Keramahan Suku Tengger dan Indahnya Bromo

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Keramahan Suku Tengger dan Indahnya Bromo

Rakhmat Iskandarsyah - detikTravel
Sabtu, 09 Nov 2013 13:02 WIB
loading...
Rakhmat Iskandarsyah
bromo-batok-semeru.jpg
Keramahan Suku Tengger dan Indahnya Bromo
Jakarta - Tak diragukan lagi kalau keindahan Bromo sudah terkenal sampai luar negeri, begitu juga dengan keramahan penduduk asli Bromo, suku Tengger. Siapapun yang mengunjungi tempat ini pasti akan terkesima.Saat membaca beberapa tulisan tentang perjalanan, saya jadi ingat perjalanan untuk pertama kalinya ke Gunung Bromo, Jawa Timur. Saat itu liburan karena baru saja tamat SMA. Saya yang akhirnya diterima di salah satu perguruan tinggi di Kota Malang, menetap di sana.D Malang ada gunung bernama Semeru dan Bromo yang sangat terkenal. Saya yang dari sejak zaman SMA hobi mendaki gunung, tergoda untuk mencapainya. Dari informasi yang didapat dari seorang saudara, bahwa yang paling mungkin adalah mencapai Gunung Bromo karena dia pernah ke sana.Dengan hasrat yang menggebu-gebu, saya menghubungi seorang teman yang pada waktu itu sedang berada di Yogyakarta, saya langsung menceritakan kepada nya tentang Gunung Bromo dan Semeru.Teman ini yang juga "terjangkit virus" mendaki gunung, tentu saja tergoda dengan ajakan saya untuk mendaki ke Gunung Bromo. Pada hari yang disepakati kami sepakat untuk bertemu di Stasiun Kota Malang.Setelah sampai di Terminal Bus Arjosari Kota Malang, kami berdua menaiki bus menuju Kota Probolinggo. Hari sudah sore ketika bus yang kami tumpangi tiba di terminal Probolinggo, dan kami langsung mencari informasi untuk mencapai kawasan Bromo. Sebuah bus jurusan Bromo, kami naiki ketika hari sudah mulai gelap.Bus yang sudah penuh sesak memaksa kami duduk di bangku paling belakang dengan pintu tetap terbuka. Kami yang untuk pertama kalinya jalan ke Pulau Jawa tanpa ditemani orang tua, tentu menikmati udara kebebasan ini dan belum punya pengalaman apa-apa tentang perjalanan di Pulau Jawa.Duduk di bangku paling belakang, lama baru kami menyadari bahwa ada seorang bapak-bapak duduk di samping kami. Nampaknya dari tadi ia terus mendengarkan pembicaraan kami, karena mungkin bahasa yang kami gunakan sangat aneh di telinga sang bapak.Si bapak bertanya di mana Bengkulu, saya tidak kaget lagi mendengar pertanyaan seperti itu. Sudah sering saya mendengar pertanyaan yang sama, awalnya sangat memancing emosi. Bahkan pernah mas-mas yang menurut saya cukup berpendidikan juga menanyakan yang sama. Saya terus aja bertanya ke bapak karena sedikitnya informasi yang saya terima, yang membuat saya harus mencari info sebanyak mungkin.Ternyata rumah si bapak tidak jauh dari Bromo, ia menawarkan kami menginap. Agak lama kami berdua terdiam mendengar ajakan sang bapak.Saya melihat sang bapak masih saja memangku karung plastik yang dari tadi tidak lepas dari genggamannya. Tentu tidak enak kalau ditolak dan yang pastinya ini tawaran yang sangat menarik bagi kami yang baru lulus SMA. Berasal dari kota kecil di Sumatera yang mencoba traveling di Pulau Jawa, tanpa pengalaman dengan dana yang pas-pasan.Obrolan terus berlanjut, terutama saya yang menceritakan tentang daerah asal kami kepada si bapak yang baru tahu ada daerah di Sumatera yang bernama Bengkulu. Saya pun bertanya kepada bapak tentang keadaan di kawasan Bromo dan tentang kesehariannya.Tak lama, bus berhenti, dan kami pun turun. Ternyata si bapak membayari kami juga. Saya masih sempat melihat bapak itu mengeluarkan lembaran uang dari dari karung plastiknya dan saya sekilas melihat ikatan-ikatan duit yang masih rapi di dalam karung tersebut. Ketika itu saya langsung berpikir, pastinya bapak ini seorang juragan hasil bumi atau seorang petani yang sangat berhasil.Kami memasuki sebuah bangunan semi permanen sederhana, dan