Ada Cahaya Islam di Thailand Selatan
Minggu, 02 Des 2018 10:41 WIB
Sri Debby Eka Lestari
Jakarta - Ada sisi lain Thailand Selatan yang perlu traveler tahu. Di sini, cahaya Islam cukup terasa. Banyak makanan halal dan masjid besar di sana.Selama ini saya hanya mengenal Bangkok dan Pattaya sebagai pusat wisata dan belanja di Thailand dan kotanya para lady-boy. Siapa sangka tujuan awal saya yang hanya ingin menjalankan tugas akhir kuliah, magang dan KKN di Thailand Selatan malah menjadi muslim-travelling dadakan yang sebelumnya tidak ada di dalam schedule saya.Sambil berenang minum air, menyelesaikan magang dan KKN sekaligus belajar tentang sejarah dan liburan. Itulah yang saya dapatkan dan ingin saya bagikan ke sahabat semua mengenai perjalanan saya di Pattani, Yala dan Narathiwat.Pattani, Yala dan Narathiwat adalah provinsi-provinsi yang terletak di bagian selatan Thailand. Tak sering terdengar memang, tapi ada banyak pelajaran sebagai seorang muslim yang bisa kita pelajari di sini.Negeri Melayu yang tersembunyi? Palestina versi Mini? Begitulah deskripsi singkat yang ada di kepala saya saat pertama kali menginjakkan kaki dan melihat kondisi di sana.Pagar kawat dan tentara ada dimana-manaSejarah pemberontakan di masa lalu yang membuat Thailand Selatan dipenuhi dengan pagar kawat dan tentara di sepanjang sudut jalannya. Beberapa foto pemberontak yang masih dicari juga terpasang di jalanan, akan ada hadiah bagi mereka yang bisa menemukan.Walaupun suasana di sana berbeda dengan Indonesia, fasilitas jalan, sekolah dan pendidikan Islam di sini jauh lebih baik. Ada banyak hal yang akhirnya merubah pemikiran saya, Pada akhirnya Thailand Selatan adalah Thailand Selatan. Negeri yang indah dan Islami. Oh ya, ada sejarah Aceh, Indonesia yang saya dapat di sana.Tidak berhelm!Culture-Shock pertama yang saya rasakan ketika memasuki Provinsi Pattani dari Kota Bharu, Malaysia. Kalau sahabat di Indonesia akan merasa was-was saat bertemu petugas karena tidak memakai helm, lain halnya dengan masyarakt Thailand Selatan. Di sini mereka akan merasa was-was dan akan dicurigai petugas saat memakai helm.Pattani adalah Yogyakarta-nya ThailandKalau kita mengenal Yogyakarta sebagai kota pelajar yang banyak diminati oleh pelajar dari luar kota, begitu pula dengan Pattani. Pelajar-pelajar dari provinsi lain datang ke Pattani untuk melanjutkan kuliah mereka.Tangga yang TerpisahSeperti judul FTV ataupun sinetron, begitulah saya memanggilnya. Thailand Selatan dikenal sebagai masyarakat Melayu Muslim yang taat. Kalian tidak akan pernah menemukan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram saling berjabat tangan, dimana ini adalah hal biasa bagi muslim di Indonesia. Bahkan mahasiswa-mahasiswa dan dosen di sana menggunakan tangga yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan.Hal pertama yang akan kita sebagai muslim rasakan saat di sini adalah, betapa indahnya mereka menjalankan syariat Islam. Lantas sudah benarkah saya selama ini?Oh ya sahabat, udara di Thailand Selatan sangat panas namun angin berhembus kencang. Jangan lupa untuk membaca sunblock. Berkunjung ke Thailand jangan sampai melewatkan mencicipi durian. Tidak lupa juga saya mencicipi nasi kerabu khas Thailand Selatan yang berwarna biru.Provinsi kedua tempat saya tinggal selanjutnya adalah Yala. Saya ditempatkan di sekolah Udomsasn Witya Yala. Saya akhirnya menyadari kalau saya sedang berada di Thailand saat saya berada di sini. Kenapa? Karena pelajar di sekolah ini berbahasa Thailand.Memang beberapa diantara mereka ada yang fasih berbahasa Melayu dan Inggris, namun banyak juga yang tidak bisa berbahasa Melayu. Begitu juga guru di sana. Oleh sebab itu untuk menghidupkan kembali Bahasa Melayu, jurusan Bahasa Melayu dibuka di kampus.Guru-guru yang bisa berbahasa