Tibet, Sebuah Etnis dalam Bayang-bayang Himalaya
Senin, 20 Feb 2012 17:58 WIB

Jakarta - Suku lokal adalah magnet bagi traveler untuk pergi melangkah. Etnis Tibet salah satunya, menarik ribuan traveler untuk mendalami budaya setempat. Isolasi dari dunia luar tak membuat mereka cemberut karena jepretan kamera.Selama ribuan tahun, sekelompok masyarakat terisolasi di lereng gunung-gunung es. Komplek pegunungan Himalaya yang terkenal ganas justru dijadikannya tempat bernaung. Adalah Tibet, nama etnis yang sekaligus mewakili nama daerah tempat tinggal mereka.Sebagai kelompok yang terbiasa hidup di ketinggian, etnis Tibet memiliki tradisi dan budaya yang tak lekang oleh masa. Mereka hidup di ketinggian 2.000 - 4.400 mdpl, berlindung di bawah rumah-rumah kayu dan bersahabat dengan udara menusuk kulit.Sekarang, populasi mereka sekitar 5-6 juta jiwa. Mayoritas memang tinggal di Tibet, Provinsi Otonom China. Namun selain itu, etnis ini juga mendiami Greater Tibet yang mencakup Bhutan, Sikkim, juga Nepal dan India bagian utara. Di wilayah RRC, mereka menduduki provinsi Gansu, Qinghai, Sichuan, dan Yunnan.Mengutip buku terbitan National Geographic berjudul "Book of People of the World, A Guide to Cultures", etnis Tibetan terbagi menjadi beberapa nama suku seperti Sherpa asal Nepal, Drukpa asal Bhutan, dan Ladakhis asal India bagian utara. Disinyalir, mereka berasal dari suku Han yang hidup di wilayah itu 3.000 tahun silam.Jepretan kamera adalah salah satu cara untuk membuktikan kemiripan mereka.Karakteristik fisik etnis Tibet hampir sama dengan gambaran tentang suku Hun ribuan tahun silam. Rambut hitam yang dibiarkan panjang, kulit gelap, mata sipit, serta warna merah yang merona dari dua tulang pipi nan tinggi. Mereka mengenakan pakaian yang disebut Chuba dengan bahan yang tebal, panjang, dan warna-warni mencolok. Sangat cantik dan kontras ketika diabadikan dalam kamera.Tibet terkenal sebagai salah satu etnis paling ramah di dunia. Anak-anak kecil akan berkumpul mengelilingi Anda, mengajak bermain sambil berlari dan tertawa riang. Sementara para orang tua, duduk di teras sambil minum teh hitam lokal, tersenyum melihat tingkah laku anaknya. Para wanita Tibet mengepang rambut mereka menjadi dua bagian, sementara rambut para gadisnya dikepang satu ke belakang.Mayoritas etnis Tibet menggunakan bahasa lokal yakni Seno-Tibetan. Di provinsi-provinsi China, Mandarin masih menjadi bahasa utama mereka. Walau begitu, mereka akan berusaha sebisa mungkin mengerti bahasa Inggris yang Anda katakan.Agama Buddha pertama dibawa saat invasi China pada abad ke-7 masehi. Mulai saat itu, dataran Tibet menjadi tempat yang kental akan nuansa spiritual. Hal ini terlihat lewat biara, dengan nama lokal Gompa, yang berjumlah sekitar 6.000 bangunan tersebar di seluruh penjurunya.Tak heran, Anda akan menemukan beberapa benda religius khas Buddha jika mengunjungi Greater Tibet. Mani Stones, Prayer Flag, dan Prayer Wheel adalah tiga di antaranya.Mani Stones merupakan batu besar yang dipahat mantra Buddha, sedangkan Prayer Flag adalah bendera warna-warni yang menandai sebuah desa. Prayer Flag juga dianggap sebagai simbol nasib baik. Prayer Wheel adalah sebuah benda berbentuk silinder, dipahat dengan mantra Buddha 'Om mani padme hum', yang digunakan ketika berdoa atau upacara keagamaan.Buddha juga menjadi asas festival keagamaan yang dianut masyarakat Tibet. Bathing Festival misalnya, dilakukan tiga kali seumur hidup dan berlaku bagi tiap orang. Tiga momen tersebut adalah kelahiran, pernikahan, dan kematian. Ritual ini dilakukan untuk menyucikan kembali jiwa dan raga. Terlebih lagi, karena udaranya yang dingin, masyarakat Tibet memang tak harus mandi tiap hari!Anda bisa menemukan lukisan Thangka sebagai kerajinan khas etnis Tibet. Ini adalah lukisan yang dibuat di atas kain sutra, menggunakan sulaman benang atau cat minyak. Mayoritas gambarnya adalah patung Buddha, dengan warna-warni mencolok yang elok dipandang mata.Karena mereka terisolasi berabad lamanya, masyarakat Tibet masih hidup dengan cara yang sederhana hingga sekarang. Di bagian selatan, bertanam gandum adalah mata pencaharian mayoritas warga. Gandum juga merupakan sumber karbohidrat utama mereka. Sedangkan di bagian utara, mereka hidup di tenda-tenda berwarna hitam, dengan aktivitas menggembala yak (lembu hutan) yang dilakukan setiap harinya.Tak sampai di situ, masyarakat etnis Tibet juga menggunakan tanaman sebagai obat tradisional. Mereka menggabungkan lebih dari 2.000 jenis tanaman, 40 spesies hewan, dan 50 jenis mineral menjadi beberapa ramuan tertua di dunia.Eropa, Amerika, Australia mungkin sudah lekat dalam ingatan. Tapi ingatlah wilayah ini, Provinsi Otonom China, sebagai tempat indah dengan sifat ramah penduduk lokal yang tak terbantahkan.
(travel/travel)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Bandara Kertajati Siap Jadi Aerospace Park, Ekosistem Industri Penerbangan
Sound Horeg Guncang Karnaval Urek Urek Malang