Sepi di Pulau Laskar Pelangi

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Sepi di Pulau Laskar Pelangi

Danny Maulana - detikTravel
Jumat, 30 Sep 2011 23:46 WIB
loading...
Danny Maulana
Pusat kota Tanjung Pandan
Mie Belitung
Pantai Tanjung Tinggi
Kami saat tiba di dermaga Pulau Rengit.
Pantai pulau Rengit saat surut di pagi hari
Sepi di Pulau Laskar Pelangi
Sepi di Pulau Laskar Pelangi
Sepi di Pulau Laskar Pelangi
Sepi di Pulau Laskar Pelangi
Sepi di Pulau Laskar Pelangi
Jakarta - Ketika Puang Madonna, rekan reporter saya mengabarkan kalau pitching (saran liputan) kami disetujui Kepala Divisi News, saya sungguh senang luar biasa. Bayangkan, kami akan mendatangi pulau yang paling sering dibicarakan dua ratus juta penduduk Indonesia. Pulau yang terkenal karena novel best seller dari kisah seorang pemuda mencapai cita-citanya. Dan pulau yang akan ditulis dalam itenarity setiap turis asing yang telah menonton filmnya di Cannes, Prancis. Ya! Liputan berikutnya, kami akan ke pulau Belitung!Menyenangkan, bukan?! Donna dan saya mendarat di bandara H.AS. Hanandjoeddin tanggal 25 mei 2011 lalu. Bukan pendaratan yang mulus mengingat landasannya tidak sepanjang landasan di bandara Soekarno-Hatta. Namun langit jam 9 pagi di Tanjung Pandan ini biru pekat! Ini keterlaluan, langit Bali dan Lombok saja tidak sebiru ini!Sampai di pusat kota Tanjung Pandan, kami diajak makan mie Belitung. Kuliner paling terkenal di kota. Bahkan pernah masuk acara kuliner di TransTV beberapa waktu yang lalu. Saya tahu itu karena pemiliknya memutar dvd liputan di TV 29" untuk menghibur pengunjung yang makan disana.Saya bukan pakar kuliner. Tapi lidah saya yang sangat lokal agak pemilih. Dan mie Belitung ini bukan salah satu favorit saya. Mie kuah ini rasanya aneh. Kuahnya agak kental dan terasa tawar. Sebagai seorang anak yang lahir di timur Indonesia, bumbu yang kuat jadi syarat utama lidah saya. Dan bumbu mie Belitung ini tidak terasa kuat di lidah. Namun itu penilaian pribadi saya, buktinya mie Belitung ini selalu kewalahan melayani pelanggan yang terus datang.Setelah sarapan, kami langsung menuju Dermaga Pegantongan, di kecamatan Badau untuk survey lokasi liputan "Pengabdian". Satu setengah jam dari pusat kota di Belitung tidak seperti satu setengah jam di Jakarta. Disini perjalanannya benar-benar jauh dan beberapa kali melewati daerah pinggir pantai tanpa rumah-rumah penduduk di sepanjang pinggiran jalannya.Sampai di Dermaga, kami langsung menumpang perahu yang sudah kami pesan sebelumnya. Enam ratus ribu sehari untuk ke pulau Rengit dan pulau Betang. Seperti namanya, pulau Rengit itu sarangnya nyamuk malaria. Pulau yang hanya sepelemparan batu dari dermaga Pegantongan cukup besar, namun karena tidak terlalu banyak penduduknya di tengah pulau masih berupa rawa dengan ilalang yang tumbuh subur. Disinilah sarang nyamuk malaria berada.Jika dilihat dari dekat, pulau Rengit tidak terlalu menyeramkan rupanya. Di dermaganya, tumbuh ratusan pohon kelapa yang tersusun rapi seperti pepohonan palem botol yang menyambut penghuni di perumahan elit. Masyarakat disinipun sangat ramah. Pak Sulaidi, ketua RT dan petambak ikan kerapu menyambut kami. Ia menjelaskan panjang lebar tentang sejarah penduduk pulau ini dan penyakit yang sering menyerang warga. Cukup menarik bahwa sudah dua tahun ini, malaria tidak lagi menyerang warga. Itu poin yang baik. Namun, penyakit lain masih menghantui. Rata-rata penyakit yang diderita mulai dari gatal-gatal, darah tinggi, rematik dan asam urat sampai paru-paru basah.Melihat kondisi kebersihannya ternyata masih jauh dari titik wajar. Sepanjang jalan setapak mengelilingi pulau, banyak sampah botol-botol bekas dan bungkus snack yang dibuang anak-anak dan orang dewasa. Dan yang lebih mencengangkan, hanya ada empat MCK layak pakai dan dua sumur aktif disini. Itupun dibangun dari bantuan pemerintah setempat setahun yang lalu. Yang lebih memprihatinkan, kualitas air disini cukup buruk. Warnanya coklat pekat seperti air teh. Bahkan bang Azis, Associate Producer atau Director kami pulang ke Jakarta bawa oleh-oleh