Kisah Terjebak Badai Membawa Berkah Di Karimun Jawa
Senin, 20 Feb 2012 21:55 WIB

Jakarta - Β Cerita ini merupakan cerita lanjutan dari posting foto saya di detikcom yang berjudul βTerjebak Badai Membawa Berkah Di Karimun Jawaβ. Kisah ini bermula ketika saya hendak berlibur ke Karimun Jawa bersama ketiga teman kampus saya di Purwokerto, yaitu Ucok,Adi dan Iyan. Pada tanggal 9 Januari 2011 kami berangkat dari Purwokerto menuju Jepara, sebelumnya kami telah mendaftarkan diri disalah satu biro jasa wisata online untuk berlibur ke Karimun Jawa selama 4 hari 3 malam. Biaya yang kami keluarkan perorang cukup terjangkau yaitu 475 ribu rupiah. Kegiatan berlibur ini kami tetapkan sebagai ajang refreshingsebelum kami menghadapi Kuliah Kerja Nyata(KKN) selama kurang lebih 35 hari di Desa yang ditentukan oleh pihak kampus. Kegiatan KKN sendiri merupakanmasa bakti mahasiswa kampus kampus kami terhadap masyarakat desa. Karimun Jawa menjadi pilihan tempat kami untuk melepas penat, informasi yang kami dapat dari searching di internet menjadikan semangat kami semakin menggebu untuk mengunjungi pulau yang konon merupakan βserpihan surge yang tersembunyiβ. Namun dari beberapa informasi yang kami dapat pula jarak untuk menempuh perjalanan laut cukup panjang, sekitar 6 jam lamanya. Ada beberapa berita yang kami baca dari internet mengenai beberapa musibah yang kerap terjadi ketika badai di Karimun Jawa, seperti kapal nelayan yang karam dan lain-lain. Hal ini cukup membuat nyali kami sedikit menciut, namun pesona kabar keindahan Karimun Jawa justru menjadikan semangat kami semakin menggebu.Dengan bekal dari informasi yang kami dapat kami berangkat dari Purwokerto pada pukul 7 pagi tanggal 8 Januari 2011. Adapun biaya perorang bus yang kami tumpangi sekitar 50 ribu. Kami berempat singgah di Semarang tepatnya di Terminal Terboyo pada pukul 2 siang. Hal ini kami lakukan karena tidak adanya bus yang langsung menuju Pelabuhan Kartini (Jepara). Kami melanjutkan perjalanan dengan bus kecil yang dihargai 10 ribu perorang menuju Terminal Jepara. Selama perjalanan menuju Terminal Jepara obrolan-obrolan ringan akan bayangan kami tentang keindahan di Pulau Karimun Jawa semakin membuat kami merasa tak sabar. Tepat pukul 5 sore kami sampai di Termina Jepara, tanpa basa-basi kami langsung bergegas menuju Pelabuhan Kartini dengan menggunakan kendaraan becak yang cukup murah, yaitu 5 ribu rupiah. Sepuluh menit kemudian kami sampai di Pelabuhan Jepara, dan hal pertama yang kami lakukan adalah mencari tempat yang nyaman untuk kami bermalam di Pelabuhan Kartini. Hal ini dilakukan karena keberangkatan Kapal hanya berlangsung 2 hari sekali. Dan keberangkatan kapal di pagi hari tentunya. Kami menetapkan untuk bermalam di Mushola pelabuhan yang menurut kami cukup nyaman bagi kami dan isi dompet tentunya, maklumlah karena kami masih berstatus mahasiswa. Semalaman kami menunggu datangnya pagi untuk menyambut hari yang indah di pulau impian kami.Hari itu menjadi hari yang cukup melelahkan bagi kami, sedari perjalanan Purwokerto-Jepara kami baru sempat mengisi perut di Terminal Terboyo. Tidak jauh dari Mushola, terdapat warung kecil yang menyediakan makanan berat bagi kami. Kesempatan itu kami gunakan untuk sekedar mengoreksi informasi tentang kebenaran keindahan Pulau Karimun Jawa kepada Ibu pedagang nasi.βPantai-pantainya indah ko mas, masih bersihβ jawaban Ibu warung ketika kami menanyai keindahan Pulau Karimun Jawa. βperjalanan kesana sekita 6 jam, waktu 2 jam baru berangkat kapalnya mas ga akan melihat pulau-pulau di sekitar kapal. Seperti mas berada di dalam ember besar yang mas liat cuma lautan luas. Suami saya saja sampai mabuk laut mas, 8 kali mungkin dia muntah masβ penjelasan lebih lanjut dari Ibu warung. Obrolan malam itu membuat kami menciutkan nyali kami yang pada saat itu merupakan pengalaman pertama kami menaiki kapal laut selama itu. Namun kami merasa perjalanan ini tidak mungkin kami batalkan hanya gara-gara ketakutan kami saja.Keesokan harinya setelah kami menunaikan shalat Shubuh kami menyempatkan untuk sarapan terlebih dahulu di warung Ibu sebelah Mushola. Pagi itu kami membeli bekal jeruk sebanyak 2 kg yang telah kami pesan kepada Ibu warung semalam. Jeruk