Jumat (5/10/2012) sore itu, tidak banyak waktu saya di Simpang Lima, Semarang. Tinggal menunggu mobil yang akan membawa saya ke Magelang. Alih-alih bengong, lebih baik saya menunggu di tempat yang asyik.
Kaki pun melangkah menuju Lawang Sewu. Inilah bekas kantor pusat kereta api Belanda, Nederlandsche Indische Spoorweg Matschappij (NIS). Dibangun pada tahun 1904 selesai pada tahun 1907.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika saya adalah Lawang Sewu, terbayang betapa suasana di hadapan saya berubah dalam 105 tahun. Jepang menjadikan ruang bawah tanahnya sebagai penjara. Darah pemuda Indonesia pernah tumpah di depan Lawang Sewu saat Pertempuran 5 Hari di Semarang, 14-19 Oktober 1945.
Pohon-pohon ada yang hilang berganti jadi gedung dan kantor. Kereta kuda yang melintas berubah menjadi motor dan mobil. Sedangkan si Lawang Sewu... sang waktu berhenti berdetak untuknya.
Lampu merah berganti hijau dan motor lantas menderu duluan disusul mobil-mobil dan bis, mengitari Taman Simpang Lima. Roda-roda yang bergulir seperti tidak peduli ada Lawang Sewu di sana, menunggu perhatian mereka.
Sahabat setianya hanya sebuah lokomotif tua bernomor C 23 01 buatan Chemnitz, Jerman, tahun 1908. Berdua, mereka menyaksikan zaman berubah dan mereka bertahan di Simpang Lima. Entah sampai kapan... Tapi dinikmati saja, seperti saya menikmati suasana di depan Lawang Sewu sore itu dengan sederhana.
Saat matahari sore sudah lebih turun, kaki saya pun melangkah pulang. Satu hari lagi akan berlalu untuk gedung berjuluk seribu pintu itu.
(fay/shf)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol