Yang Lagi Trend di Aceh: Ngopi Sambil Transaksi Batu Akik
Jumat, 13 Mar 2015 09:50 WIB

Bonni Perdhana Chaniago
Jakarta - Saat berkunjung ke Aceh, tidaklah lengkap rasanya bila tak mampir ke warung kopi. Selain bisa ngopi, ternyata warung kopi juga menjadi tempat transaksi batu akik yang sedang populer. Sampai ibu-ibu saja pakai batu akik!Saya bukan penikmat kopi, namun sering nongkrong di warung kopi. Di tulisan ini saya membahas tentang budaya ngopi di masyarakat Aceh dan hal lain yang terkait dengan budaya ngopi di masa kini.Jika di telusuri sejarahnya, kata kopi sendiri berasal dari bahasa arab Qahwah, yang berarti kekuatan. Kata Qahwah diadaptasi ke dalam bahasa Turki menjadi Kahfeh. Yang kemudian dibawa ke Eropa oleh bangsa Belanda dan berubah nama menjadi Koffie.Perkenalan orang Minang dengan kopi adalah ketika mereka naik haji. Dari Ethiopia, kopi masuk ke kota-kota perdagangan besar di daratan Arab, termasuk Makkah dan Madinah. Budaya ngopi di dataran Arab terkait dengan Sufisme.Orang-Orang Minang yang pulang haji membawa pulang biji kopi untuk ditanam, yang kemudian tersebar ke hampir seluruh dataran Sumatra, termasuk Aceh. Mari lupakan sejenak orang Minang, kembali ke budaya ngopi di Aceh. Hari pertama lawatan saya ke negeri serambi Makkah ini, malamnya langsung diajak nongkrong di warung kopi. Meskipun bukan penikmat kopi, namun saya tak kuasa menolak ajakan teman seperjalan saya ke dataran tinggi Gayo.Warung kopi yang kami datangi malam itu bukanlah warung kopi yang terbuat dari gubuk kayu, ini warkop modern, ala-ala kedai kopi ternama AS. Ada wifinya juga.Nongkrong di warung kopi sudah menjadi budaya di Aceh dan juga kota-kota besar lainnya. Di Aceh berbeda, karena negeri ini menerapkan Syariat Islam yang ketat, tidak adanya tempat hiburan semacam bioskop membuat warung kopi menjadi tempat pelarian untuk bersosialisasi.Malam itu saya di perkenalkan oleh uda Masril ke enam orang temannya yang adalah anak-anak muda Aceh. Berbagai macam hal dibahas, hingga akhirnya membahas tentang budaya ngopi.Salah seorang teman, Rizal bercerita kalau anak-anak muda yang nongkrong di warung kopi itu tidak cuma duduk-duduk ngopi malas-malasan, tapi juga transaksi batu. Saat mendengar teman ini, semuanya langsung tertawa.Mungkin ini hanya sekedar candaan, namun candaan itu benar adanya. Setelah selesai mendengarkan cerita teman ini, saya iseng melihat sekeliling meja saya termasuk bagian belakang. Di salah satu sudut warkop ada sekelompok pria muda bergaya dandy sedang transaksi. Bukan transaksi narkoba atau hal negatif lainnya. Mereka bertransaksi batu cincin yang belum diolah. Persis seperti yang diceritakan oleh teman tadi.Batu cincin, batu giok, atau batu akik, sekarang sedang booming di dataran Sumatra, lagi hits juga di tanah rencong. Tua muda, semua berlomba-lomba memakai batu ini di jari tangannya.Di kota Banda Aceh hampir di setiap sudut jalan ada penjual batu cincin dan pengrajinnya. Saat perjalan darat dari Banda Aceh menuju Gayo Lues, di daerah terpencil yang tak ada sinyal pun kami menemukan penjual batu ini. Di jual di depan warung kelontong sederhana menggunakan meja.Di perjalanan pulang pun kami sempat mampir ke penjual batu di pinggir jalan raya yang kami lewati di daerah Aceh Jaya. Menjelang masuk kota Banda Aceh di perjalanan pulang, lagi-lagi kami harus berhenti untuk melihat-lihat batu cincin yang dijual di pinggir jalan. Kebetulan uda Masril dan supir yang menemani perjalanan kami adalah penggila batu cincin. Di salah satu sudut dekat penjual batu cincin ini ada penjual panganan tradisional Aceh. Saya dan uda pun penasaran ingin mencoba. Saya memesan uda sambil bercanda berkata ke kakak (sapaan untuk wanita di aceh), kalau mau laris dagangannya, tinggal tambahin meja di depan gerobaknya untuk jualan batu cincin . Celetukan uda ini membuat pembeli lain yang sedang mengantre tersenyum.Di hari terakhir kunjungan saya ke Aceh, saya pun minta diantarkan teman beli oleh-oleh khas Aceh. Karena bawa kopi buat oleh-oleh sudah biasa, maka saya minta diantar ke tempat penjual oleh-oleh makanan khas Aceh. Saat akan membayar oleh-oleh yang saya beli, saya terkejut karena kakak yang menjual oleh-oleh pun memakai batu cincin di jarinya. Teman yang menemani saya berkeliling kota tersebut bercerita, sekarang batu cincin di Aceh sudah menjadi media sosial. Dulu semua orang berlomba-lomba punya HP baru yang canggih. HP dibawa kemana-mana. Sekarang HP canggih ditinggalkan di rumah, batu dibawa kemana-mana. Di setiap acara, baik kondangan maupun acara resmi instansi pemerintah, batu cincin jadi alat untuk bersosialisasi. Biasanya orang-orang yang memakai batu cincin akan mengelus-elus janggutnya, sekedar berpura-pura menyeka keringat hingga menggosok-gosokkan batu cincin ke bajunya untuk menunjukan batu cincin yang dimilikinya.Mendengar cerita teman tersebut saya hanya membatin, jika saja Harry Potter dan Ponari hidup di Aceh saat ini, mereka pasti akan berkata Omaaaaaa!
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Bandara Kertajati Siap Jadi Aerospace Park, Ekosistem Industri Penerbangan
Sound Horeg Guncang Karnaval Urek Urek Malang