Sendiri Pakai Motor Menuju dan Menginap di Desa Wae Rebo Flores

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Sendiri Pakai Motor Menuju dan Menginap di Desa Wae Rebo Flores

Gilang Negara - detikTravel
Selasa, 15 Jan 2019 14:50 WIB
loading...
Gilang Negara
Desa Waerebo pada sore itu
Para pengunjung dan warga bermain voli pada sore yang dingin
Interior Rumah Mbaru Niang
Suasana pagi hari di Desa Wae Rebo
Sendiri Pakai Motor Menuju dan Menginap di Desa Wae Rebo Flores
Sendiri Pakai Motor Menuju dan Menginap di Desa Wae Rebo Flores
Sendiri Pakai Motor Menuju dan Menginap di Desa Wae Rebo Flores
Sendiri Pakai Motor Menuju dan Menginap di Desa Wae Rebo Flores
Jakarta - Cerita ini tentang perjalanan menuju Desa Wae Rebo di Pulau Flores. Saya menggunakan motor ketika menujunya dari kota terdekat.Tahun 2015 menjadi tahun pertaruhan saya untuk mencoba mengelilingi Pulau Flores sendirian. Saya mengawali perjalanan ini dari Pulau Flores bagian barat yaitu Labuan Bajo. Hari berikutnya saya melanjutkan perjalanan ke Desa Wae Rebo, Kota Bajawa, Kampung Bena, Kota Ende, Desa Moni, Gunung Kelimutu, dan kembali ke Labuan Bajo untuk selanjutnya pergi ke Kepulauan Komodo.Perjalanan ini hanya melihat dan menikmati Desa Waerebo yang menjadi salah satu ikon pariwisata Nusa Tenggara Timur. Lokasi desa ini terletak di perbukitan Kabupaten Manggarai di Pulau Flores. Kota terdekat dengan desa ini adalah Kota Ruteng.Sekitar pukul 6 pagi saya memulai perjalanan ke arah timur. Perjalanan ini saya tempuh dengan motor sewaan yang saya pinjam pada malam sebelumnya. Jalur yang ditempuh melalui jalan Trans Flores yang cukup baik. Setelah sekitar tiga jam perjalanan, sampailah kita di persimpangan jalan yang mengarah ke Desa Denge.Motor ku arahkan ke arah selatan memasuki jalan dengan aspal kasar. Jalur selanjutnya adalah melalui desa-desa kecil dan mulai memasuki kawasan hutan. Jalan yang dilalui sangat rusak dan berbatu. Ban motorku pun sampai sobek dan harus diganti. Setelah 6 jam mengendarai motor, sampailah aku di Desa Denge. Desa ini menjadi titik awal untuk menuju Desa Wae Rebo.Seluruh kendaraan turis dan pengunjung berhenti di sini. Kita bisa menghubungi Bapak Blasius Monta sebagai pengelola perjalanan menuju desa. Paket kunjungan ke Desa Wae Rebo ini ada dua. Yang pertama adalah paket satu hari dan tidak menginap. Paket lainnya adalah paket perjalanan dua hari satu malam.Paket yang terakhir ini menawarkan suasana sehari-hari dan kita bisa tidur di dalam rumah Mbaru Niang. Setelah beristirahat dan makan siang di rumah Bapak Blasius, saya melanjutkan perjalanan selanjutnya. Kita harus berjalan mendaki dan seperti menaiki gunung. Di tempat beliau juga tersedia guide dan porter apabila ada pengunjung yang membutuhkan. Tetapi hari itu, Pak Blasius mengarahkan saya untuk mendaki sendirian.Jadilah saya mendaki perbukitan itu sendiri. Sebagai informasi, Desa Wae Rebo ini berada di ketinggian 1200 mdpl.Β  Jalur tanah berbatu yang dilalui cukup besar. Banyak petunjuk yang mengarahkan kita ke desa. Jalur ini juga menjadi jalur perlintasan warga sekitar yang beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kita bisa bertegur sapa dengan mereka. Penduduk di sini semuanya ramah. Perjalananku ini menjadi terasa lebih santai dan hangat.Waktu tempuh berjalan dari Desa Denge ke Desa Wae Rebo adalah sekitar tiga jam. Tetapi hari itu, saya berjalan sekitar 2,5 jam. Kondisi cuaca siang itu gerimis. Keringat bercampur rintik air hujan membuat bajuku basah pada saat saya tiba di gerbang masuk desa.Kabut melanda desa di ketinggian ini. Jarak pandang hanya sekitar 10 meter dan udara terasa sangat dingin. Saya langsung menemui penerima tamu di sana dan menjelaskan kedatangan saya. Nama mereka adalah Kak Bona dan Bapak Alex sebagai ketua desa adat.Kemudian saya diajak masuk ke rumah utama untuk melakukan acara adat penerimaan tamu. Setelah selesai, saya diajak masuk