Jakarta - Wolondopo dan Wolojita terkenal dengan jenazah tetua adat yang dijadikan mumi sedangkan Wologai memiliki alam yang indah dan arsitektur menarik khas Sa'o Ria. Ketiga kampung adat ini mampu menarik semua perhatian wisatawan ke masa lalu.Mimpi untuk datang dan melihat langsung ketiga kampung adat tersebut akhirnya menjadi nyata. Sebelumnya, aku hanya bisa mendengar cerita, atau bahkan hanya mendapatkan informasi dari berbagai tulisan para wisatawan yang pernah datang ke tiga kampung adat yang berada di Nusa Tenggara Timur.Serasa kembali ke masa lalu, demikian ujarku saat pertama kali menginjakan kaki di Kampung Adat Wolondopo. Sebuah kampung tradisional yang memiliki sejarah panjang dan semakin dikenal karena keberadaan Mumi Kaki More, seorang tetua adat kampung yang saat meninggal jenazahnya diletakan pada sebuah pohon beringin di tepi kampung tanpa dilakukan pengawetan.Sementara itu, hanya berjarak sekitar 100 meter dari Wolondopo, juga terdapat sebuah kampung adat lainnya bernama Wolojita. Memasuki kampung tersebut, seperti halnya di kampung Wolondopo terasa sangat berbeda. Ada sesuatu yang lain saat memasuki kedua kampung tersebut.Bagaimana rasanya bila menginap di salah satu dari kedua kampung tersebut? Sebuah mimpi yang harus menjadi nyata, demikian gumamku saat berada di kedua kampung tersebut. Ya, suatu hari nanti, aku akan datang lagi dan akan menginap di salah satu dari kedua kampung tersebut.Kembali ke Kampung Wolondopo, mimpi untuk melihat langsung keberadaan Mumi Kaki More, akhirnya tetap menjadi mimpi karena saat mengunjungi kampung tersebut, aku tidak dapat bertemu dengan sang juru kunci yang juga menjaga keberadaan mumi tersebut. Kini, Mumi Kaki More, tidak seperti masa lalu yang ditempatkan pada pohon beringin (pu'u lele: dalam bahasa Lio), tetapi ditempatkan pada sebuah rumah panggung kecil yang berada di puncak bukit, samping Hanga dan dikelilingi oleh beberapa rumah adat Lio yang biasa disebut Sa'o Ria.Leda Bhaku, Sebuah Tradisi Leluhur yang Masih DipertahankanSaat akan mengunjungi Wolondopo, aku tidak pernah tahu bahwa di sini juga terdapat kampung adat lainnya yang letaknya sangat berdekatan. Tidak disangka, saat bertanya pada beberapa warga di Desa Ekoleta, aku mendapatkan sebuah berita menarik. Bahwa di kampung Wolojita, ada mumi baru. Benarkah? Karena selama ini aku mendengar bahwa mumi hanya terdapat di Kampung Wolondopo.Tapi sayang, saat mengunjungi Wolondopo, rencana memasuki kampung Wolojita langsung saya batalkan karena saat memasuki sebuah rumah adat di Kampung Wolondopo, baterai kamera yang semalam telah saya siapkan ternyata tiba-tiba drop, tanpa ada embel-embel peringatan terlebih dahulu. Mimpi untuk mendapatkan gambar arsitektur Sa'o Ria di Wolondopo pun gagal total, tetapi beruntung, aku masih bisa mendapatkan beberapa gambar dan informasi menarik lainnya di kampung tersebut, termasuk rumah Mumi Kaki More. Serta merta, rencana memasuki Kampung Adat Wolojita langsung kubatalkan. Tidak sekarang, tetapi besok aku akan kembali, gumamku dalam hati.Keesokan harinya, dikawal salah satu saudara sepupuku yang juga menjadi pengajar di SMU Negeri I Detusoko, aku kembali meluncur menuju lokasi yang sama, dengan tujuan yang berbeda. Kali ini aku tidak memasuki Wolondopo, tetapi langsung ke Kampung Wolojita.Sepi seperti tidak berpenghuni, demikian yang kurasakan saat memasuki