ini merupakan anjuran Ibu warung untuk menghilangkan rasa mual ketika kami mengalami mabuk laut. Hal yang membuat kami merasa semakin menciut di pagi itu adalah cuaca tiba-tiba mendadak mendung dan hujan lebat. Ombak besar di Pelabuhan Kartini disertai angin kencang cukup menggoyangkan Kapal Muria yang bersandar di sisi pelabuhan. Tampak wajah ketiga teman saya pucat pasi dan layaknya cerminan wajah saya pun seperti itu. Nyali kami benar-benar menciut, kami berempat semakin termakan bayangan-bayangan ketakutan berita musibah badai besar yang telah memakan beberapa korban di Karimun Jawa yang telah kami baca sebelumnya di internet ketika hendak mencari informasi keindahan Karimun Jawa serta informasi rute perjalanan yang harus kami tempuh dari Purwokerto ke Jepara. Masih di pagi itu kami akhirnya berkumpul dengan peserta biro wisata online lainnya , ijin Kapal Muria untuk berlayar akhirnya dikeluarkan. Hal ini dikarenakan hujan sudah reda pada pukul setengah Sembilan pagi. Namun angin yang saya rasakan pada saat itu masih cukup kencang. Tepat pukul 9 kami menaiki kapal Muria yang pada saat itu akan berlayar. Entah mengapa ketika baru saja saya menaiki kapal Muria kepala saya sudah merasakan mabuk laut, hal ini mungkin dikarenakan angina yang cukup kencang menggoyangkan kapal Muria. Tak mau ambil resiko, pada saat itu pula saya langsung meminum obat penghilang mabuk perjalan. Sekitar pukul 11 pagi saya terbangun dari tidur saya dan seketika saya langsung melihat ke arah luar kapal dan benar saja, saya tidak melihat satu pun pulau yang nampak di hamparan laut luas. Gelombang ombak yang cukup menggoyangkan kapal selama perjalanan memaksa saya untuk menidurkan kembali. Di kapal itu kami berempat sepakat untuk duduk di lantai, tidak dikursi yang telah disediakan. Hal ini menguntungkan kami agar bisa βmenselonjorkanβ badan kami. Ketiga teman saya tidak henti-hentinya mengunyah jeruk yang telah dianjurkan Ibu warung di Jepara. Dan memang jeruk cukup membantu menghilangkan rasa mual. 6 jam perjalanan menuju Karimun Jawa kapal belum juga menepi ke pulau yang kami tuju. Kondisi laut pada saat itu mengalami cuaca yang buruk. Hujan angin dan gelombang besar cukup membuat nyali saya semakin menciut. Laut sudah tak berwarna biru cerah lagi, namun gelap hampir berwarna biru tua. Kami berempat tidak henti-hentinya berdoa dan sempat terlontar nazar untuk berpuasa jika kami selamat sampai tujuan. Saya rasa ketakutan ini tidak hanya kami saja yang merasakan, ketika kapal hendak berangkat pagi hari tadi sang nahkoda atau awak kapal melalui pengeras suara meminta penumpang agar berdoa bersama bagi keselamatan kapal dan penumpangnya. Dua jam penuh cekaman akhirnya pukul 5 sore kami sampai di Karimun Jawa. Kegembiraan, kelelahan dan rasa syukur yang kami rasakan saat itu benar-benar membuat kami merasa bahagia.Betapa tidak kami bahagia, awal kami sesampainya di pulau Karimun Jawa adalah dengan mengabadikan momen tersebut melalui kamera yang kami bawa dan berfoto di gapura selamat datang. Pihak biro wisata yang kami ikuti membawa kami ke sebuah home stay. Dihari pertama kami di Karimun Jawa kami sudah mendapatkan banyak teman yang pada saat itu satu penginapan dengan kami. Yohe,Niko,Yongki dan Michael merupakan wisatawan dari Bandung. Mereka merupakan mahasiswa angkatan kami. Perkenalan itu membuat kami merasa tidak asing di Karimun Jawa. Malam itu kami berjalan-jalan ke alun-alun Karimun Jawa. Kami mencoba nasi pecel yang cukup murah yaitu sekitar 3 ribu 5 ratus. Rekomendasi bagi wisatawan tentunya.Tanggal 10 Januari 2011 kami melangsungkan perjalanan dengan kapal nelayan yang cukup besar yang mampu menampung sekitar 30 penumpang lebih. Kunjungan pertama kami adalah Pulau Gosong, pulau yang tidak lebih besar dari lapangan bola ini sungguh indah dan unik. Karena pulau ini akan menghilang di sore hari. Selepas kami berfoto-foto ria dan berenang di pulau tersebut kami melanjutkan snorkeling di sekitar Pulau Tengah Sungguh benar-benar tidaki dapat dibayangkan sebelumnya. Panorama yang disuguhkan biota bawah lautnya sungguh benar-benar indah. Terumbu karang, ikan-ikan dan rumput laut yang menghiasi isi laut sungguh tak dapat dibayar dengan apapun juga. Benar-benar indah. Waktu tak terasa sudah siang hari, kami makan siang di Pulau Tengah. Dan tanpa aba-aba kami bergegas hunting spot yang indah untuk berfoto di pulau itu. Pasir yang putih terbawa angin yang bertiup sungguh menandakan pantai di Pulau Tengah benar-benar bersih. Langkah kami agak berhati-hati karena terpaan pasir tersebut cukup membuat kaki kami merasa sakit. Namun tak berbahaya. Pulau Tengah layaknya pulau pribadi yang ak berpenghuni.Sore hari kami kembali ke penginapan. Di sana kami semakin akrab dengan teman baru kami yang ke lima teman kami tersebut dari Bandung semuanya. Namun mereka tidak ikut dalam biro wisata yang kami ikuti. Mereka backpacker sejati. Tiga dari lima teman kami itu adalah wanita, mereka angkatan 2010 yang dengan berani mengunjungi Pulau Karimun Jawa tanpa biro jasa wisata. Sebelumnya kami memang sudah pernah melihat ketiga wanita tersebut di Pulau Tengah. Dan kami tahu bahwa mereka satu penginapan dengan kami, tapi ternyata mereka bacpakers yang berwisata tanpa biro jasa. Wisatawan dari biro jasa yang kami ikuti hamper berjumpalh 30 orang, namun 10 diantaranya di tempatkan di homestay yang kami tempati. Empat pria dari Bandung yang kami juluki F4, 2 orang dari Jogja yang kami juluki The Virgin dan 1 lagi Mas Ranja dari Jakarta. Dua diantara backpacker dari Bandung bernama Teh Anggi dan Aa Riva. Sedangkan Tika dan Ira yang kami juluki The Virgin merupakan wisatawan dari Jogja. Hampir setiap malam kami habiskan malam dengan bermain kartu poker. Banyak cerita yang kami dapat dan bagikan setiap malamnya. Pengalaman Teh Anggi yang sudah sering backpack ke luar negeri maupun dalam negeri membuat kami semakin ingin menjelajahi indahnya dunia, khususnya keindahan nusantara.Hari ketigaΒ kami di Karimun Jawa kami habiskan snorkeling pulau Menjangan kecil dan berenang bersama hiu di penangkaran. Sensasi yang berbeda ketika mencoba berenang bersama hiu, tapi kami cukup berani untuk melakukannya. Dengan keyakinan yang diberikan oleh pengelola tentunya. Hari itu pula kami mengunjungi wisata darat di Pulau Karimun Jawa yang baru pertama kali diadakan oleh biro tersebut, hal dilakukan karena keadaan ombak di luar pulau Karimun Jawa mendadak meninggi. Kami mengunjungi hutan mangrove yang belum dijadikan objek wisata pada saat itu, karena pembangunan jalan setapak menggunakan kayu yang tertata dengan rapi belum sepenuhnya selesai. Bahkan kami diajak mengunjungi perkampungan suku Bugis yang berada di Pulau Karimun Jawa. Sungguh indah perjalanan wisata kami saat itu. Sore hari ketika kami hendak berkemas untuk keesokan harinya kami kembali menuju Jepara dikabarkan ombak tinggi melanda perairan di Karimun Jawa. Beberapa wisatawan sudah ada yang panik. Dan keberangkatan hari ke empat untuk pulang pun ditunda. Tapi bagi kami pada saat itu justru ini merupakan kesempatan kami untuk menjelajahi Pulau Karimun sepenuhnya. Wisatawan biasanya hanya di ajak berwisata di luar Pulau Karimun Jawa. Karena Pulau Karimun Jawa merupakan gugusan kurang lebih 27 pulau dan Karimun Jawa hanya dijadikan sebagai Pulau hunian. Tapi menurut kami justru di Pulau Karimun Jawa banyak pantai indah yang sebenarnya tidak banyak wisatawan mengetahuinya. Hari ke empat kami justru memisahkan diri dengan rombongan wisatawan biro perjalanan wisata yang kita ikuti. Kami bersama backpacker dari Bandung yang berjumlah 5 orang berniat mengunjungi salah satu pantai yang cukup indah di kawasan hotel ternama di Karimun Jawa. Namun untuk memasuki pantai tersebut kami diharuskan membayar sekitar 5 ribu rupiah. Biaya tersebut bagi kami sangatlah mahal mengingat perbekalan kami yang menipis. Dengan inisiatif Teh Anggi kami menerobos lading dan ternak disamping hotel tersebut agar bisa langsung masuk ke dalam hotel tanpa melalui pos penjagaan. Tanpa adanya pagar pembatas atau tembok kami bisa langsung memasuki kawasan hotel dan akhirnya benar saja kami sudah mencapai pelataran hotel tersebut. Dengan berhati-hati dan tanpa membuat kegaduhan kami mencoba menyelinap untuk dapat sampai di pantai tersebut. Namun apa daya, ternyata penjaga hotel memergoki kami ketika kami sedang berjalan mengendap-ngendap. Dan kontan kami dimintai biaya untuk masuk