Menembus Lebatnya Hutan, Petualangan ke Jantung Borneo

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Menembus Lebatnya Hutan, Petualangan ke Jantung Borneo

Gita Anggraini - detikTravel
Selasa, 22 Jan 2019 10:25 WIB
loading...
Gita Anggraini
Kami yang siang itu berhasil mencapai Puncak Kakam, Gunung Bukit Raya.
Kapal kelotok yang akan membawa kami menyusuri Sungai Samba.
Jeram Sungai Samba dengan airnya yang masih bening dan jernih.
Hutan hujan tropis Kalimantan yang masih terjaga keindahannya.
Ikan sapan yang didapatkan dari sungai.
Menembus Lebatnya Hutan, Petualangan ke Jantung Borneo
Menembus Lebatnya Hutan, Petualangan ke Jantung Borneo
Menembus Lebatnya Hutan, Petualangan ke Jantung Borneo
Menembus Lebatnya Hutan, Petualangan ke Jantung Borneo
Menembus Lebatnya Hutan, Petualangan ke Jantung Borneo
Jakarta - Tulisan ini mengisahkan tentang perjalanan menapaki pekatnya hutan hujan tropis dalam mencapai titik tertinggi Pulau Borneo. Perjalanannya selama tujuh hari tujuh malam.Kesan mendalam, karena ternyata di salah satu sudut Asia masih tersimpan sebuah harapan. Yakni akan kokohnya sebuah adat, hijaunya alam, beningnya air sungai dan merdunya kicau burung-burung.Malam itu, tepat pukul 20.00 WIB kami menyusuri tangga si burung besi yang telah mengantarkan kami ke Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya. Hawa dingin menerpa tubuh karena hujan baru saja berhenti. Kami segera bergegas ke pintu keluar setelah mengambil enam keril berisikan semua keperluan kami untuk menjelajahi hutan Kalimantan. Tepat sampai di pintu keluar, seorang pemuda dari desa di hulu sungai Kalimantan Tengah menyapa kami.Tangannya erat menjabat seakan menjanjikan petualangan seru menuju Puncak Kakam, Gunung Bukit Raya. Setelah sekitar tujuh jam lamanya kami menempuh perjalanan darat, sampailah kami di Desa Tumbang Habangoi, sebuah desa kecil yang terletak di Kecamatan Petak Malai, Kabupaten Katingan. Desa yang penduduknya mayoritas beragama Hindu ini merupakan desa terakhir sekaligus menjadi desa paling ujung yang terhubung dengan jalan darat. Mata pencaharian penduduk di desa kecil itu kebanyakan bekerja di perusahaan kayu yang telah mendapatkan izin dan pengawasan yang ketat dari pihak Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya.Malam itu kami diberi tumpangan menginap di rumah salah satu penduduk. Sebelum upacara adat dimulai, kami bernegosiasi untuk menyewa kapal dan jumlah porter yang akan mengantar kami menapaki pekatnya rimba Kalimantan. Beberapa perubahan jadwal terjadi tetapi dapat segera diselesaikan tanpa ada kendala berarti. Setelah semua beres, pihak kepala adat menyiapkan semua keperluan upacara sebagai tolak bala agar keselamatan kami senantiasa terjaga. Seekor ayam disiapkan untuk disembelih dan dijadikan persembahan.Keesokan hari, kami menaiki tiga kapal kelotok yang telah merapat di pinggir sungai. Kapal-kapal akan dikemudikan oleh para porter yang akan menemani kami untuk beberapa hari ke depan. Dengan kapal itu juga kami mengarungi jeram sungai Samba selama tujuh jam lamanya. Rasanya seru sekali ketika kapal terdorong naik ke atas jeram dan berhasil menaklukkan riam demi riam yang menghadang. Badan kami basah oleh air yang pastinya terpercik atau bahkan terguyur masuk ke dalam kapal kecil yang kami tumpangi.Saat porter sedang beristirahat untuk mengumpulkan napas, kami tak kuasa untuk tidak menceburkan diri ke dalam air sungai. Air yang jernih memantulkan bebatuan dari dasar sungai tempat