Mengenal Suku Dayak Punan Lebih Dekat

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Gigih Gesang|42472|KALBAR 2|38

Mengenal Suku Dayak Punan Lebih Dekat

- detikTravel
Kamis, 28 Apr 2011 10:55 WIB
KALIMANTAN BARAT -

Seharian sudah kami beraktifitas bersama suku dayak Punan, tiba waktunya bagi kami untuk melepas lelah. Setelah mentari turun ke peraduan dan gelap mulai menyaputi seluruh perkampungan, kami menyempatkan diri untuk berkunjung ke beberapa rumah warga. Waktu ini kami manfaatkan untuk bercengkrama dengan keluarga suku yang berdiam di hulu sungai Kapuas ini. Sikap yang ramah menyambut kami layaknya kawan yang sudah lama tak berjumpa. Perbincangan hangat dan santai terjadi yang kami gunakan untuk saling bertukar cerita, informasi mengenai data diri, latar belakang dan aktifitas kami sehari-hari. Dari perbincangan inilah saya mengetahui lebih dalam mengenai suku yang masih diliputi misteri ini.

Nanga Bungan atau Muara Bungan adalah sebuah desa yang merupakan hasil pemekaran dari sebuah desa yang bernama Tanjung Lokang di hulu sungai Bungan. Bisa dibilang, Tanjung Lokang adalah tempat nenek moyang suku dayak Punan berasal. Katanya di desa yang dapat ditempuh dalam waktu tiga jam dengan sampan bermotor ke arah hulu sungai Bungan ini, dapat ditemui goa-goa yang dulu dijadikan kediaman suku dayak Punan. Saat ini memang suku Punan di Tanjung Lokang sudah tidak lagi berdiam di dalam goa,Β  tapi kita masih dapat menyaksikan goa-goa yang dijadikan pemakaman suku Punan, lengkap dengan peti mati dan sisa tengkoraknya. Sayang sekali kami tidak bisa mendatangi desa yang mendapatkan sebutan surga kecil ini, jadi semua hal yang saya sebutkan sebelumnya hanya kami dapatkan dari perbincangan dengan penerus suku dayak Punan di desa Nanga Bungan.

Mohon maaf karena saya tidak bisa melaporkan berdasarkan pengalaman nyata. Semoga saya mendapatkan rezeki berlebih sehingga berkesempatan untuk mengunjungi lagi pemukiman suku yang memiliki kecepatan gerak luar biasa. Konon katanya leluhur suku Punan yang bernama Toseng Loing dapat bergerak secepat kilat. Kecepatan ini menurun kepada generasi suku Punan sekarang, hal ini saya buktikan langsung saat ikut berburu dengan mereka. Hanya dalam hitungan menit, seekor babi hutan dapat mereka kejar lalu kemudian mereka tangkap. Mereka dapat menuruni sebuah bukit hanya dalam hitungan detik, saya adalah saksi hidup kejadian menakjubkan tersebut. Saat berburu saya tertinggal jauh karena tidak dapat mengimbangi kecepatan gerak mereka di dalam hutan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain kecepatan, suku Punan juga dianugerahi kekuatan fisik yang luar biasa, seorang perempuan saja bahkan dapat mengangkat motor perahu berkekuatan 40 PK dengan mudahnya. Padahal biasanya dibutuhkan dua orang pria untuk mengangkat benda berat tersebut. Mungkin kekuatan tubuh yang di atas rata-rata mereka dapatkan dari tempaan alam. Namun menurut penuturan mereka, bentuk tubuh yang kekar sudah sejak lahir mereka dapatkan. Saya mencoba membandingkan ukuran lengan orang dewasa suku Punan dengan tubuh saya, ternyata besarnya hampir menyamai ukuran betis saya. Menyadari hal ini saya sedikit berkecil hati, karena lengan saya hanya setengah dari lengan mereka. Mereka berkelakar bahwa tidak perlu fitness untuk mendapatkan bentuk tubuh layaknya Ade Rai. Sebuah kenyataan yang dengan diam-diam saya amini dan berharap bisa saya dapatkan.

Setelah cukup lama berbagi cerita, saya diajak untuk menikmati kesenian khas suku dayak Punan yaitu musik Sape. Sape adalah sejenis alat musik yang diaminkan dengan cara dipetik. Alunan suaranya sangat merdu dan menghanyutkan. Biasanya Sape dimainkan bila ada acara adat atau untuk menyambut tamu. Setelah asik menikmati alunan suara musik diiringi tarian tradisional, perbincangan kami lanjutkan. Mereka mengatakan meskipun saat ini Sape juga dimainkan oleh sub suku dayak lainnya, alat musik yang memiliki tiga hingga enam buah senar ini adalah alat musik asli suku Punan. Pencipta Sape pertama kali adalah saudara perempuan leluhur suku Punan yang bernama Tali Lunai. Kami tidak bisa membuktikan kebenaran cerita ini karena tidak ada bukti tertulis mengenai hal ini. Cerita ini hanya diturunkan turun temurun dengan budaya tutur.

Dengan pengalaman kali ini saya merasa bahwa tidak ada salahnya mempunyai kebudayaan yang baru sampai tahap kebudayaan lisan. Meskipuan kebenaran cerita sangat sulit dibuktikan, setidaknya masih ada yang dapat diceritakan kepada generasi penerus agar tidak lupa terhadap asal usul dan nenek moyang mereka. Selain itu, cerita ini dapat menghibur tamu yang datang layaknya kami hari ini.
(gst/gst)

Hide Ads