oleh petugas tersebut. Wajahnya cukup sangar, separuh baya perawakannya. Dengan alasan tidak membawa uang kami akhirnya menolak permintaan tersebut. Tanpa basa-basi kami pergi kembali ke kebun sebelah hotel yang kami masuki tadi. Beberapa kata umpatan sempat kami lontarkan ketika dalam perjalanan ke kebun. Sesampainya di kebun kami tidak lantas pulang ke penginapan dengan menyerah begitu saja. Diskusi kecil untuk tetap melanjutkan perjalanan ke pantai tersebut dengan rute melalui hutan kecil yang cukup lebat. Kesepakatan diambil, dan kami memilih untuk menerobos hutan kecil yang entah benar atau salah bahwa ujung hutan ini adalah pantai yang kami maksud. Sekitar 20 menit kami melewati hutan, pemandangan pantai yang kami incar ada di depan mata. βwaaawwwβ¦kerenβucap saya sambil menahan teriakan senang agar tidak membuat kegaduhan di kawasan pantai hotel tersebut.Tanpa aba-aba kami langsung bergegas menceburkan diri di pantai dan ber-snorkling ria di pantai tersebut. Indah benar-benar indah, pantai saja sudah dapat dijadikan tempat snorkling yang sangat menarik perhatian saya. Terumbu karang yang indah dengan biota lautnya membuat saya semakin etah berlama-lama di sana. Satu hal yang mungkin patut kami waspadai selain penjaga hotel adalah bulu babi yang lumayan banyak. Namun semua itu bisa kami atasi dengan baik. Tak terasa sore menghampiri dan kami bergegas kembali ke penginapan dengan melalui hutan kembali.Sepulangnya kami ke penginapan kami mendapatkan kabar bahwa pada hari kelima pun kapal Muria belum dapat berlayar, kami masih bergumam dengan berita itu βsantai ajah kita KKN tanggal 23 ini kanβ. Hari ke lima masih dengan petualang bersama kelima backpacker dari Bandung kami berniat mengunjungi Pantai Legon Lele yang berada di ujung Pulau Karimun Jawa, dengan berjalan kaki kami menuju arah Pantai tersebut yang berjarak skitar 1 jam perjalanan. Berhubung kami satu penginapan ikut semua, jadi sepeda sewaan yang ditawarkan oleh warga tidak cukup. Informasi akan pantai tersebut kami dapat dari The Virgin yang mempunyai kenalan yang baru mereka kenal di Karimun Jawa. Kami hanya memberikan βuang rokoβ bagi Mas Jaet(sebut saja begitu) dan uang untuk menyewa kapal menuju pulau kecil di Pantai Legon Lele. Dia mengatakan untuk minum air kelapa di pinggir pantai tidak perlu bayar, karena itu digratiskan. Cukup panas dan melelahkan perjalanan menuju Pantai Legon Lele, namun pemandangan indah selama perjalanan itu cukup terbayarkan. Sesampainya di sana kami pun berdecak kagum dengan keindahan pantai tersebut. Sembari menunggu perahu nelayan yang kami sewa melalui Mas Jaet datang kami menikmati air kelapa Pantai yang diambilkan oleh Mas Jaet. Kenikmatan Pantai Legon Lele serasa lengkap dengan penghilang dahaga alami tersebut. Tak lama perahu nelayan sudah datang.. Setiap anak dibebankan biaya sekitar 10 ribu rupiah untuk biaya perahu. Betapa indah sekali ketika kami mencoba snorkling di pulau kecil yang tidak kami ketahui namanya. Pulau tersebut berjarak sekitar 10 menit untuk menyebrang menggunakan perahu nelayan. Dengan bekal alat snorkling yang kami pinjam dari biro jasa wisata kami dengan tanpa biaya, kami menikmati keindahan alam bawah laut di perairan tersebut.Karimun Jawa benar-benar tidak memiliki spot yang tak indah untuk dinikmati. Dikarenakan perahu nelayan yang kami tumpangi berukuran kecil sehingga kapal pun harus dua kali perjalanan mengantarkan kami. Dan saya kebagian kloter kedua.berhubung hari sudah hampir sore kami bergegas kembali ke penginapan. Mengingat perjalanan kami cukup jauh dengan berjalan kaki, kami akhirnya diantarkan oleh nelayan tersebut dengan menggunakan perahu melalui perjalanan laut. Cukup membantu memang, karena hamper separuh perjalanan kami diantar, sisanya kami harus tetap berjalan kaki. Kali ini biaya ditambah lagi 10 ribu karena untuk tambahan biaya perahu nelayan yang meminta tambahan serta biaya air kelapa yang ternyata diminta oleh pemilik kelapanya melalui Mas Jaet. Setibanya kami berjalan melalui pemilik rumah pohon kelapa yang kami tadi sempat meminta ijin, sang pemilik pun secara halus meminta biaya kelapa yang kami konsumsi. Dan spontan kami telah mengatakan kepada pemilik tersebut bahwa