proto Negrito Florensis beserta hasil temuan kala itu.
Museum ini tidak hanya menceritakan tentang kehidupan jaman purba, tapi juga menampilkan hasil dari cipta , rasa dan karsa orang - orang Flores. Yaitu bisa dilihat dalam bentuk koleksi foto tentang motif - motif tenun ikat Flores. Yang dimana di setiap wilayah di Flores, memiliki motif dan warna - warni yang berbeda antara satu sama lain. Dalam hal bahasa pun juga berbeda - beda antara satu wilayah dan wilayah lainnya. Itu tergambar dalam sebuah peta linguistik yang dimiliki oleh museum ini. Soal bahasa, saya pernah membuktikan sendiri ketika berkunjung ke pulau Lembata. Dimana setiap desa yang ada di pulau itu, bisa memiliki bahasa sendiri - sendiri. Sangat rumit sekali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komentar Terbanyak
Kronologi Penumpang Lion Air Marah-marah dan Berteriak Ada Bom
Koper Penumpangnya Ditempeli Stiker Kata Tidak Senonoh, Transnusa Buka Suara
Tanduk Raksasa Ditemukan Warga Blora, Usianya Diperkirakan 200 Ribu Tahun