Jakarta - Traveler mungkin ada yang mengenal Si Pitung jagoan Betawi. Rumahnya pun dapat traveler lihat di kawasan Marunda, Jakarta Utara.Masih ada samar-samar ingatan di benak tentang kisah kepahlawanan Si Pitung menghadapi Kumpeni Belanda. Film lawas tahun 70-an yang dibintangi Dicky Zulkarnaen ini pernah saya tonton waktu masih kanak-kanak dan membuatku penasaran, benarkah sosok Si Pitung itu ada atau hanya tokoh legenda?Setelah menghidupkan GPS, kami berdua dari Jakarta Timur menuju Kawasan Wisata Pesisir di Marunda. Saat itu cuaca mendung, tapi jalanan tidak begitu padat sehingga dalam waktu satu jam kami telah memasuki kawasan Priok.Rumah Si Pitung memiliki nama lain Museum Kebaharian Jakarta Situs Marunda. Museum ini beroperasi setiap hari dari Pukul 08.00-17.00 dengan tarif terjangkau.Biaya masuk untuk anak-anak/pelajar hanya Rp 2 ribu, sedangkan bagi mahasiswa danΓΒ kaum dewasa masing-masing Rp 3 dan 5 ribu. Tempatnya lapang dan bersih.Atraksi utama di Museum Kebaharian ini jelas adalah Rumah Si Pitung. Di bagian belakang ada bangunan tambahan untuk mushola dan toilet. Juga ada gazebo, tempat duduk-duduk dan lapak penjual makanan khas Betawi. Rapi dan bersih.Rupanya bangunan yang disebut Rumah Si Pitung bukan rumah si Pitung sebenarnya. Menurut penjelasan yang tertera di bagian rumah, yang diambil berdasarkan penelitian Ridwan Saidi yang dimuat majalah Tani tahun 2008, Si Pitung aslinya warga Rawa Belong dan ia awalnya seorang perampok dermawan.Ia merampok orang kaya yang bekerja dengan Belanda dan menyerahkan hasilnya untuk keperluan perjuangan rakyat. Ia berkomplot dengan sepupunya bernama Ji yang kemudian berhasil ditangkap dan dihukum mati oleh polisi. Selanjutnya ia bekerja sendirian.Saya sambil melihat peta Batavia masa itu kemudian membayangkan perjalanan Si Pitung dari Rawa Belong ke Kemayoran, kemudian ke Marunda. Cukup jauh juga.Tapi rupanya pada masa tersebut sudah ada trem uap dengan berbagai rute dan terdapat kereta api dari Gambir ke Tanjung Priok, sehingga memudahkan Si Pitung menjalankan aksinya.Rumah Si Pitung ini aslinya adalah rumah milik Haji Safiudin, yaitu bandar perdagangan ikan. Ada dua versi kisah terkait rumah ini dengan Si Pitung.Versi pertama yaitu rumah ini pernah dirampok oleh Si Pitung dan versi kedua, Haji Safiudin menyerahkan sejumlah uang ke Si Pitung secara sukarela. Konon Haji Safiudin kemudian menjadi mitra kerjanya.Kemampuan bela diri Si Pitung didapatkannya dari hasil berguru ke seorang ahli tarekat yang juga pandai bermain silat di Kampung Kemayoran. Guru Na'ipin ini menjadi guru si Pitung selama enam tahun.Gurunya ini memiliki hubungan dengan Mohammad Bakir seorang sastrawan Betawi akhir abad ke-19. Dari Mohammad Bakir, Guru Na'ipin membangun hubungan dengan jaringan Jembatan Lima yang dipimpim Bang Sa'irin. Di dalam jaringan inilah segala gagasan pemberontakan dan perlawanan sepanjang abad ke-19 digagas.Si Pitung selama delapan tahun yaitu tahun 1886-1894 dianggap sosok yang meresahkan, sehingga Snouck Hurgonje, penasihat pemerintah Hindia Belanda marah besar ke kepala polisi Batavia.Si Pitung tahun 1891 pernah tertangkap tapi seperti belut ia pun kemudian meloloskan diri. Saat di dalam penjara itu ia beberapa kali menyelundupkan surat yang ditujukan ke pengurus Masjid Al Alam Marunda.Perjalanan kami lanjutkan menuju Masjid Al-Alam dan Pantai Marunda. Di kompleks Masjid terdapat tempat untuk duduk-duduk, tempat wudhu dan toilet juga terdapat bedug. Sayangnya tidak terdapat keterangan riwayat masjid ini.Masjid Al Alam juga disebut Masjid Si Pitung. Masjid ini memiliki arsitektur mirip dengan Masjid di Demak namun lebih mungil. Ada beragam versi riwayat berdirinya masjid ini.Ada yang mengatakan masjid ini dibangun Walisongo, ada juga yang mengatakan dibangun oleh Fatahilah. Masjid ini kira-kira dibangun pada tahun 1600-an dan konon sering digunakan si Pitung untuk mengaji dan berlatih silat.Tujuan terakhir kami selanjutnya adalah Pantai Marunda. Pemandangan jalanan berubah, terkesan kumuh. Saya agak kecewa, mendapati pantainya begitu kotor dan terkesan kumuh. Tidak ada pasir hitam atau pasir putih karena langsung berhadapan dengan laut.Saya melihat berbagai kapal besar bersanding dengan perahu sederhana nelayan. Di sana-sini nampak kotor dan tidak menarik. Saya tidak tega ketika saat kembali berpapasan dengan rombongan besar keluarga yang membawa tikar dan makanan. Mereka rupanya hendak piknik ke pantai, tapi piknik dimana? Pantainya kotor seperti itu.ΓΒ ΓΒ ΓΒ
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Prabowo Mau Borong 50 Boeing 777, Berapa Harga per Unit?
Prabowo Mau Beli 50 Pesawat Boeing dari Trump: Kita Perlu Membesarkan Garuda