Nyirih atau mengunyah sirih dan pinang memang bukan hanya kebiasaan milik masyarakat di NTB. Tidak ada yang tahu persis darimana tradisi nyirih bermula, atau bagaimana tradisi ini dapat merata tersebar di seluruh negri. Ketika mengunjungi Suku Bayan di Lombok Utara (10 Oktober 2010) saya berbincang dengan pemangku adat setempat Raden Wira Anom, yang panggilan hormatnya Mamiq (Mami').
Di tengah perbincangan, Mamiq mulai melinting daun sirih. Mengisi lintingannya dengan kapur dan pinang, kemudian dikunyah perlahan. Seperti makan permen karet. Mamiq mengatakan bahwa kegiatan nyirih bisa juga bermakna keakraban. Saya pun memberanikan diri mencobanya.
Saya menggigit ujung potongan buah pinang. Terasa pahit dan kesat. Lalu saya mengunyah lintingan sirih dan kapur. Rasanya berubah sedikit pedas aeperti peppermint. Produksi air liur meningkat, dan air liur menjadi berwarna orens semu merah. Mungkin karena ini pengalaman pertama kali dan saya tidak terbiasa, saya tak tahan mengunyah sirih lama-lama. Padahal Mamiq dan orang tua yang saya lihat sedang nyirih dapat dengan santai nyirih sambil ngobrol. Setelah mengeluarkan sisa daun sirih dan pinang, rasa yang ditimbulkan di mulut seperti sehabis menggosok gigi. Segar, kesat dan terasa bersih. Ini timbul dari daun sirih yang memiliki sifat alami sebagai antiseptik atau membunuh kuman. Mungkin pada zaman dahulu, nyirih memang digunakan untuk membersihkan mulut sebelum mengenal sikat dan pasta gigi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Artikel sebelumnya mengenai Suku Bayan : "Suku Bayan, Mempertahankan Adat Leluhur Tanpa Menolak Pembaruan" http://de.tk/NPhsW (HRA)
(gst/gst)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol