Pepatah yang mngatakan bahwa anjing adalah sahabat terbaik manusia mungkin benar adanya. Setidaknya itu yang saya rasakan saat berburu bersama suku dayak Punan.
Hari kala itu masih pagi. Sinar matahari masih bersahabat dan memberikan kemilau warna biru terang. Kami bersiap untuk melakukan perburuan ke wilayah hutan jauh hulu sungai Kapuas. Ditemani oleh empat orang suku dayak punan asli, kami mengarungi sungai dengan sampan. Selain manusia, sampan kami juga memuat empat ekor anjing pemburu yang akan menemani kami berburu di hutan liar Kalimantan.
Anjing-anjing ini sangat terlatih dan sangat diandalkan dalam perburuan. Keahlian ini sangat dihargai, bahkan membuat anjing-anjing ini mendapat hak yang lebih kurang sama dengan manusia. Mereka tidak boleh disakiti atau dibunuh, bila dilanggar maka pelaku akan terkena hukum adat. Mereka bahkan tidur di dalam rumah bersama tuan mereka. Tapi, perlakuan istimewa ini memang layak mereka dapatkan karena sebanding dengan balasan yang mereka berikan.
Kenyataan ini saya saksikan setelah kami melewati riam delapan. Disepanjang perjalanan melintasi sungai, anjing-anjing ini telah bersiap di sisi kanan dan kiri sampan memperhatikan pergerakan di dalam hutan. Penciuman mereka yang sangat tajam dijadikan andalan untuk membaui babi hutan target buruan. Saya cukup terkejut saat mendengar anjing-anjing ini menggonggong dan berlarian di dalam sampan. Rupanya ini tanda bahwa mereka melihat atau membaui babi hutan di hutan sebelah kanan sampan. Dengan cekatan sampan dipinggirkan lalu kemudian anjing-anjing ini melesat ke dalam hutan.
Setelah mengambil lembing dan tombak dua orang suku Punan yang bernama Edi dan Uren langsung mengejar binatang peliharaan mereka. Saya menyusul mereka di belakang, tapi tidak lama kemudian bahkan bayangan mereka tidak lagi kelihatan. Dengan langkah gontai dan putus asa saya kembali ke sampan. Saya menyadari bahwa saya tidak dapat menandingi suku Punan dalam hal kecepatan berlari di dalam hutan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perjalanan kami lanjutkan menuju tempat mendulang emas di hulu sungai Asiai. Di tempat ini kami melihat bagaimana mereka mendulang emas dengan cara tradisional. Mata pecaharian utama suku yang mendiami pertemuan antara sungai Kapuas dan sungai Bungan ini memang mencari emas. Bila air di sungai Kapuas surut, mesin-mesin yang lebih modern digunakan untuk menyedot pasir dari sungai. Tapi bila air sedang pasang seperti saat ini pekerjaan mencari emas terpaksa harus mereka hentikan. Atau bila mereka terpaksa harus mencari emas karena memang tidak ada pekerjaan lain, maka pencarian emas dengan cara tradisional mereka lakukan.
Pekerjaan mencari emas ini menjanjikan hasil yang sangat menggiurkan. Dalam satu minggu saja mereka berhasil mendapatkan emas hingga puluhan kilogram. Tapi itu memang tidak selamanya terjadi. Hasil ini hanya mereka dapatkan bila mereka berhasil menemukan jalur emas di dasar sungai Kapuas. Bila nasib sedang tidak mujur, bisa saja mereka pulang tanpa mendapatkan hasil. Untuk melakukan pekerjaan ini, mereka rela untuk tidak pulang dan mendirikan gubuk di tengah hutan dan tinggal di sana hingga satu bulan. Sebuah hidup yang penuh perjuangan.
Kegiatan mengikuti aktifitas suku Punan ini memang menarik untuk dinikmati. Tapi jujur saja, saya tidak akan sanggup bila harus hidup seperti mereka.
(gst/gst)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol
Tragedi Juliana di Rinjani, Pakar Brasil Soroti Lambatnya Proses Penyelamatan