Akankah Tradisi Layangan Daun Serentan Daunnya

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Terryna Padmi Tunjungsari|50863|SULTRA|35

Akankah Tradisi Layangan Daun Serentan Daunnya

- detikTravel
Selasa, 10 Mei 2011 10:50 WIB
SULAWESI TENGGARA - Dalam perjalanan kami di sekitar Raha, Ibu Kota Kabupaten Muna - Sultra, kami beruntung untuk bertemu dengan seorang maestro. Kami sampai di Desa Lahio, tempat tinggal Pak Lasima, terduga sebagai satu-satunya pembuat Layangan Daun yang tersisa di desa ini.

Layangan daun, disebut kaghati dalam bahasa muna, terbuat dari daun kolope untuk badannya. Sedang untuk benangnya terbuat dari serat nanas. Daun ini bercabang tiga, dan memiliki variasi 3 warna berdasarkan tempat tumbuh dan cara memetik/memperolehnya. Sedang tebal serat nanas yang digunakan akan tergantung pada besar layangan. Saat festival layangan terakhir, Pak Lasima menggunakan benang sepanjang lebih dari seribu meter. Benang yang terlihat rapuh ini ternyata cukup kuat untuk bisa menerbangkan kaghati sampai berhari-hari. Bahkan kaghati cukup kuat digunakan sebagai pemegang umpan saat nelayan hendak memancing ikan sori, yang biasa mencari makan di permukaan air.

Pak Lasima bercerita bahwa pembuatan kaghati merupakan kebudayaan turun temurun di daerah tersebut. Bahkan di Desa Kabori, yang terletak tak jauh dari rumah Pak Lasima, terdapat gua (ceruk) yang memiliki gambar sejarah berbentuk layangan. Menurut penelitian ahli sejarah, gambar ini diperkirakan berasal dari abad ke-12. Kecintaan beliau sendiri pada layangan dimulai dari usia 7 tahun. Dan sekarang, saat beliau berusia 50an tahun, beliau masih terlihat sangat bersemangat untuk bercerita dan membuatkan kami sebuah layangan kecil yang di sebut dangkonu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Pak Lasima, ada sekitar 7 jenis layangan yang biasa dibuat. Misalnya kamanumanu, artinya ayam. Layangan kecil berdiameter sekitar 10cm ini dilengkapi dengan benang ayam setiap sayapnya. Biasanya ini digunakan bagi pemula yang baru belajar menerbangkan kaghati. Yang lain adalah dangkonu, yang bentuknya mirip seperti layangan kertas biasa. Saat kami tiba di rumah Pak Lasima, Sela sa, 19 Oktober 2010, terlihat ada satu dangkonu, berukuran 1.3m yang sedang terpajang di ruangan tamu. Layangan inilah yang dibawa beliau saat mengikuti festival layangan internasional di Itali. Ya betul sekali, beliau adalah salah satu maestro layangan Indonesia yang sudah sering diundang ke berbagai acara internasional. Setiap kali beliau kesana, hasil karyanya selalu mendapat antusiasme dari para peserta dan penontonnya. Hal ini terlihat dari banyaknya Kaghati yang sudah dibeli dan disimpan sebagai karya seni di negara lain. Sebagai contoh, kamanumanu bisa terjual di kisaran 500 ribu rupiah, sedangkan dangkonu berukuran 1.3m bisa laku di atas 1 juta rupiah.

Sayangnya, meskipun kaghati mampu memberikan penghargaan internasional dan nilai ekonomis yang tidak kecil bagi pembuatnya, namun penerus kebudayaan ini semakin berkurang. Saya bisa merasakan sedikit kekecewaan dari suara beliau saat beliau bilang hanya satu anaknya yang tahu cara membuat kaghati. Dan bahkan anaknya sekarang tidak lagi membuatnya layangan. Serta anak-anak di daerah ini sekarang lebih senang membuat layangan dari kertas karena lebih mudah. Rasanya sayang apabila keterampilan dan pengalaman puluhan tahun beliau harus hilang punah. Saya berharap, masih akan ada seseorang di masa depan yang mampu bercerita tentang kaghati dengan semangat dan binar mata yang sama seperti beliau.
(gst/gst)

Hide Ads