sakit gigi. Ia bandel karena tidak sikat gigi dengan air mineral yang sudah kami sediakan. Dan jangan lupa, bawalah Detol sebanyak-banyaknya jika tidak ingin alergi dan iritasi.Dari pulau Rengit, kami melanjutkan survey ke pulau Betang. Satu jam dari sini. Sialnya, kami kehujanan diperjalanan. Saat tiba disana keadaan tambah buruk. Karena hampir 95% penduduk pulau Betang sudah pindah ke pulau Rengit, dermaga yang dulu ada sudah hancur tak berbekas. Perahu motor kami pelan-pelan merapat ke pantai sampai kandas di dasar permukaan pantai. Karena harus turun ke pantai setinggi dada dan masih harus jalan kaki sejauh lima ratus meter ke bibir pantai. Kami memutuskan kembali ke daratan dan memilih pulau Rengit untuk lokasi liputan "Pengabdian".***Saya mengira pulau Belitung akan seramai pulau Bangka. Namun saya salah besar. Pulau ini sepi sekali dan lokasinya pun sungguh jauh. Ditengah-tengah pusat kotanya yang kecil ada taman dan berdiri tugu batu meteor yang jadi cinderamata wajib disini. Karena penasaran, kami pun mendatangi rumah pak Firman Zulkarnaen. Pengrajin batu Satam. Batu meteor (Billitonite) yang ditemukan secara tidak sengaja di daerah Satam saat penambang timah sedang menggali biji timah.Pak Firman Zulkarnaen ini menurut saya bukan pengrajin. Ia lebih tepat disebut pedagang yang iseng membuat kerajinan batu Satam. Keramahannya menyambut kami sungguh mengagumkan. Ia sering bercanda dan memamerkan batu-batu Satam seukuran buku jari di depan kami tanpa khawatir hilang. Padahal satu batu itu paling murah seharga Rp. 200.000. Wow! Harganya yang lumayan mahal untuk sebuah batu kecil. Saat Donna sibuk memilih, pak Firman memamerkan tasbih dari batu Satam sepanjang satu meter yang pernah ditawar seharga satu milyar! Dan ia punya dua! Seorang pengusaha pernah menawar membeli tasbih tersebut, namun pak Firman masih tak tega melepasnya.***Setelah membeli obat-obatan, logistik dan properti untuk liputan nanti, kami menghabiskan waktu ke Tanjung Tinggi. Ke pantai yang punya bebatuan jumbo yang juga pernah jadi lokasi syuting Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi. Lokasinya pun sama jauhnya dengan ke dermaga Pegantongan. Satu jam dari hotel melewati proyek pelebaran jalan untuk persiapan agenda wisata Sail Wakatobi – Belitung Oktober ini.Majalah travel bahkan film yang pernah syuting disini tidak bohong. Pantai Tanjung Tinggi ini benar-benar indah. Pasir putih halus terbentang sepanjang garis horizon. Batu-batu setinggi rumah tersebar di kiri dan kanan pantai membaginya menjadi dua pantai membentuk seperti huruf "W". Datanglah kesini di hari kerja. Hanya ada sinar matahari, angin laut dan beberapa pedagang minuman ringan yang menemani anda disana.***Hari keempat. Waktunya syuting bersama tim advance yang baru tiba. Setelah sarapan dan membeli logistik yang kurang, kami langsung konvoi tiga mobil menuju pulau Rengit. Sempat berhenti sebentar di daerah Membalong untuk syuting perjalanan dr. Arien yang nanti akan menginap dan mengadakan bakti sosial di sana, kami tiba di pulau Rengit pukul lima sore.***Jujur, syuting di pulau Rengit ini salah satu yang paling menyebalkan. Bukan karena masyarakatnya yang sangat ramah. Namun lebih pada kami yang tidak bersahabat dengan cuacanya yang sangat panas dan penuh nyamuk di malam hari. Syukurlah karena keramahan dan rasa penasaran yang besar dari penduduk pulau Rengit. Syuting kami berjalan lancar dan acting aktor-aktor dadakan dari warga lokal disana sungguh natural dan alami.Pulau Belitung lokasi yang tepat untuk program tv kami. Namun untuk wisata, itu hal lain. Proyek pelebaran jalan sepanjang jalan menuju Tanjung Tinggi mau tak mau mengganggu mood di perjalanan. Pulau Lengkuas dan pulau-pulau eksotis lainnya disini pun cukup jauh untuk didatangi dalam sehari. Ini pekerjaan rumah Departemen Wisata yang berat untuk menyiapkan sarana dan prasarana yang memadai dan cukup banyak jika ingin wisata pulau ini seramai Lombok dan Bali. Dan jika anda datang kesini tanpa itenarity dan pengatahuan wisata yang matang, anda bisa mati bosan di kamar hotel.
Hide Ads