Serunya Portaledge, Tidur dan Gelantungan di Sisi Tebing
Jumat, 20 Jun 2014 18:14 WIB

Jakarta - Kemping di gunung, pantai, hutan, ataupun di camping ground pasti sudah sangat biasa. Jika Anda mencari kegiatan yang lebih ekstrem, cobalah portaledge, kegiatan bergelantungan di pinggir tebing. Berani mencoba?Sebuah alternatif petualangan ekstrem yang baru di Indonesia. Bisa dilakukan jika sudah mulai jenuh dengan petualangan yang terkesan begitu-begitu saja.Kemping di tebing, atau yang di luar sana dikenal dengan istilah Portaledge (dari kata "portable" and "ledge") bisa menjadi alternatif buat traveler yang suka hobi petualangan yang cukup ekstrem.Itulah yang mendorong saya untuk mencoba melakukan Portaledge di Gunung Parang yang terletak di kampung Cihuni, Purwakarta, pertengahan Maret yang lalu. Sebelumnya saya hanya mencoba untuk memanjat sisi tebing di tower 3 dan hanya bisa sampai pitch 1.Sebelum melakukan aktifitas yang agak ekstrem ini, saya sempet browsing di web dan tidak menemukan adanya aktifitas Portaledge di Indonesia. Jadilah saya menjadikan pengalaman mereka di luar sana untuk aktifitas yang baru pertama kali saya lakukan.Bersama dengan JKers (sebutan untuk member komunitas Jalan kaki di Facebook) kami menuju Gunung Parang, yang bisa ditempuh dalam waktu 3 jam dari Jakarta. Tinggalkan meeting point pukul 06.00 di Cawang, pukul 9 lewat dikit kami sudah tiba di basecamp Badega Gunung Parang yang dikelola oleh Kang Danni, yang juga bertindak sebagai provider climbing.Setelah beristirahat sejenak, kami lalu mempersiapkan pemanjatan. JKers hanya akan melakukan fun climbing, dan hanya saya seorang yang akan melakukan portaledge.Daypack sudah dipenuhi dengan perlengkapan portaledge termasuk tenda, hammock, peralatan masak, rain coat. Lalu digantung dengan perlengkapan climbing, semisal carabinner, rope, ascension, dan lainnya.Sesaat setelah makan siang, kami mulai melangkah ke titik awal pemanjatan dengan melakukan trekking sekitar 15 menit dengan trek yang lumayan menguras tenaga. Menyusuri sisi gunung dengan kemiringan 75 derajat.Dekat sih, tapi lumayan ngos-ngosan. Mang Ngkos dan Bob serta Kang Danni sudah mempersiapkan peralatan serta mulai memasang tali di hanger. Pemanjatan pun di mulai.Berbeda dengan pemanjatan sebelumnya, kali ini pemanjatan terasa lebih berat. Di punggung nangkring daypack yang berisi peralatan camping dan lumayan berat.Pitch 1 terlewati, dan saat mulai mendekati pitch 2 tiba-tiba hujan turun. Pemanjatan pun harus break sementara, hari sudah mulai sore. Kami belum menemukan tempat yang pas untuk memasang tenda.Bob yang mendampingiku bertanya, apakah saya akan tetap melanjutkan niat menginap. Dengan mantap saya jawab "iya". Hujan belum juga reda, dan masih dalam posisi bergantung di hanger, saya mengeluarkan ply sheet untuk menutupi badan dan daypack.Kebetulan, lokasi kami bergantung di ketinggian sekitar 300 meter terdapat sedikit pijakan berukuran 150 x 30 cm dan ditumbuhi rumput. Karena hari sudah semakin sore, akhirnya saya memutuskan untuk menggantung hammock di tempat kami istirahat.Namun masih ada satu kendala, hanger untuk menggantung hammock terbatas. Bob lalu mengeluarkan palu dan bor untuk memasang hanger. Namun entah karena kondisi tebing yang keras dan habis hujan, usaha itu gagal.Saya meminta Bob untuk berhenti, dan saya akan memasang hammock saja. Walaupun jika sudah terpasang, hammock tidak bisa terbentang panjang namun hanya akan membentuk huruf U. Tak apalah, minimal bisa tidur sambil duduk.Bob lalu turun kembali dan meninggalkan saya sendirian di tebing. Saya mulai menggantung semua peralatan di hanger dan merapikan harness yang melilit pinggang, sekalian memasang rain coat.Ada tiga tali dengan panjang berbeda yang terpasang di harness. Saya sudah diwanti-wanti untuk tidak melepaskan ke tiga tali itu bersamaan, karena keselamatanku hanya tergantung di tali itu, begitu pesan Kang Danni.Hari mulai senja, kabut mulai turun, dan beberapa ekor elang terbang berputar-putar di atasku. Dari kejauhan terlihat Waduk Jatiluhur dan gugusan pegunungan yang terbentang di Purwakarta.Beberapa peralatan masak dikeluarkan dan mulai memasak air untuk afternoon tea. Area pijakan tadi aku manfaatkan sebagai dapurMenikmati secangkir teh jahe dan sebungkus biskuit, sambil duduk seorang diri di sisi tebing memandangi Waduk Jatiluhur dan gugusan pegunungan berselimut kabut. Sebuah pengalaman yang takkan pernah terlupakan.Apalagi sayup-sayup terdengar dendang musik Sunda dari Perkampungan Cihuni yang berasal dari sebuah rumah yang tampaknya sedang melakukan hajatan. Indah.Gelap mulai turun, adzan maghrib berkumandang, lampu-lampu di perkampungan menyala, pertanda malam sudah mulai bertugas. Saya pun melaksanakan shalat maghrib di pijakan tebing dengan posisi berdiri, tentu saja dengan tali-tali yang membelit pinggang.Karena beralaskan rumput basah dan area yang sangat sempit, saya sedikit kesulitan dan sering terseret ke bibir tebing. Akhirnya diputuskan untuk shalat Isya sambil duduk saja.Ada perasaan yang ingin saya bagi di sini. Saat menghadap-Nya dalam shalat, dan merasa hanya ada saya dan Dia. Sungguh sebuah pengalaman religi yang sangat luar biasa.Di dalam shalat saya merasa kecil dan tak berdaya. Yah, sangat tak berdaya. Saya hanya sendiri, di ketinggian sisi tebing tanpa ada siapa-siapa yang akan menolongku jika terjadi apa-apa.Juga tak ada tempat berlindung, karena nyawaku hanya tergantung pada-Nya dan beberapa utas tali. Tanpa terasa, air mata tak berhenti menetes mulai dari awal hingga akhir shalat.Rembulan mulai muncul dari balik gunung. Ternyata malam itu malam ke 13, di mana bulan bersinar nyaris bulat purnama. Selingkar corona seakan setia mengawal sang dewi malam ke manapun dia menari berputar, yang saya rasakan seperti menemani kesendirianku.Sungguh sebuah lukisan alam yang sangat indah, di mana saya sendiri berada di dalam lukisan itu. Dari sisi tebing setinggi 300 meter, diterangi sinar rembulan berlingkar corona dan lampu senter, juga kelap kelip lampu dari perkampungan, menjadi 'rumah' malam itu.Malam semakin larut, waktunya tidur dan waktunya masalah dimulai. Dengan posisi duduk di lengkungan hammock dengan kaki tergantung, saya mencoba memejamkan mata.Sejujurnya, saya bukan termasuk tipe Pelor (Nempel Molor) untuk hal tidur. Saya mulai gelisah dengan posisi yang sangat tidak nyaman. Saya mencoba pindah untuk tidur dengan posisi memanjang di pijakan yang hanya berukuran se-iprit itu.Dengan beratap ply sheet yang disangkutkan di sela-sela tebing dan terbungkus sleeping bag, saya mencoba untuk terbang ke alam mimpi. Namun lagi-lagi saya sering terseret ke pinggir tebing, dikarenakan rumput yang basah dan sleeping bag yang licin semakin melengkapi penderitaan.Β Dengan terseret ke pinggir tebing, mengakibatkan saya semakin jauh dari hanger. Artinya pinggang dan daerah selangkangan sakit karena tertarik. Akhirnya Saya putuskan kembali ke hammock.Saya hanya berpikir, nanti jika sudah ngantuk banget pasti tertidur. saya pun berdoa agar segera diberi rasa ngantuk agar bisa beristirahat, karena besok masih akan melanjutkan pemanjatan hingga ke pitch 6. Benar, tak lama kemudian saya sudah terlelap dan baru terbangun saat adzan subuh berkumandang.Selepas shalat subuh, kembali saya memasak air untuk morning tea (kebetulan gak minum kopi) sambil menunggu sunrise yang harusnya muncul dari balik gunung. Namun sayang sekali, pagi itu berkabut dan alam digelayuti mendung, jadinya tak bisa menikmati sunrise. Tapi tak apalah, karena pemandangan desa dan hamparan waduk dari atas sini juga tak kalah indahnya.Saya lalu membenahi peralatan hingga Mang Ngkos datang dengan membawa sarapan buatku. Karena sejak semalam belum makan nasi, saya lalu menghabiskan sarapan dan ditutup dengan segelas susu jahe yangΒ dibagi juga ke Mang Ngkos.Kami lalu melanjutkan pemanjatan ditemani Bob dan Kang Danni, serta seorang peserta dari Sekolah Panjat Tebing Merah Putih Indonesia. Menjelang siang, kami hanya bisa memanjat hingga pitch 5 karena kekurangan tali. Saat matahari sedang terik-teriknya, dengan menggunakan tali, kami turun dan kembali ke base camp.Pengalaman melakukan portaledge di Gunung Parang ini akan menjadi salah satu pengalaman tak terlupakan seumur hidup, dan akan terus saya lakukan. Bersama dengan Kang Danni, kami sepakat menjadikan Gunung Parang sebagai Training Camp sebelum melakukan perjalanan ke Everest Base Camp pertengahan Mei nanti. Nantikan cerita-cerita portaledge yang lebih seru!
(travel/travel)
Komentar Terbanyak
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum
Foto: Momen Liburan Sekolah Jokowi Bersama Cucu-cucunya di Pantai
Aturan Baru Bagasi, Presdir Lion Air Group: Demi Keselamatan