ke salah satu rumah Mbaru Niang. Desa Wae Rebo ini menjadi unik karena lokasinya yang terpencil dan bentuk rumah tradisionalnya. Rumah-rumah di sini yang berbentuk kerucut terbuat dari kayu dengan atap dari daun lontar yang digabung dengan atap ijuk yang dikenal dengan Mbaru Niang.Lokasi utama berupa tatanan tujuh Mbaru Niang dengan lapangan di tengahnya. Interior rumah Mbaru Niang berbentuk lingkaran dengan atap berbentuk kerucut ke atas. Ruang dalam rumah tamu ini terbuka dan tanpa sekat. Bagian tengah rumah menjadi tempat berkumpul dan beraktivitas seperti sarapan dan makan malam. Tempat tidur pengunjung berada di sekeliling luar. Tempat tidurnya semacam matras dan kasur tipis dilengkapi dengan selimut tebal dan dua buah bantal. Di dalam rumah ini, semua pengunjung mendapatkan tempat tidur masing-masing.Kemudian saya mulai mencari objek foto. Banyak sudut-sudut desa yang instagramable. Sebut saja bentuk rumah Mbaru Niang, koridor dan ruang antara tujuh rumah tersebut, aktivitas warga dan para ibu-ibu yang sedang menyiapkan makanan, serta bapak-bapak yang sedang menjemur dan memilah kopi. Semuanya menarik.Sore itu, diawali beberapa wisatawan mancanegara, akhirnya para tamu dan penduduk lokal bergabung bermain bola voli di lapangan utama. Aktivitas ini membuat suasana desa menjadi lebih hangat di tengah rintik hujan dan kabut tebal yang turun.Sekitar pukul 18.30, tuan rumah mengundang dan memberitahu kami untuk memulai makan malam. Pengelola membagi kami ke dalam kelompok-kelompok sesuai grup kedatangan. Masing-masing kelompok membentuk lingkaran mengelilingi nasi dan lauk-pauk yang tersedia. Karena saya datang sendiri, maka saya digabung dengan grup keluarga asal Surabaya yang saya dahului tadi di perjalanan menuju ke sini.Begitulah awal pembukaan obrolan kami dengan keluarga Bapak Gunawan ketika hendak memulai makan malam. Selanjutnya saya biarkan Pak Gunawan bercerita soal Sabang dan pengalamannya selama delapan bulan menjadi relawan ketika Aceh dilanda tsunami. Sedangkan saya tetap mengunyah hidangan dengan lahap. Rombongan Pak Gunawan terdiri dari dua keluarga. Orang tua dan anak-anaknya dengan total delapan orang. Selama makan pun, kami banyak bertukar cerita tentang lokasi-lokasi di Indonesia.Semakin malam, saya pun tidak tahan dengan rasa kantuk yang saya dera. Saya memilih tidur cepat untuk pemulihan badan menjelang perjalanan jauh besok hari. Beberapa kelompok wisman ada yang melanjutkan aktifitas mereka dengan bermain kartu. Sebagai informasi, listrik di lokasi ini menyala hanya sampai sekitar pukul 22.00. Setelah jam tersebut, rumah menjadi gelap gulita. Sebaiknya kita membawa senter dan head lamp kalau berkunjung ke sini. Sangat perlu senter kalau pada saat malam kita ingin ke toilet.Pada pukul 06.00 pagi, saya keluar rumah dan menaiki bukit di belakang desa. Di bukit ini ada bangunan dan viewing deck. Lokasi ini berada di ketinggian sekitar 30 meter di atas desa. Tempat ini menjadi lokasi terbaik untuk mengambil foto desa dan seluruh tujuh bangunan Mbaru Niang. Saya pun membuka tripod dan membuat video timelapse. Cuaca pagi itu adalah berawan. Kabut tidak kunjung pergi.Misi memfoto desa ini pada saat matahari terbit tidak tercapai. Saya pun kembali masuk ke rumah tamu untuk bersiap pulang. Selesai sarapan dan berkemas, saya pun berpamitan dengan para mama dan grup keluarga dari Surabaya. Saya bersiap berjalan turun menuju Desa Denge. Tak disangka, kabut berangsur hilang sekitar pukul 08.00. Cahaya matahari mulai menyinari Desa Wae Rebo ini. Saya pun tidak melewatkan suasana. Segera saya kembali naik dan mengambil beberapa foto desa dengan matahari paginya.Perjalanan ke Desa Wae Rebo tidak semudah yang dikira. Kalau cuaca sedang tidak mendukung, kita perlu persiapan yang lebih banyak. Apalagi desa ini terletak di atas perbukitan. Tentunya suhu udara akan berkurang seiring dengan bertambahnya ketinggian.
Hide Ads