ikan-ikan kecil tampak berenang kesana kemari seakan menggoda kami untuk menangkap mereka. Kami menggelar camp di Pos Pintu Rimba, sementara hutan hujan tropis Kalimantan yang rapat telah menanti kami di depan sana. Para porter tidur di bawah terpal plastik yang mereka bawa sendiri.Malam itu kami beristirahat sejenak untuk melanjutkan perjalanan panjang yang telah menanti. Kami harus senantiasa fit. Keesokan pagi, kami sudah siap dengan kostum perang: celana legging yang mudah kering. Kami telah diinfokan agar mengenakan celana tersebut karena jalur yang akan kami lalui tidak selalu jalur darat, tetapi kami juga akan menyeberangi banyak sungai. Begitu juga dengan pacet yang akan kami jumpai.Legging akan memudahkan kami mengontrol aktifitas pacet-pacet yang menempel di badan. Pak Boman, guide kami, telah mewanti-wanti akan banyaknya pacet yang akan kami temui sepanjang perjalanan. Apalagi ini musim penghujan, pacet yang keluar dari sarangnya akan bertambah banyak, demikian ujarnya. Kami mulai menyusuri hutan, keluar masuk sungai dan lumpur yang membuat kedua sepatu kami basah kuyup.Satu persatu kawanan pacet hinggap di kaki kami. Kami berusaha membuang mereka, tetapi nanti kawan-kawannya akan kembali loncat masuk ke dalam sepatu. Usaha kami sia-sia belaka. Beberapa porter menggunakan air tembakau yang nampaknya cukup ampuh untuk membuat mahluk-mahluk penghisap darah itu pingsan sejenak.Saat jam makan siang, kami hanya beristirahat sebentar untuk kemudian kembali melangkah. Beraneka ragam pepohonan kami jumpai, terutama pohon meranti yang sudah berumur ratusan tahun. Batang pohon yang lingkarannya membutuhkan pelukan tiga hingga empat orang dewasa itu kerap kami jumpai di kanan kiri jalan setapak. Kami juga sempat menemukan seekor kalajengking seukuran telapak tangan orang dewasa yang bersembunyi di balik dedaunan. Untungnya salah satu porter melihat binatang beracun itu sehingga kami berhati-hati ketika melewatinya.Pada hari kelima, kami berhasil mencapai Puncak Kakam di ketinggian 2.278 mdpl. Titik itu adalah titik tertinggi di tanah Borneo yang terletak tepat di perbatasan antara Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Dua pateho atau tempat meletakkan sesajen tampak di sana, biasanya digunakan para porter untuk memberi persembahan atas keberhasilan mereka. Beberapa ekor tupai berlarian ke sana kemari melangkahi piring-piring sesaji yang bertebaran.Kami berfoto-foto dan tak lupa untuk mengisi perut yang kelaparan. Seorang porter menyalakan api unggun untuk menghangatkan badan. Tak lama kami berada di puncak karena kami harus kembali ke camp dan meneruskan perjalanan kembali ke Desa Habangoi. Selama menjelajah hutan, Pak Boman dan kawan-kawan porter banyak mendapatkan ikan sapan di Sungai Samba. Ikan-ikan itu dibakar, digoreng atau direbus untuk dijadikan santapan kami.Rasa dagingnya yang gurih dan segar membuat kami lahap menghabiskan beberapa ekor. Menurutnya, ikan-ikan itu terkadang dijual ke Malaysia dengan harga yang cukup mahal dikarenakan sulitnya medan yang ditempuh untuk mendapatkan. Pada saat di perjalanan, kami berjumpa sekelompok pemancing ikan dari ibu kota yang menyempatkan diri untuk mendatangi Sungai Samba.Menurut para porter, sungai itu kerap dikunjungi para pemancing di waktu libur atau di hari Sabtu-Minggu. Biasanya mereka menyewa kapal kelotok untuk satu atau dua hari. Mereka akan membuka tenda di pinggir sungai sambil tak lupa menyantap hasil pancingan mereka di hari itu.
Hide Ads