"Ya, Tuhan!" seru saya dalam hati. Yang saya lihat adalah ekor lumba-lumba. Masih tersimpan di benak, mamalia laut itu melompat-lompat kegirangan di Teluk Kiluan, Lampung Selatan. Dan betapa sibuknya saya mengabadikan momen di bulan Juni yang lalu. Kini, dia terbujur kaku dengan luka menganga di bagian punggungnya. Bulu kuduk saya berdiri seketika. Para nelayan segera menurunkan hasil tangkapan ketika perahu mencapai pinggiran pantai. Menariknya jauh dari terjangan ombak.
Dengan cepat air laut berubah warna menjadi merah. Darah hewan malang itu bercampur dengan birunya air laut. Saat mereka sibuk menyimpan perahu di 'garasi', saya dekati lumba-lumba yang badannya telah mengeras. Saya sangat sedih, tapi tidak ada yang dapat dilakukan. Itu sudah tradisi dari leluhur nenek moyang dan kondisi tanah yang berbatu dan keras di Lamalera membuat mereka bergantung dari hasil laut. Hal itu juga menjadi alasan mereka untuk menguburkan jenazah dengan menggunakan semen. Tidak digali dalam tanah seperti pada umumnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(gst/gst)
Komentar Terbanyak
Study Tour Dilarang, Bus Pariwisata Tak Ada yang Sewa, Karyawan Merana
Penumpang Pria yang Bawa Koper saat Evakuasi Pesawat Dirujak Netizen
Koper Penumpangnya Ditempeli Stiker Kata Tidak Senonoh, Transnusa Buka Suara