Melayu juga mengajarkan siswa-siswa di sana. Cukup sulit untuk berkomunikasi pada awalnya karena mereka malu dan tidak mengerti yang saya bicarakan. Tapi sahabat tahu, bahasa tubuh menjadi pemecah masalah terbaik.Jangan khawatir untuk mengunjungi negara manapun walaupun kita tidak bisa berbicara bahasa mereka, cukup ketahui dasar Bahasa Inggris dan 55% diantaranya gunakan bahasa tubuh, hehe.Masyarakat di Yala sangat ramah. Perempuan di sana anggun dengan hijab syari dan laki-laki yang berpakaian rapi. Mereka putih-putih loh sahabat, jadi iri deh saya yang berkulit coklat. Oh iya, di sini syariat Islam benar-benar dijalankan ya.Untuk hal yang biasanya kita orang Indonesia anggap sepele, tidak terjadi di sini. Seperti tidak pernah ada salaman antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, kemudian guru-guru yang selalu membiasakan siswanya mengaji iqra sebelum belajar. Sedari SD dan anak-anak TK memang dididik secara Islami sejak dini.Contoh lainnnya adalah, laki-laki di sini itu gentle dan to-the-point. Tidak ada pacaran kalau suka langsung datangi rumahnya, minta izin dengan ayahnya. Wah, gentle sekali mereka.Tidak ada kegiatan lain saat malam selain mengaji. Berada di sini mengingatkan saya akan kampung halaman saya saat belum ada listrik. Ya walaupun di sini listrik selalu menyala, tapi suasana saat malam sangat sepi. Para pelajar di asrama berada di masjid sampai selesai Isya.Makanan di Yala murah-murah dan bermacam-macam. Saya berangkat ke Thailand Selatan Agustus 2017, saat itu 1.000 bath setara dengan Rp 400.000. Kalau sabahat membelanjakan uang segitu, sahabat bisa mentraktir satu rt loh. Karena makanan di sini itu murah-murah. Kalau kata kids-zaman-now makanan disini itu affordable-lah.Makanan Thailand Selatan sendiri terkenal dengan rasa asam dan pedasnya, sangat cocok untuk orang Sumatera seperti saya. Emang dasarnya saya ini suka makan.Ada makanan khas Yala yang terlihat seperti Bakso tapi rasa kuahnya seperti perpaduan gado-gado dan rujak. Aneh? Tidak. Saya menyukainya. Selain itu juga ada Mango Sticky Rice. Tapi sahabat, selama di sini saya sangat merindukan tahu dan tempe serta sayuran khas Indonesia.Jangan lupa untuk membeli keripik durian khas Yala. Wajib membeli untuk oleh-oleh. Rasanya itu wow enak sekali. Saya yang tidak suka durian saja sangat menyukai keripik durian ini. Rasanya sama sekali tidak menyengat seperti bau buah durian, rasanya seperti perpaduan antara keripik pisang dan ubi. Entahlah tidak bisa dijelaskan.Namun sayang, saya tidak pernah mengendarai Tuk Tuk, kendaaran khas Thailand. Selama di sini saya selalu didampingi dan diantar oleh pembimbing saya yang berasal dari Yala. Buat saya Yala itu Solo versi Thailand. Makanan murah, masyarakat yang hangat dan bersahaja, dan bikin kangen.Kota wisata Thailand Selatan, NarathiwatTidak ada rencana ke sini tetapi mendapat bonus travelling dadakan. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Pantai Narathiwat. Saya dan tiga teman saya lainnya berkunjung kemari bersama keluarga pendamping kami. Kami dikenalkan dengan keluarga beliau dan diajak berlibur bersama.Perjalanan ditempuh kurang lebih 3 jam dengan mobil. Tahu tidak sahabat? Mobil yang kami gunakan bukanlah jenis mini bus, melainkan mobil bak terbuka. Ya, mobil bak terbuka.Tapi jangan khawatir sahabat, di sini kami tidak akan khawatir terjaring razia polisi lalu-lintas. Di sini bebas dan diperbolehkan bepergian membawa orang dengan mobil bak terbuka, asal jangan lupa passport harus selalu dibawa.Jalanan di Thailand Selatan semuanya sangat mulus, jalanan tol di Indonesia akan kalah karena di sini tidak ada macet-macet. Kenapa? Karena memang tidak banyak kendaraan yang lalu lalang di sini.Dalam perjalanan menuju Narathiwat kami melewati bukit-bukit hijau. Awalnya