seorang ibu setengah tua mengajak kami masuk dengan ramah. Saya langsung merasa aneh ketika sang ibu mengajak kami ke bagian belakang rumah, di dapur. Sang bapak langsung mempersilahkan kami duduk di bangku kayu (dingklik) mengelilingi tungku, yang saat itu sedang digunakan si ibu untuk memasak seceret air.Sang bapak membuat kami kaget, ketika lagi-lagi mengeluarkan selembar uang kertas dari dalam karungnya dan menyuruh anak gadisnya membeli roti untuk makan malam kami. Kopi panas sudah tersedia ketika anaknya yang ketika saya tanya masih duduk di bangku SMP kembali dari warung.Saat itu saya baru menyadari mengapa si ibu membawa kami langsung ke dapur saat kami baru tiba tadi. Rupanya hawa dingin pegunungan Bromo sudah membentuk budaya masyarakat dataran tinggi Bromo bila malam, beristirahat, berkumpul mengelilingi tungku untuk menghangatkan badan setelah seharian bekerja di kebun sayur yang memang banyak di dataran tinggi yang subur ini. Begitu juga saat menjamu tamu, mereka biasa berkumpul mengitari tungku sambil minum secangkir kopi.Roti dan kopi belum habis ketika sang ibu sudah menyiapkan dua piring penuh nasi goreng yang masih hangat dan mempersilahkan kami untuk makan. Sekali lagi saya kagum dengan kebaikan dan keramahan keluarga ini.Membutuhkan usaha yang cukup keras untuk menghabiskan sepiring penuh nasi goreng, karena kami mengira cukup roti-roti ini saja makan malam kami kali ini. Yang ternyata harus di tambah lagi dengan sepiring penuh nasi goreng, yang sangat tidak enak hati bagi kami untuk tidak menghabiskan. Karena beberapa kali sang bapak dan ibu mempersilahkan kami menghabiskan sepiring nasi goreng tersebut.Ketika kami dipersilahkan untuk beristirahat, saya sudah sangat mengantuk setelah seharian di atas bis dari Kota Malang. Sekali lagi keluarga sederhana ini membuat saya kaget ketika sang bapak mempersilahkan kami beristirahat di ruang tamu yang telah ada dipan (tempat tidur) yang sepreinya baru diganti dan dua lembar selimut tebal.Saya sempat melihat dipan ini ketika masuk menuju dapur. Sepucuk bunga mawar di dalam vas bunga di atas meja disamping dipan membuat kami berdua tersenyum, karena waktu masuk tadi saya tidak melihat ada bunga mawar di atas meja disamping dipan tersebut.Saya yang memang sudah sangat ngantuk langsung terlelap tak lama setelah bapak memadamkan lampu. Rasanya belum puas tidur dan hawa dingin dataran tinggi Tengger ini membuat sangat malas untuk bangun ketika sang bapak membangunkan kami, dan ketika saya melihat jam masih menunjukkan pukul 4 subuh.Di subuh yang masih sangat dingin menusuk tulang tersebut kami berpamitan kepada bapak, istri dan anaknya, tidak lupa mengucapkan terima kasih atas semua kebaikan dan penerimaannya di rumah ini dan melanjutkan perjalanan menuju ke Bromo.Setelah lebih dari satu jam kami berjalan menanjak menuju Gunung Bromo, kami sampai di Kaldera Gunung Bromo yang sangat indah. Waktu itu matahari sudah memancarkan sinarnya. Memandang padang pasir Gunung Bromo dari bibir kaldera gunung ini memang pemandangan yang sangat indah dan menakjubkan. Tidak salah tentunya jika sebagian orang yang hobi traveling mengatakan, jangan mati dulu sebelum ke Gunung Bromo.Sepenggal cerita saya, ketika pertama kalinya menginjakkan kaki di dataran tinggi Bromo. Banyak pelajaran yang saya ambil dari perjalanan kali ini. Tidak salah bila banyak media di luar negeri yang menobatkan Indonesia sebagai negeri tujuan wisata yang penduduknya sangat ramah. Salah satu yang sangat saya ingat dalam setiap perjalanan, bahwa orang baik dan jahat bisa berada di mana saja, jadi jangat takut melakukan perjalanan.Ucapan terima kasih kepada sang bapak sekeluarga di Dataran Tinggi Tengger. Semoga kebaikannya dibalas dengan pahala yang setimpal dari Allah SWT.
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads