Kemasygulan itu juga yang kami rasakan ketika berkunjung ke salah satu toko suvenir terbesar di Biak, Iriani Art Shop. Toko ini terlihat penuh sesak dengan barang-barang turistik. Dari kaus buatan Bandung dan Manado hingga gantungan kunci buatan Bali. Dari tas hingga kalung buatan Jogja. Dari patung asmat buatan pengukir Jawa hingga ... ya ... batik Papua buatan Pekalongan.
Sepintas, suvenir-suvenir bertampang Papua ini sungguh menarik. Tapi guratan, sayatan, jahitan, ukiran dan tenunannya terlihat terlalu halus dan rapi untuk Papua. Untunglah, beberapa hari sebelumnya, kami sempat ke Festival Seni Kreasi Papua XI di Lapangan Hanggar AURI, Kota Biak. Di sana, kami melihat hasil karya kerajinan dari beberapa kabupaten di Provinsi Papua. Dari sana lah kami bisa menyimpulkan kalau kerajinan Papua tidak terletak pada kerapian dan kehalusan pengerjaan tapi lebih pada karakter dan jiwa sang pembuat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lain halnya dengan sebuah vas bunga dari Biak. Dari kejauhan, ia terlihat begitu berbeda. Ukirannya sangat sangat kasar. Tidak ada tanda-tanda diampelas sedikit pun. Terlihat sepintas vas bunga ini seperti suvenir setengah jadi. Apalagi tanpa penutup warna seperti suvenir yang lain. Tapi justru kepolosannya itulah yang menghipnotis saya hingga melupakan suvenir lain. Sayang memang, ia tidak dijual.
Dan sayangnya lagi, suvenir-suvenir dengan desain dan metode pembuatan asli khas Papua makin sulit ditemukan. Pariwisata memang seperti koin bersisi dua. Untuk yang ingin mencari suvenir sebagai buah tangan, silakan pergi ke art shop. Jangan harap 'menyatu' dengan barang yang dibeli karena bahkan orang Papua sendiri mungkin akan terheran-heran dengan miniatur tifa yang sangat halus pengerjaannya ternyata dibuat oleh saudara-saudara di Jawa. Tapi jika ingin mencari suvenir (baca: benda seni) yang mampu bercerita lebih panjang dari harganya yang tidak murah dan proses mencarinya yang tidak mudah, kunjungilah kampung-kampung, desa-desa hingga ke pedalaman Papua.
Saya teringat ketika di Bandara Nabire malu-malu menyapa seorang pria Papua dari Enarotali yang ternyata baru 'turun gunung' hanya untuk sekedar mencari tahu kalung yang dikenakannya. "Ini (terbuat) dari batang anggrek. Tidak mahal, tapi tidak boleh saya jual," katanya ramah.
Ia malah menyilakan saya berkunjung ke rumahnya di Pegunungan Jaya. "Tidak ada yang jual (di sini). Di sana ada yang buat. Silakan datang," undangnya.
(gst/gst)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum