Perjalanan ke Sumatra Barat yang Membuka Mata
Minggu, 29 Mar 2015 12:35 WIB

Emanuel Ndelu Wele
Jakarta - Ranah Minang Sumatra Barat dikenal memiliki alam hijau dan budaya yang begitu indah. Namun selain itu, kebaikan masyarakatnya merupakan salah satu hal spesial yang membuka mata dan membekas di hati sebagai kenangan manis.Langkah kakiku terhenti di sini. Yah, di sini. Ketika senja kian beranjak pergi meninggalkan rona jingga di ufuk barat cakrawala. Seuntai kembang yang tergeletak bebas di jalan itu seakan jadi saksi bisu, betapa beratnya hatiku meninggalkan tanah ini. Tanah yang baru beberapa hari ini dijelajahi, tanah yang telah memberikan pelajaran berharga dalam hidupku. Tanah yang memberi wawasan tentang arti dari cinta kepada sesama manusia, cinta kepada negeri ini, dan cinta pada Sang Pencipta.Jauh-jauh hari sebelum saya ke Ranah Minang, terpikir olehku akan perbedaan budaya, adat istiadat, serta keyakinan yang dianut masyarakat di sana yang mayoritas beragama Islam. Mungkinkah mereka mau menerimaku yang adalah seorang Nasrani. Namun perbedaan itulah yang telah banyak sekali memberi pelajaran padaku, bahwa kita semua adalah sama, satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, Indonesia.20 Agustus 2014, pertama kali menginjakkan kaki di Ranah Minang. Entah kemana saya harus memulai melangkahkan kaki. Hari pertama di tanah orang, sendiri, memanggul ransel yang menempel erat di punggung. Sembari berjalan mengikuti semilir angin yang berhembus.Menelusuri hampir semua pelosok Ranah Minang, sebenarnya bukan tujuan awal saya. Sebelumnya saya hanya ingin mengunjungi beberapa tempat wisata saja, tapi kehidupanlah yang membawa saya begitu jauh.Hari-hari selanjutnya membuat saya semakin yakin untuk terus berjalan kaki, entah sudah berapa kilometer yang kulewati. Saya hanya ingin dekat, dan berbaur dengan masyarakatnya yang begitu ramah. Apalagi setelah mereka tahu bahwa saya hanya seorang diri dan berasal dari pulau yang cukup jauh.Seringkali saya dihadapkan pada satu pertanyaan dari penduduk-penduduk sekitar, mengapa saya berani traveling sendirian. Sebagai balasannya saya hanya tersenyum. Biarlah mereka sendiri yang mengartikan senyumanku itu.Saya menerima kebaikan-kebaikan selama pengembaraan di tanah ini, dan pastinya akan selalu kuingat sepanjang jalan kehidupan di dunia ini. Tentang kebaikan seorang pengurus salah satu masjid di Kota Bukitinggi, yang merelakan kamar tidur kecilnya kepadaku untuk menginap.Seorang bapak pemilik kendaraan L-300, yang dengan ikhlas mengantar dari Lembah Harau ke Kelok Sembilan. Pak Ustad pengurus salah satu masjid di pinggir Danau Singkarak. Dari Beliau saya diberikan bekal perjalanan berupa ceramah singkat. sambil menepuk bahuku, dan dengan lembut Beliau berkata:Nak, teruslah mengembara untuk mencari nilai-nilai hidup yang lain, di luar dari nilai kehidupanmu saat ini. Banyaklah belajar dari setiap perjalanan yang telah kamu lalui. suatu ketika, kamu pasti akan mendapatkan apa yang kamu cari, sebagai bekal kehidupanmu di dunia ini.Kebaikan seorang ibu yang sudah tua di Kota Solok. Dengan tulus Ibu ini memberikan tumpangan padaku selama dua malam di rumahnya yang sederhana tanpa memungut biaya. Bahkan sebelum pulang, saya dibekali minuman dan makanan kecil buat di perjalanan. Karena ibu ini ingat akan empat anaknya yang merantau di Pekanbaru, Jakarta, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. kiranya Tuhan yang akan membalas semua kebaikan mereka.Tujuh hari pengembaraan yang sarat makna. Tujuh hari kembali saya belajar tentang kerelaan untuk memberi tanpa pamrih. Tujuh hari saya kembali diajarkan tentang hal-hal duniawi yang belum pernah dialami sebelumnya. Ketika saya bercengkrama dengan penduduk lokal di pedesaan, di terminal, pasar dan juga di dalam kendaraan umum yang saya tumpangi. Ketika saya mengawali perjalanan dari Kota Padang - Lembah Anai - Danau Maninjau - Kelok 44 - Puncak Lawang - Bukit Maninjau - Teluk Bayur - Museum Adtyawarman, dan kembali lagi ke Kota Padang.27 Agustus 2014 saya meninggalkan tanah ini, dan kembali pulang ke Kalimantan Timur. Banyak kenangan yang sampai saat ini masih tersimpan rapi dibenaku. Saya pun bahagia, bahkan sangat bahagia, karena saya pernah melaluinya.Selamat Tinggal Ranah Minang, Selamat Tinggal Sumatra Barat. Saya akan selalu merindukan saat-saat indah itu. Saat dimana say menapakkan kaki di tapak-tapak jalanannya, menikmati indah panorama alamnya, hingga makanannya. Sulit untuk dilupakan.
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025