Qasr al Hosn Festival, Mengenal Budaya Arab dalam Semalam
Rabu, 15 Jul 2015 10:26 WIB
Ayu Saraswati
Jakarta - Jika penasaran dengan budaya Arab, sempatkan untuk ke Abudhabi saat bulan Februari. Karena pada bulan itu ada Qasr al Hosn Festival yang menyajikan segala tentang budaya Arab. Seru!Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Uni Emirat Arab (UEA), layaknya negara di Benua Eropa yang memiliki empat musim. Winter tentu saja menjadi musim yang paling ditunggu penduduk di negara ini. Selain cuaca yang dingin dan menyegarkan, berbagai festival juga diadakan pada musim dingin. Salah satu even tahunan yang ditunggu adalah Qasr al Hosn Festival yang digelar pada 11-21 Februari 2015 di Abudhabi, ibukota UEA. Bertempat di area Benteng Qasr al Hosn, tahun ini adalah ketiga kalinya Qasr Al Hosn Festival diselenggarakan. Dibangun pada tahun 1761, benteng ini awalnya berupa menara yang digunakan untuk mempertahankan satu-satunya sumber air tawar di Abudhabi. Namun mengikuti perkembangan, menara ini berubah fungsi menjadi benteng pada tahun 1793. Qasr al Hosn sendiri berarti istana-benteng, dimana hingga tahun 1966 tempat ini juga berfungsi sebagai tempat tinggal para sheikh atau penguasa Abudhabi.Benteng Qasr al Hosn ini juga menjadi salah satu daya tarik dalam festival yang dihelat selama 11 hari ini, selain berbagai booth yang merepresentasikan salah satu peradaban tertua di dunia. Nantinya, disetiap booth kita akan menemui generasi muda emirati (sebutan bagi warna negara UEA) yang dengan ramah memberikan penjelasan mengenai budaya nenek moyang mereka. Saya sendiri sempat melakukan #wefie dengan para emirati ini, namun mereka tidak berkenan jika foto tersebut dipublikasikan. Hal ini tidak lepas dari nafas islami yang kental mewarnai negara ini.Festival ini sendiri terbagi menjadi beberapa kawasan dengan berbagai tema. Yang pertama adalah Desert Hospitality. Di area ini terdapat tenda beragam ukuran yang dahulunya menjadi rumah tinggal para emirati di tengah gurun pasir. Tenda yang terbuat dari bulu domba ini mampu mengurangi panas sekaligus menghangatkan tubuh saat musim dingin tiba. Pada bagian ini kita juga akan menemukan booth pembuatan legaymat, penganan tradisional Arab yang terbuat dari adonan gandum, ragi, air dan sari kurma. Ada pula minuman tradisional berupa Arabica Coffee yang diseduh diatas perapian. Disini kita juga akan diajari cara memanjat pohon kurma dengan teknik tradisional.Selanjutnya adalah Marine. Jauh sebelum ditemukannya industri minyak dan gas di negara ini, walaupun bukan yang terbesar secara kuantitas, Abudhabi dikenal sebagai salah satu penghasil mutiara dengan kualitas terbaik di dunia. Sayangnya, ditemukannya teknologi pembibitan mutiara buatan oleh Jepang membuat industri mutiara di Abudhabi mengalami penurunan. Serunya, di festival ini kita tidak hanya dapat menyaksikan pembibitan mutiara buatan yang dilakukan langsung oleh ahlinya, tapi juga melakukan panen mutiara di tengah kapal di gurun pasir. Jadi untuk mendukung visualisasi pada bagian ini, panitia membuat kapal dan pantai buatan lengkap dengan deru ombak dan hembusan angin. Di pesisir pantai buatan ini juga ada perkampungan nelayan yang disibukkan dengan proses pembuatan jala dan jaring. Ada pula nelayan yang mengolah maleh atau ikan yang difermentasikan dengan garam lalu dikucuri jeruk lemon, pengunjung juga diberi kesempatan untuk mencicipi ikan asin khas gurun tersebut. Mengingat ikan tersebut dimakan mentah-mentah, rasanya jadi agak mirip dengan sashimi di Jepang.Di sepanjang festival juga diputar lagu tradisional para Emirati yang melengkapi suasana di sekeliling booth yang dipenuhi oleh miniatur sekolah, warung, coffee shop, kantor polisi dan pasar yang merepresentasikan kegiatan masyarakat di masa lalu. Setelah melalui bagian tersebut, saya menuju panggung pertunjukan seni yang menampilkan tema berbeda di setiap sesi-nya. Mengingat antrian panjang pada sesi sebelumnya, saya datang 15 menit lebih awal. Saya beruntung mendapatkan kursi untuk menonton Sillhouete Dancer yang menampilkan berbagai hal mengenai negara bagian Abudhabi selama lebih kurang 20 menit.Selesainya pertunjukan tersebut sekaligus mengakhiri petualangan saya menjelajah peradaban UEA di festival ini, saya pun menuju pintu keluar dan menemukan spanduk besar bertuliskan "Lets We Not Forget". Kalimat ini seolah menyarikan harapan pemerintah agar generasi muda tidak melupakan masa lalu leluhur mereka yang kaya akan budaya dan keramahan di tengah derasnya arus peradaban dunia yang deras memasuki kehidupan masyarakat UEA.
(travel/travel)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Prabowo Mau Beli 50 Pesawat Boeing dari Trump: Kita Perlu Membesarkan Garuda
Prabowo Mau Borong 50 Boeing 777, Berapa Harga per Unit?