Apa jadinya jika di sebuah desa tidak ada peraturan tentang pembangunan rumah? Setiap penduduk boleh dan bisa bangun rumah di manapun ada lahan kosong. Lebih aneh lagi, untuk membangun tidak perlu minta ijin, tidak perlu bayar pajak dan tidak perlu surat tanah. Kok bisa?
Bisa saja. Apalagi jika membangun rumah di desa-desa di atas laut di Distrik Teluk Ampimoi, Yapen, Papua. Sesuai namanya, distrik ini terdiri dari beberapa desa yang sebagian besar berada di atas air. Setidaknya ada tiga desa yang 'terendam' air: Desa Karawaipi, Desa Randawaya dan Desa Ampimoi.
Entah bagaimana mulanya desa-desa ini bisa berada di atas air. Padahal, di daratan sana, lahan kosong masih melimpah. Nampaknya mengurai benang sejarah desa-desa 'basah' ini jadi pekerjaan rumah yang menarik. Sayang memang, ketika berkunjung tanggal 18 Oktober 2010 lalu, kami hanya punya waktu sedikit saja. Ditambah kami belum menemukan nara sumber yang tepat saat itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bapak Benny Moay, salah satu pemilik rumah yang saya temui mengaku rumah yang ia buat sekarang sudah berumur hampir dua tahun. Berarti, sebentar lagi saatnya untuk diganti. Memang, tanpa diperlakukan khusus, kayu-kayu ini jadi cepat lapuk dimakan air laut dan panas matahari. Belum lagi Pulau Yapen termasuk daerah langganan gempa. Walau rumah kayu umumnya lebih kuat dari kehancuran, ia tidak kuat dari goyangan samping seperti yang ditimbulkan gempa. Ditambah minus pondasi, pantas saja jika gempa tahun 2004 yang melanda daerah ini hampir meluluhlantakkan rumah-umah di keempat desa di teluk yang super-tenang ini. Hingga kini, masih terlihat beberapa rumah yang miring, hancur bahkan tinggal tiang-tiangnya saja yang menunjuk ke langit.
Saat surut, kedalaman air di teluk ini kadang begitu dangkal hingga bisa dilewati kaki orang dewasa. Tapi, nampaknya orang Teluk Ampimoi sudah terlanjur setia pada sampan-sampan mereka. Ketika kami berkunjung, sampan-sampan berbagai ukuran - semuanya langsing, cukup untuk satu orang - hilir mudik di bawah terik matahari. Sampa-sampan itu begitu perkasa dan tak mengenal lelah. Mulai dari mengantar anak ke sekolah, berbelanja di kios di rumah sebelah, mengambil air bersih di daratan hingga untuk alat bermain anak-anak di sore hari. Tak heran, setiap rumah di Ampimoi ini punya sampan minimal satu buah.
Saat malam, pendaran lampu tempel berkelap-kelip di dinding luar tiap rumah. Walau instalasi kabel listrik sudah tersambung ke tiap rumah, namun ketiadaan genset bikin kabel-kabel ini terlihat ganjil. Beberapa bahkan sudah terburai dan terendam air. Miris memang.
Terlepas kondisinya, keunikan desa-desa ini justru ada pada sikap hidup penduduknya. Tanpa peraturan membangun, mereka tidak lantas baku-pukul (berkelahi). Tanpa perencanaan tata-desa yang jelas, tidak berarti mereka bisa asyik membangun rumah di manapun sebesar apapun.
Ketika berbincang saya sempat bercanda dengan Bapak Benny. "Kalau pendatang seperti saya ingin bangun rumah di sini, boleh?" tanya saya.
Pak Benny mengangguk cepat tanpa ragu. "Yang penting sudah kenal dengan warga sini," jawabnya.
Bisa dibilang itulah yang membuat desa yang terlihat tercerai berai ini tetap satu. Tanpa perlu surat tanah (baca: surat laut) pun, mereka tetap rukun baik ketika membangun rumah maupun ketika tinggal di dalamnya. Karena, walau tiap rumah dipisahkan 'laut' tapi semua orang tetap berkomunikasi. (Endro Catur Nugroho/Endro Catur Nugroho)
Komentar Terbanyak
Koper Penumpangnya Ditempeli Stiker Kata Tidak Senonoh, Transnusa Buka Suara
Kronologi Penumpang Lion Air Marah-marah dan Berteriak Ada Bom
Tanduk Raksasa Ditemukan Warga Blora, Usianya Diperkirakan 200 Ribu Tahun