kampung tersebut. Kalau tidak salah, hanya ada 4 orang penduduk yang sempat kutemui di kampung tersebut. Saat ini sedang musim panen dan juga musim tanam padi, penduduk akan kembali pada sore hari setelah aktifitas di sawah dan ladang, demikian penjelasan saudara sepupuku.Tanpa membuang waktu, aku langsung saja mengarahkan kameraku pada berbagai objek menarik di kampung tersebut. Saat mendekati Hanga, seorang penduduk mendekati kami. Setelah mendapatkan penjelasan saudara sepupuku, dia bersedia menemani kami untuk mengeksplorasi kampung tersebut termasuk menjelaskan berbagai ritual adat yang biasa dilaksanakan di kampung tersebut.Saat mencapai salah satu rumah tradisional di ujung kampung, tanpa diduga, dia menjelaskan tentang jenazah seorang tetua adat kampung yang tidak dimakamkan sebagaimana biasanya, tetapi ditempatkan pada sebuah pohon beringin, tepat di belakang kampung tersebut. Rasa takut sempat menghinggapi perasaanku, tetapi kukuatkan tekadku untuk mendekati lokasi tersebut.Sebelum aku mengambil gambar, saudara sepupuku sempat membacakan beberapa mantra dan doa yang biasa disebut Sua Sasa dalam bahasa Lio. Setelah meminta ijin, tanpa membuang waktu lagi, aku berusaha mengambil gambar sebanyak mungkin. Sebuah objek menarik dan menurutku sangat langkah dan sulit, karena keberadaannya juga sangat dirahasiakan.Jenasah yang ditempatkan pada pohon beringin tersebut merupakans eorang tetua adat di kampung tersebut bernama Yakobus Rada. Dia tidak dimakamkan seperti biasa, tetapi pada sebuah percabangan pohon beringin setelah melalui upacara yang sangat sakral yaitu Leda Bhaku.Pelaksanaan ritual tersebut bersamaan dengan perayaan ritual pesta panen yang dilaksanakan setiap tahun pada periode Oktober 2011 lalu. Langkah dan sangat sulit ditemukan di zaman yang serba modern ini. Pengalaman ini benar-benar membuatku jatuh cinta pada kearifan lokal yang mereka miliki masih dan tetap terus dipertahankan dan dilestarikan.Wologai, Pesona Tradisi yang Penuh MisteriSelepas menikmati kampung adat Wolojita, kuteruskan langkah menuju kampung adat lainnya bernama Wologai. Sebuah kampung adat yang sangat melegenda dengan keberadaan Lamba Bapu, yaitu sebuah gendang tradisional dengan bahan kulit manusia, yang dimainkan hanya pada saat ritual adat tertentu dengan alat pukul menggunakan batang alang-alang.Kampung adat Wologai hanya berjarak 7 km dari Wolondopo dan Wolojita, dan bagi pengunjung atau wisatawan yang ingin sekaligus menikmati pesona ketiga kampung adat tersebut hendaknya tidak melewatkannya karena masing-masing kampung adat tersebut memiliki karakteristiknya masing-masing.Tetap bersama dengan saudara sepupuku, kami berangkat menuju Wologai. Rasa penasaran yang selama ini selalu terpendmam, kini akan menjadi kenaytaan. Jalanan mulus dan berliku kami lewati dari persimpangan Wokonio menuju kampung Wologai dan hanya berjarak 2 km dari persimpangan tersebut. Saat memasuki Wologai, sebuah landskap area yang mempesona seolah memanjakan mataku. Sangat lengkap dan luar biasa. Tanpa terasa, sebuah pemandangan yang luar biasa terpapar didepan mata, disambut oleh gerbang pohon beringin tua yang telah berusia ratusan tahun, seolah menjadi pintu masuk sebelum kita menapakan kaki menuju barisan rumah adat warisan leluhur, serta deretan kuburan tua yang mengelilingi Hanga.Tampak beberapa orang gadis kecil dengan senyum ramah penuh