saya menikmati pemandangan hijau yang sulit untuk dijelaskan betapa indahnya. Namun karena tidak terbiasa duduk dimobil bak terbuka, saya langsung pusing dan lemas alias mabuk.Sebelum tiba di pantai kami mampir ke Masjid Narathiwat, masjid besar di pusat Kota Narathiwat. Masjid ini juga banyak dikunjungi oleh masyarakat setempat ataupun mancanegara. Kami hanya mampir 10 menit dan langsung menuju ke Pantai Narathiwat.Wah, begitu tiba di sana saya langsung terdiam. Saya hanya berpikir karya Tuhan benar-benar menakjubkan. Saya selalu menyukai pantai itulah kenapa saya mengagumi karya Tuhan yang satu ini.Sahabat wajib mengunjungi pantai ini saat ke Narathiwat. Pantainya sangat indah, pasirnya halus, dan banyak yang menjual pakaian dan makanan khas Thailand. Oh ya, sahabat juga bisa menikmati bekal dan bersantap siang di sini.Sebelum kembali ke Yala, tempat terakhir yang wajib kita masyarakat Indonesia kunjungi adalah Masjid tertua yang ada di Narathiwat. Di sinilah sejarah Islam mulai diceritakan. Di sini lah kisah masa lalu yang menyakitkan akhirnya saya dengar. Masjid itu adalah Masjid Telok Manok.Berdasarkan cerita dari pendamping saya, masjid ini dibangun dengan bantuan orang-orang Aceh yang datang ke sini. Orang-orang Aceh juga yang menjadi bagian penyebaran Islam di Thailand Selatan.Masjid ini dibangun dengan kayu dan papan yang masih bertahan hingga saat ini. Bentuknya hampir sama seperti Rumah Gadang di Padang. Saya menyempatkan shalat di sini. Saya takjub dan terharu dengan sejarah yang diceritakan pendamping saya.Sebelumnya beliau tidak pernah mau bercerita banyak hal mengenai sejarah pemberontakan ataupun Melayu muslim di masa lalu. Pendamping saya mulai menceritakan tentang bagaimana dahulu pelopor muslim Thailand Selatan banyak ditangkap dan disiksa hingga terbunuh di sini. Sejak itulah Melayu muslim tidak memiliki citra yang begitu baik dan dikenal sebagai pemberontak.Walaupun tidak semua dari korban-korban itu adalah orang jahat. Mereka juga orang Thailand yang hanya berbeda keyakinan dengan mayoritas pemeluk agama lain di sana. Saya mulai berpikir betapa beruntungnya saya hidup di Indonesia, tetapi juga betapa tidak cukup bersyukurnya saya selama ini kepada Tuhan.Malam tiba dan kami kembali ke YalaInilah part terakhir travelling dadakan yang diberikan ke saya dan teman-teman sebagai perpisahan dengan guru-guru dan pendamping saya di Udomsasn. Kami diajak berlibur ke Khlong Hae Floating Market. Pasar apung dan pusat wisata yang terletak di Provinsi Hatyai.Banyak turis asing yang juga berkunjung di sini. Ada banyak sekali makanan khas Thailand yang dijual di sini dan transaksi di atas perahu adalah daya tariknya. Selain makanan, ada banyak tas, pakaian, pernak-pernik motif gajah dijual di sini. Itulah mengapa tempat ini banyak dikunjungi orang asing.Setelah cerita travelling dadakan dan magang selesai, tibalah saya berpamitan dengan keluarga Udomsasn Witya Yala dan kembali ke Pattani sebelum akhirnya terbang kembali ke Indonesia. Saya melewatkan 17 Agustus 2017 di Pattani dan esoknya bersiap pulang ke Indonesia.Yang saya dapat dari internet di Thailand Selatan sering terjadi pemboman, seram, pemberontak bersembunyi. Tetapi begitu saya tiba di sana yang saya rasakan adalah kehangatan, bersahaja dan semangat.Sahabat muslim travelers yang memang berencana untuk keluar negeri dan mengenal Islam di negara-negara Asia, saya merekomendasikan tempat ini. Selain kita belajar lagi memperbaiki diri, kita juga bisa menikmati karya Tuhan dan manusia di sini.Tentunya menemukan jejak orang Indonesia dan belajar sejarah langsung dengan sumbernya, dan sahabat semua jangan lupa membawa 'Tolak Angin' berjaga-jaga untuk 'Mengatasi Masuk Angin' di waktu genting.
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum