Desa di NTT Ini Tak Mengenal Pencuri, Pun Ada Malah Dimodalin
Kamis, 26 Sep 2019 13:35 WIB

irfantraveller
Jakarta - Ke Pulau Timor belum lengkap sebelum mengunjungi Desa Adat Boti. Jaraknya 40 km dari Kota Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi NTT.Desa ini sering ditulis oleh traveler luar negeri. Sebelum pergi kami menyempatkan diri mampir ke sebuah warung yang berada di tepi jalan untuk membeli sebungkus buah pinang dan sirih kemudian kami melanjutkan perjalanan, kondisi jalan dari Soe hingga ke Pasar Niki-Niki.Jalan yang kami lalui banyak berlubang dengan ukuran cukup besar. Jalan itu juga berbatu dan daerah bukit kapur di mana di sisi kiri dan kanan terdapat jurang sehingga perjalanan menuju Desa Boti menjadi pengalaman mendebarkan.Cuaca siang hari di sana amat panasdan bisa bikin sangat melelahkan, debu-debu dan pecahan abu kapur berhamburan mengganggu pernafasan. Bagi kamu yang berkunjung ke Desa Boti menggunakan ojeg sebaiknya menggunakan masker.Namun seluruh kesulitan dalam perjalanan ini terbayar di mana selama perjalanan kita akan melihat lanskap Pulau Timor yang menarik dari beragam jenis-jenis pepohonan tinggi, wilayah perbukitan hijau. Apalagi penulis juga bertemu dengan anak-anak sekolah dasar dengan seragam merah-putih yang baru saja pulang dari sekolah, dengan seyum dan keramahan mereka menyapa penulis.Setelah lebih dari 2 jam berkendara akhirnya penulis tiba di depan pintu masuk Desa Boti. Si ojeg yang berbicara kepada warga desa mengenai tujuan saya untuk menginap dan mendokumentasikan rumah adat dan keseharian masyarakat Desa Boti.Dalam berkomunikasi supir ojeg tersebut menggunakan Bahasa Dawan yang merupakan bahasa asli Pulau Timor. Jadi sangat disarankan untuk menggunakan jasa pemandu lokal yang mengerti Bahasa Dawan ini dikarenakan Suku Boti tidak mengenal Bahasa Indonesia.Dengan diantar bapak tersebut penulis memasuki Desa Boti dan menunggu di teras sebuah rumah yang merupakan kediaman sang raja pemimpin desa ini. Tak berapa lama menunggu datanglah segelas kopi hitam yang hangat bersama piring-piring berisi pisang goreng, jagung dan makanan kecil lainnya yang diantarkan seorang ibu warga desa.Dengan mengucapkan terimakasih penulis pun menyantap makanan yang disediakan. Sekitar 30 menit kemudian datang rombongan turis mancanegara berjumlah 8 orang bersama guide-nya. Soal agama yang dianut, yakni Halaika atau kepercayaan asli wargaUntuk pernikahan ternyata mereka menganut monogami di mana seorang pria hanya akan memiliki 1 istri. Hal lain yang sangat unik adalah para pria dewasa di Desa Boti memiliki rambut yang sangat panjang sehingga mereka menggelung rambutnya ini dikarenakan sesuai kepercayaan. Pria yang sudah menikah dilarang untuk memotong rambut mereka, bila ada warga yang berpindah keyakinan maka dia harus meningglkan Desa Boti.Berbagai kegiatan di sana yakni melihat hasil kerajinan produksi warga desa berupa kain, ikat kepala dan kerajinan lainnya di sebuah rumah yang menjadi tempat penjualan souvenir. Kain tenun yang dibikin secara tradisional itu dibuat kaum wanita.Dari seluruh rumah di Desa Boti, ada sebuah rumah yang tidak boleh difoto maupun divideokan karena menyimpan benda-benda pusaka. Hal yang menarik lainnya yakni mengenai cara menangani pencuri.Bila di tempat lain orang yang kedapatan mencuri akan dihakimi massa dan dibawa ke polisi, di desa ini justru kebalikannya. Mereka tidak akan mengalami hal di atas dan justru sang raja dan warga desa akan memberikan modal sehingga pencuri tersebut bisa berusaha mendapatkan jalan yang baik sehingga tidak perlu mencuri lagi, oleh sebab itu di desa ini aman dari pencurian, tidak pernah ada tamu yang melaporkan kehilangan barang saat tinggal di desa ini.
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol