Kotagede, Geliat Niaga Sejak Tempo Dulu
Selasa, 28 Feb 2012 16:13 WIB

Ina Florencys

Jakarta - Sejak zaman Mataram Kuno, Pasar Kotagede sudah menjadi sentra perdagangan di Yogyakarta. Hingga kini, geliat ekonomi pasar ini sudah tersohor bagi wisatawan mancanegara.Pasar Kotagede senantiasa ramai saat pasaran legi. Di hari itu, suasana pasar menjadi lebih ramai dibanding hari-hari pasaran lainnya. Tidak hanya barang-barang kebutuhan pokok yang dijual. Di sini kita bisa menemukan berbagai hewan ternak, ragam tanaman hias, alat-alat pertanian, hingga koleksi barang-barang lawasan dijual.Menurut KH. Abdul Muhaimin, Ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman, Pasar Kotagede sesungguhnya merupakan melting pot. Di sini terjadi proses asimilasi budaya. Ada banyak pedagang maupun pembeli dari berbagai macam daerah berinteraksi di sini. Mereka berasal dari latar belakang ras, budaya, serta etnis yang berbeda-beda. Oleh karena keistimewaan karakteristik itu, Kotagede perlu dikelola dengan baik.Pasar Kotagede juga merupakan bagian dari Catur Gatra Tunggal. Sebuah konsep kota Jawa tradisional yang mengadopsi dari tata kota Hindu. Pasar diposisikan sebagai salah satu tempat penting selain keraton, masjid, dan alun-alun. Kraton sebagai pusat pemerintahan, masjid sebagai tempat peribadatan, alun-alun sebagai ruang publik, dan pasar sebagai pusat perekonomian.Pasar adalah tempat pertama yang dibangun oleh penguasa pada masa itu, yakni Sutawijaya. Pertimbangannya, pasar merupakan jantung perekonomian. Keberadaannya akan memunculkan geliat perdagangan. Kota pun akan semakin berkembang dan ramai.βKotagede berdiri pada pertengahan abad ke 16, yakni pada 1530. Pada waktu itu belum ada kota-kota lain seperti Yogya maupun Solo. Yogya baru berdiri sekitar tahun 1755-1756. Solo juga hampir bersamaan. Artinya, Kotagede sudah ada sekitar 200 tahun sebelumnya. Tetapi saat jaman Sultan Agung, ia tidak lagi menjadi ibukota. Pusat pemerintahan saat itu dipindah ke Plered lalu Kartosuro. Meski demikian, pasar tetap menjadi pusat perekonomian,β ujar Achmad Charris Zubair, Ketua Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta.Achmad Zubair juga menceritakan geliat perekonomian di masa itu menghadirkan dua kelompok besar. Mereka sama-sama tumbuh menjadi "saudagar" di Kotagede. Pertama adalah kelompok wong Kalang dan yang kedua adalah kelompok santri. Kelompok Kalang sendiri masih meneruskan tradisi Hindu meski beberapa di antaranya sudah ada yang memeluk agama Islam. Tradisi Kalang Obong misalnya, merupakan prosesi kematian seperti tradisi ngaben di Bali. Namun, yang dibakar bukan lagi jasad melainkan replika boneka serta barang-barang peninggalan kesayangannya.Pada tahun 1920-an Pemerintah Hindia Belanda memberikan hak istimewa kepada kedua kelompok tersebut. Mereka berhak untuk memonopoli beberapa komoditas tertentu. Kelompok Kalang mendapatkan konsesi perdagangan berlian, candu, serta penyelenggaraan metode pegadaian. Sementara kelompok Santri mendapatkan hak perdagangan berlian, serta mori sebagai bahan untuk membuat pakaian. Namun, belum diketahui jelas latar belakang pembagian hak monopoli atas komoditas yang berbeda-beda itu."Suatu saat almarhum Prof. Kasmat Bahuwinangun, salah satu pendiri UII, kebetulan waktu itu juga bersama saya, ke suatu tempat di Lyon, Perancis Selatan. Kami diajak oleh seorang Perancis melihat-lihat semacam toko berlian. Pedagang di situ lalu bercerita, mereka punya hubungan dengan pedagang berlian dari Kotagede. Jadi dari situ lah saya kira untuk perdagangan berlian, hubungannya dengan Eropa," cerita Achmad.Untuk komoditas mori, hubungan perdagangannya dengan Jepang. Mengingat pada masa itu Jepang memiliki pabrik tekstil terbesar di Asia. Untuk komoditas candu, hubungan perdagangannya dengan Cina. Sementara pegadaian, merupakan konsep sistem perputaran uang di tengah pasar saat itu.Itulah masa-masa saat mereka berada pada puncak kejayaan. Wong Kalang menjadi kelompok utama yang mampu membangun rumah-rumah mewah. Bahkan sangat mewah di saat rumah orang-orang kebanyakan masih berupa gedhek (dinding anyaman bambu). Hingga kini, kita masih bisa melihat bangunan peninggalan Kalang terutama di wilayah Tegalgendu. Arsitekturnya sangat menarik. Konsep tata ruangnya masih mengadopsi tata ruang jawa. Sementara ragam hiasnya mengadopsi gaya Eropa, Cina, serta Melayu.Dalem Prayadranan yang berada sekitar 750 meter di barat laut Pasar Kotagede misalnya. Bangunan yang berdiri pada tahun 1912 ini memiliki kemiripan dengan Istana Maimun, warisan Kesultanan Deli, Medan. Ada nuansa serta gaya bangunan Melayu. Di tahun 1980 hingga 1990-an bangunan ini pernah difungsikan sebagai tempat kegiatan kesenian masyarakat Kotagede. Pentas wayang kulit semalam suntuk, teater hingga ketoprak pernah ditampilkan di sini.Kelompok santri pun membangun rumah yang tidak kalah mewah. Bangunan-bangunannya masih bisa kita lihat di wilayah Jagalan. Di wilayah permukiman tradisional dengan tingkat kepadatan tinggi ini, terdapat rumah-rumah besar dengan corak limasan, hingga joglo.Selain kedua kelompok besar itu, ada satu kelompok lagi yang berada di pinggiran Kotagede. Mereka adalah masyarakat pengrajin biasa yang belum begitu tumbuh. Meski beberapa pengrajin sebenarnya sudah kerap mendapatkan pesanan dari Ratu Wilhemina serta Kasultanan pada waktu itu. Tidak selalu pesanan berupa perhiasan tetapi juga peralatan makan seperti mangkuk, piring, tea set, sendok, dan garpu. Karya-karya kerajinan perak dari Kotagede itu masih bisa dilihat justru di Museum Tropen, Amsterdam, Belanda.
Komentar Terbanyak
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum
Foto: Momen Liburan Sekolah Jokowi Bersama Cucu-cucunya di Pantai
Aturan Baru Bagasi, Presdir Lion Air Group: Demi Keselamatan