kami telah membayarnya kepada Mas Jaet. Dan kontan ternyata hal tersebut disanggah oleh pemilik pohon kelapa. Damn..kami sedikit tertipu dan kecewa. Ternyata uang yang dimintai kembali oleh nelayan yang perahunya telah kami sewa tidak meminta bayaran lagi. Dan uang itu ternyata diminta oleh Mas Jaet secara pribadi dan mengatas namakan nelayan tersebut. Yang lebih mengecewakan lagi padahal kami sudah memberikan βuang rokokβ yang menurut kami sudah cukup untuk dua bungkus rokok lebih. Apes memang sempat bermasalah dengan pemilik pohon kelapa. Tapi kami memang meyakini untuk mendapatkan pengalaman berharga seperti Pantai Legon Lele memang harus membayar mahal tentunya. Dengan sisa uang yang semakin menipis kami mengisi perut di rumah pemilik pohon kelapa dengan membayar 8 ribu per anak. Tawaran itu kami ajukan karena pada saat itu kami memang benar-benar kelaparan. Mie instan dan nasi yang hampir satu bakul besar kami dapatkan, sisa nasi yang masih banyak akhirnya kami bawa pulang ke penginapan untuk kami jadikan nasi goring nantinya. Lagi-lagi menyangkut isi dompet yang benar-benar menipis.Tidak lama kami selesai mengisi perut, di depan rumah pemilik pohon kelapa melintas dengan pelan sebuah mobil pick up yang menuju arah yang sama. Tanpa banyak bicara kami langsung menghentikannya dan meminta tumpangan gratis menuju penginapan. Dan pemilik mobil pun mengijinkannya. Untunglah kali ini, kami dapat menghemat tenaga kembali. Sembari menikmati perjalanan kami menuju penginapan kami salaing bercerita dan membahas mengenai kejadian tadi yang menyangkut dengan Mas Jaet, pelajaran yang dapat kami ambil adalah βJangan terlalu percaya kepada orang yang baru kita kenalβ. Sesampainya kami di penginapan, kami melihat kerumunan warga di depan penginapan kami, alangkah kagetnya kami. Sempat terlintas di benak saya βkayanya warga marah gara-gara tiap malem kita berisik maen pokerβ. Namun ketika kami menghampiri terlihat Ibu pemilik homestay yang kita tinggali menangis tersedu-sedu. Kami merasa bingung, melihat kebingungan kami, Mas Ridwan pemilik biro jasa wisata yang kami ikuti menghampiri kami dan mengabarkan dua kabar buruk bagi kami. Pertama adalah anak dari pemilik homestay kami baru 5 menit yang lalu berkabung karena anak bungsunya yang masih kira-kira berusia satu tahun meninggal dunia karena tenggelam di dalam bak mandi tempat kami mencuci pakaian di depan homestay kami. Serentak wajah kami berubah, Β sedih, bingung dan takut tentunya. Kabar buruk kedua yang kami terima saat itu adalah ketika Mas Ridwan mengatakan bahwa besok kapal Muria belum bisa berlayar dikarenakan gelombang ombak masih sekitar 3 meter. Lagi dan lagi, kali ini kami sedikit agak cemas karena isi dompet kami benar-benar terbatas. Hal yang paling membuat kami takutkan adalah kehabisan stok perbekalan uang. Tapi untung saja jauh sebelum musibah anak bungsu pemilik homestay meninggal, Mas Ridwan meminta kebijakan kepada pemilik homestay agar penginapan yang pada hari ke lima ditanggung oleh wisatawan dibayar hanya separuhnya saja. Karena pihak biro hanya menanggung selam 4 hari saja. Ketidakadaan mesin ATM di Karimun Jawa membuat kami kewalahan. Untung Mas Ridwan berbaik hati menawarkan pinjaman uang tunai, dan boleh dilunasi ketika kami sudah sampai Purwokerto. Terbayang sudah, malam itu kami melayat kepada pemilik homestay dan ikut berduka atas kejadian sore tadi. Jenazah anak tersebut akan dimakamkan esok hari, malam itu pula jenazah berada di depan homestay kami, tepatnya di bangunan hotel yang belum jadi yang masih kepemilikan dengan homestay kami. Sang pemilik homestay mungkin tidak mau mengganggu kami dengan menempatkan jenazah anaknya untuk diadakan pengajian malam itu di homestay yang kami tempati. Selepas melayat kami langsung bergegas ke alun dengan membawa sisa nasi yang cukup banyak bagi kami dan meminta ibu warung di alun-alun untuk memasakan nasi goring bagi kami. Cukup dua ribu saja peranaknya kami membayar Ibu warung tersebut. Sepulangnya kami ke penginapan, rasa takut yang benar-benar menghantui kami datang. Penginapan kami terdiri dari dua lantai, dan kebetulan sekali lantai atas di isi oleh anak-anak perempuan, sedangkan anak-anak laki-laki berada