kehangatan seolah menyambutku saat memasuki gerbang kampung adat tersebut. Benar-benar memesona, kepolosan mereka, senyumannya, dan kehangatannya saat menyapa, benar-benar membuatku terpesona dan jatuh cinta.Ya, setelah Wolondopo dan Wolojita, aku dibuat terperangah akan pesona kampung adatWologai. Sebuah mimpi yang benar-benar menjadi nyata. Seolah, nazarku telah terpenuhi, dan kini, aku melangkahkan kakiku pada barisan rumah-rumah tradisional atau Sa’o Ria, diantara susunan batu berundak yang merupakan kuburan-kuburan tua para leluhur warga, melihat pintu gerbang rumah adat yang penuh ukiran bermakna, dan akhirnya, kulangkahkan juga kakiku memasuki sebuah rumah adat yang didiami oleh Keluarga Bapak Alo Leta. Seorang tua paruh baya, yang juga merupakan seniman lokal Wologai, yang karyanya kini juga telah melanglang buana ke beberapa negara di dunia. Setelah mengucapkan mantra (Sua Sasa), kulangkahkan kakiku memasuki rumah adat dan kemudian meminta ijin dan dhajo pada pelataran bagian dalam rumah adat rumah adat.Akhirnya, setelah gagal mengambil gambar di Kampung Wolondopo, kupuaskan mimpiku untuk mengambil gambar sebanyak mungkin dalam Sa'o Ria tersebut. Sambil mengambil gambar, Bapak Alo Leta menjelaskan beberapa hal penting, terutama terkait dengan arsitektur rumah adat Khas Lio di Wologai.Di dalam rumah adat tersebut terdapat dua buah tungku dalam setiap rumahnya dan hanya digunakan saat perayaan tahunan pesta panen. Ini tungku Nggua (pesta adat), hanya digunakan saat ritual adat, jadi tidak dapat digunakan setiap hari, demikian dijelaskan Bapak Alo Leta. Yang kita gunakan adalah tungku pribadi yang terdapat di sebelah kiri dan kanan dari kedua tungku utama atau tungku adat.Puas menikmati arsitektur khas Sa'o Ria, selanjutnya kami menapakan kaki menuju Hanga. Dalam tradisi masyarakat Lio, Hanga merupakan pusat ritual Gawi atau Tarian Tandak yang dilakukan secara massal oleh laki-laki dan perempuan yang berpakaian adat khas Lio.Di tepi Hanga dengan polosnya aku bertanya. Mengapa rumput dibiarkan tumbuh dalam Hanga? Bapak Alo Leta yang mendampingiku dengan serius menjelaskan. Hanga ini hanya dibersihkan setahun sekali saat dilaksanakan Nggua (pesta adat) dan tidak sembarangan orang yang bisa membersihkannya, hanya para Mosa Laki (tetua adat) yang berhak membersihkannya.Terperangah aku mendengar seluruh penjelasannya. Luar biasa, aturan adat yang merupakan warisan para leluhur masih sangat tegas dilaksanakan di sini. Sebuah hal yang telah cukup sulit kutemukan di Kalimantan Timur, dimana aku berkarya.Seandainya waktuku masih cukup, aku ingin berada di kampung ini dalam beberapa hari. Menginap pada Sa'o Ria untuk merasakan sebuah tradisi dan kebiasaan masa lampau. Sayang sekali, mimpi ini tidak dapat kulakukan pada kunjunganku kali ini. Tapi, aku bernazar, suatu hari nanti aku akan kembali karena aku telah jatuh cinta pada keberadaan atau eksistensi kampung-kampung adat ini.Ya, Wolondopo, Wolojita, dan Wologai, telah membuatku jatuh cinta. Dan, suatu saat aku akan kembali untuk memaknai lebih dalam tentang kekayaan tradisi yang merupakan warisan leluhur yang terus terjaga dan terpelihara hingga kini.
Komentar Terbanyak
Didemo Pelaku Wisata, Gubernur Dedi: Jelas Sudah Study Tour Itu Piknik
Forum Orang Tua Siswa: Study Tour Ngabisin Duit!
Pendemo: Dedi Mulyadi Tidak Punya Nyali Ketemu Peserta Demo Study Tour