di lantai bawah. Dengan adanya kejadian tersebut kami sebagai kaum Adam memutuskan untuk pindah ke lantai atas dan tidur di ruang tv atas. Dengan segala barang-barang yang kami miliki akhirnya kami hijrah. Tidak hanya kami saja yang merasa takut, anak-anak perempuan pun merasakan hal yang sama. Akhirnya malam itu kami tidur sudah tak beraturan,, dan malam itu pula kali pertama tidak ada teriakan dari kami ketika permainan poker dimulai.Keesokan harinya masih dengan suasana berkabung kami tidak memiliki rencana βhunting spotβ indah. Yang ada kami justru tertarik untuk meminta buah jambu air kepada warga dan menjadikannya rujak. Momen yang cukup langka memang. Selesai acara ngerujak kami bergegas menuju warung burjo (bubur kacang ijo) tidak jauh dari alun-alun. Tempatnya cukup unik, dominan warna rasta yaitu kuning,hijau dan merah menghiasai tempat tersebut. Tak lama kemudian hujan turun sangat lebat, memaksa kami untuk berlama-lama ditempat itu. Obrolan dengan pedagang burjo semakin menarik, selain dia berasal dari Sunda (Sukabumi) dia pun menuturkan cerita-cerita mistis dan mitos-mitos yang terjadi di Karimun Jawa. Betapa merinding bulu kuduk kami ketika dengan seksama mendengarkan cerita si Aa Burjo. Lebih mengagetkan ketika kami mendapatkan bahwa pemilik penginapan kami diduga oleh masyarakat sekitar sebagai salah satu pesugihan. Dan hal ini sudah diduga jauh sebelum kami mengenal Pulau Karimun Jawa. Mendengar cerita itu kami tidak mau menelannya bulat-bulat, kami tidak mau mempercayai langsung begitu saja obrolan tersebut. Percaya tidak percaya kami memang sdikit gentar untuk kembali ke penginapan. Diujung pembicaraan itu kami mendapatkan pesan dari si Aa Burjo βtenang ajah kalo ke wisatawan mah hal-hal mistis kaya pesugihan gitu ga akan terjadi. Karena pesugihan itu pantangannya. Yang paling penting kalian jangan langsung mau menerima barang atau makanan yang dikasih sama orang yang kira-kira punya aliran kaya gituβmendengar pesan itu perasaan kami entah seperti apa tak dapat dibayangkan.Hujan sudah reda dan kami pun bergegas kembali menuju penginapan, tanpa banyak bicara kami langsung menuju lantai atas. Kami memutuskan untuk pindah penginapan, rumah warga menjadi pilihan kami. Sebelumnya Mas Kodir salah satu life guard asli Karimun Jawa yang membantu biro wisata kami memberitahukan kepada kami bahwa ada beberapa warga yang bersedia menampung kami di rumah mereka selama kami masih belum bisa menyebrang ke Jepara. Pilihan ini kami ambil ketika kebenaran cerita si Aa Burjo di Amini oleh pemilik penginapan yang ditempati oleh wisatawan lainnya. Wisatawan yang masih di Β penginapan Mas Ridwan kami diberi suguhan singkong goreng oleh pemilik penginapan kami. Betapa tidak kami tersentak kaget dengan niat baik pemilik penginapan kami. Pesan penjual burjo masih melekat diingatan kami. Namun kebutuhan logistic meyakinkan logika, satu persatu dari kami mulai memakannya, diselingi candaan akan mistik setelah memakan singkong tersebut tentunya. Dan akhirnya giliran saya yang belum mencicipinya, rasa takut masin menghantui saya. Tapi terlintas di pikiran saya βsiapa tau yang gak makan itu yang kena pesugihan, ah mending gw makan ajah lah, biar bareng-bareng ma anak-anakβ. Konyol memang tapi akhirnya saya menjadi bulan-bulanan ejekan mereka , tak apalah yang penting kami semua sudah memakannya.Masih di malam itu, akhirnya kami memutuskan untuk menyalakan hp Adi yang di dalamnya ada rekaman ayat-ayat suci. Sepanjang malam hp itu dinyalakan dengan membunyikan rekaman. Cukup ampuh memang, kami merasa aman. Kami melihat Yohe di dalam kamar sedang berdoa dengan keyakinannya. Dan kami merasa kami butuh perlindunganNya.Keesokan harinya kami bergegas pindah ke rumah warga, dengan alasan kepada pemilik penginapan bahwa kami sudah tak memiliki uang lagi. Ketika berpamitan sang pemilik penginapan dengan istrinya menangis ketika menyaksikan kami pergi, padahal kami sudah ditawari penginapan tersebut gratis. Dengan dalih tidak enak dengan warga yang sudah kami mintai pertolongan kami tetap memutuskan pindah. Pada saat itu kami benar-benar bingung, betapa tidak kami semakin berpikiran macam-macam ketika sang pemilik penginapan menggratiskan biaya menginap kami sampai kapal Muria dapat berlayar kembali.Hari-hari yang telah kami lalui hingga seminggu di Karimun Jawa makin membuat kami cemas. Kepastian akan berlayarnya Kapal Muria tidak pernah kami dapati, setiap hari tepat pada pukul 2 siang waktu setempat kami selalu bergegas ke kantor pengelola kapal. Kami selalu menanyakan kabar keberangkatan Kapal Muria untuk keesokan hari. Namun apa daya, ASDP (Angkutan Sungai Danau dan Penyebrangan) tidak pernah memberikan SIB (Surat Ijin Berlayar) kepada pengelola kapal dengan alasan ombak di perairan masihg mencapai 2 meter lebih. Dan itu cukup membahayakan bagi perjalanan pelayaran. Hal tersebut merupakan acuan ASDP dari himbauan BMKG. Kami merasa sangat menghargai himbauan tersebut, karena hal itu semata memang dilakukan untuk keselamatan kami.Setiap hari kami semakin akrab dengan kata-kata : ombak,ASDP,BMKG dan belum bisa berlayar. Kecemasan kami semakin menjadi ketika semua wisatawan tentunya memiliki kesibukan yang harus dilakukan dan tidak dapat ditinggalkan di daerahnya masing-masing. Mas Ranja sebagai teman wisatawan yang kita anggap sebagai kaka pun pada akhirnya gundah dengan hal ini, dia harus kembali bekerja setelah masa cuti berliburnya sudah berakhir. Begitu pula dengan F4 yang harus segera menyelesaikan administrasi kampus yang tidak dapat diwakilkan dan sudah hampir masa tenggat. Tidak hanya mereka, 100 wisatawan lebih yang terdampar di Karimun Jawa pun memilikiΒ kesibukannya masing-masing. Begitu pula kami berempat yang harus segera bergegas mengikuti masa KKN yang hampir tiba. Dengan segenap desakan dari aktifitas semua wisatawan, semua wisatawan yang berada di Karimun Jawa mengadakan unjuk rasa pada malam hari di Kantor Kecamatan Karimun Jawa. Dengan perundingan alot, Bapak Camat tetap tidak mengijinkan kami untuk dapat berlayar pada esok hari walaupun menurut ilmu alam para nelayan serta cerita para nelayan Karimun Jawa yang telah melaut hari itu bahwa ombak sudah tidak tinggi. Pertimbangan Bapak Camat cukup melegakan bagi saya, karena beliau lebih mementingkan keselamatan wisatawan dan hal ini memang menjadi ketentuan ASDP yang pada hari itu belum mengijinkan Kapal Muria berlayar. Namun Bapak Camat justru memberikan kebijakan kepada seluruh wisatawan dengan memberikan subsidi biaya hidup wisatawan di Karimun Jawa melalui penggratisan biaya penginapan setiap wisatawan hingga kapal dapat berlayar dan memberikan jatah beras satu karung kepada wisatawan melalui setiap penginapan.Hari-hari berlalu begitu lambat, pasokan bahan makanan berupa sayur-sayuran di Karimun Jawa semakin menipis. Karena pasokan bahan makanan di Karimun Jawa berasal dari Jepara. Dengan tidak berlayarnya Kapal Muria menjadikan pasokan menjadi terhambat. Menu nasi pecel yang biasa kami nikmati di alun-alun pun berasa menjadi tidak special lagi, hampir setiap hari dan beberapa kali dalam sehari menjadi menu makanan kami. Selain murah karena pedagang pecel tersebut pun sangat baik, namun karena pasokan sayur-sayuran sudah berkurang menjadikan isi dari pecel pun tidak lengkap lagi.Malam itu kira-kira hari ke Sembilan, beberapa teman dari penginapan kami seperti Mas Ranja, F4 dan The Virgin dengan sembunyi-sembunyi memberanikan diri menyewa kapal nelayan untuk berlayar ke Jepara. Menjelang shubuh mereka hendak menyebrang dari Pulau Tengah, namun hal tersebut akhirnya dapat digagalkan oleh Polisi Patroli. Hingga akhirnya mereka tidak dapat berlayar. Keberanian mereka tidak dapat kami ikuti karena selain keterbatasan biaya kami belum berani untuk mempertaruhkan nyawa kami dengan kapal nelayan. Butuh waktu 6 jam apabila ingin menyebrang ke Jepara. Itu pun apabila keadaan ombak normal. Mungkin keberanian mereka didasarkan atas desakan kepentingan yang tidak dapat mereka tinggal di daerahnya masing-masing.Keesokan harinya tepat pukul 2 siang kami mendapatkan kabar gembira bahwa keadaan ombak sudah kembali normal. Dan kami dapat kembali ke Jepara. Rasanya ketika mendapatkan kabar tersebut kami bagai mendapat uang satu koper. Mungkin berlebihan tapi itulah yang kami rasakan. Ketika kami hendak pamitan dengan warga yang kami tumpangi tempatnya, mereka meneteskan air mata. Salah satu dari warga yang berbaik hati untuk membantu kami dengan memberikan tumpangan kepada kami adalah Bapak Slamet, beliau memberikan kami makan gratis selama kami tinggal ditempatnya. Beliau juga kerap mengajak kami ke tempat-tempat yang indah untuk menikmati biota laut dengan cara snorkling. Tanpa bayaran dan tanpa mengharapkan imbalan. Betapa tidak kami telah berprasangka buruk kepada bapak Slamet yang dulu telah kami hujat ketika kami hendak berenang di salah satu pantai kawasan hotel di Karimun Jawa. Ya, beliau adalah satpam penjaga hotel tersebut yang sempat melarang kami untuk memasuki kawasan pantai tersebut. Benar-benar malu ketika kami mengetahui bahwa sang pemilik rumah yang sangat berbaik hati kepada kami ternyata adalah orang yang pernah kami cemooh.Kebaikan warga Karimun Jawa semakin kami rasakan ketika kami hendak pergi ternyata mereka masih saja memberikan bekal nasi bungkus untuk perbekalan kami selama perjalanan ke Jepara. Bahkan selama kami menumpang di salah satu rumah warga, karena jumlah kami yang banyak, kami di pecah menjadi dua. Dan saya kebagian menumpang di rumah Bapak Asril yang pada saat itu dengan ikhlas merelakan rumahnya kami tempati selama kami butuh tumpangan dan beliau justru tinggal di rumah mertuanya selama kami menempati tempatnya. Benar-benar menyentuh bagi kami. Karimun Jawa memberikan sejuta pengalaman dan pembelajaran. Hampir 6 jam perjalanan di laut akhirnya kami tiba menepi di Pelabuhan Kartini Jepara. Sujud syukur bagu kami setibanya kami di sana. Puluhan wartawan sudah memadati pelabuhan untuk meliput kedatangan 100 wisatawan lebih yang terdampar di Karimun Jawa hingga kurang lebih 11 hari. Keiinginan kecil untuk dapat dimintai pendapat oleh wartawan mengenai kejadian tersebut, namun apa daya ternyata wartawan lebih memilih wisatawan lain, bukan saya atau bukan kami. Dengan menyisakan kulit wajah yang hampir mengelupas secara keseluruhan akibat dari proses βpengasinan air lautβ di Karimun Jawa kami berempat akhirnya berpisah dengan kawan-kawan sepenginapan. Kedekatan kami selama hampir 2 minggu menjadikan kami serasa menjadi kawan dekat yang pernah senasib dan sepenanggungan. Namun kebersamaan ini masih terjalin hingga kini, kami tetap keep in touch dan menjadikan kami semakin dengan dengan adanya group di Facebook alumni salah satu penginapan kami. Bahkan kami kerap bertemu di Bandung ketika kami mengunjungi kota kembang tersebut,, dan mereka lah yang menjamu kami. Salah satu hal yang paling patut kami syukuri adalah ketika kami tepat waktu mengikuti KKN tanpa keterlambatan waktu, sehingga kami tidak perlu mengulang kegiatan wajib tersebut. benar-benar tepat waktu, karena keesokan harinya kami langsung mengikuti kegiatan tersebut.Karimun Jawa akhirnya menorehkan syair yang saya buat dan hanya dapat dimengerti oleh kami yang telah merasakan keindahan Karimun Jawa,rutinitas bermain Poker,pengalaman mistis,keluarga baru di Karimun Jawa,pelajaran hidup,dan lain-lain.Kita Sebut Itu Karimun JawaDi ujung garis horizon tak bertepi,Roman Srikandi membukukan kisah,Sang mentari tak mampu menembus mega hitam yang kerap mendekap keperawanan Menjangan.Adakalanya lautan bergermuruh menyeruak takut.Bahkan Muria tua tak mampu menaklukan.Di Ujung Muda tersimpan sejuta kengerian..Sang pemuja tumbal hendak memperkaya diri.Surya terang mengkilat hebat,biru tua tak berbiota.Hendak diselami mendecak kagum.Β Buah hati Srikandi menyatu dalam kelakar.Elegi cinta sempat membaha.Perang perselingkuhan menabuh genderang kasih.Β Sang pecundang mengingkar kata.Satu dalam suka,Satu dalam duka.Deretan kartu pengusir penat.Dewa-dewi judi merajai.Tiada dua bagai duduk di atas bara.Β Sepertiga hari di lalui,Melintas lautan mencapai Firdaus NusantaraSeperempat hari jadi jalan pulang ke Bumi..Padahal butuh sedetik untuk menggulung Muria dalam deburan.Β Surga itu kita tinggalkan,Pergi jauh ke habitat liar,Sukar kebaikan jarang ketulusan..Tempat itu mengajarkan,Adalah waktu dan materi yang perlu kita hargai pula..Kita sebut itu Karimun jawaΒ
(travel/travel)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Prabowo Mau Borong 50 Boeing 777, Berapa Harga per Unit?
Prabowo Mau Beli 50 Pesawat Boeing dari Trump: Kita Perlu Membesarkan Garuda