Extraordinary Flores (Part 2)
Senin, 17 Okt 2011 12:23 WIB

Jakarta - Sebelum berangkat dari Larantuka, kami masih sempat menikmati sarapan pagi. Berangkat dari hotel, kami sempat menginspeksi sebuah hotel di Larantuka. Hotel ini boleh dibilang bagus dan memenuhi standard untuk disebut sebagai hotel. Bahkan, hotel ini memiliki sebuah kamar yang dibuat dari sebuah perahu kayu dan letaknya tepat di tepi pantai. Sayang, saluran pembuangan air dari hotel tersebut diarahkan langsung menuju pantai di depan hotel tersebut. Ironis.Perjalanan kami menuju Moni dilanjutkan kembali. Setelah kurang lebih sejam melintasi jalur Trans Flores, kami mengambil jalan yang lebih kecil menuju sebuah desa yang terkenal dengan perkebunan jambu mete organiknya. Perjalanan ke desa ini juga melalui jalan dengan kondisi yang sedikit rusak. Tetapi pemandangannya cukup menghibur. Paduan perbukitan di sebelah kiri jalan dan laut di sebelah kanan membuat perjalanan menjadi menarik.Ketika tiba di Desa Ilepadung, kami sekali lagi disambut dengan tarian dan ritual adat. Ada yang berbeda di desa ini dengan penyambutan di desa Doka. Hanya salah satu dari kami yang mewakili rombongan kami dalam upacara adat tersebut dan harus menghabiskan secawan (dari batok kelapa) moke.Setelah upacara adat, kami kemudian berkeliling desa, melihat proses tenun ikat. Tenun ikat di desa ini sudah menggunakan benang dan pewarna modern, sehingga warnanya lebih variatif dan cerah. Kainnya pun lebih lemas dibandingkan dengan ikat Desa Doka ataupun Lewokluo yang sedikit kaku.Rombongan kami kemudian tertarik dengan sebuah bangunan yang terletak di dekat pepohonan di tengah desa. Ternyata, bangunan itu adalah rumah upacara adat masyarakat desa Ilepadung. Disebelahnya berdiri rumah tradisional tempat menginap. Ya, dua rumah tradisional dengan fungsi yang berbeda.Yang menarik dari rumah adat tempat upacara desa ini adalah, rumah tersebut berbentung seperti bale tanpa dinding, dengan rangka utama seperti perahu, dan menyimpan begitu banyak cerita tentang Ilepadung. Salah satunya adalah empat tiang penyangga atap yang melambangkan empat suku utama di desa Ilepadung, yang mana jika salah satu suku tersebut berhalangan hadir, upacara adat tidak dapat dilangsungkan! Sebuah nilai yang tinggi dari peradaban lokal yang sederhana.Setelah itu, rombongan kami sempat berbincang-bincang sebentar dengan perwakilan rakyat desa Ilepadung mengenai proses pengolahan jambu mete. Dengan dibimbing oleh seorang aktivis dan partner dari lsm yang mengajak kami, Ibu Eet, masyarakat desa Ilepadung kini memiliki satu lagi sumber perekonomian. Sayang, ketika kami berkunjung ke desa Ilepadung, panen mereka tahun ini gagal dan kami tidak berkesempatan menikmati enaknya kacang mede yang lezat dari Ilepadung.Perjalanan kami dilanjutkan dari Ilepadung menuju Hokeng, sebuah daerah perkebunan kopi yang terletak diantara MaumereβLarantuka. Tepat dilalui jalur utama Trans Flores.Berbeda dengan perkebunan kopi di Bali yang biasa saya lihat, perkebunan kopi di Hokeng dibuat seakan berada di hutan. Dan, perkebunan kopi ini cukup luas, tidak kurang dari 300ha.Ketika sampai di Hokeng, kami langsung disuguhi dengan makan siang dengan makanan a la rumah!! Ya, saya sangat terkesan dengan makan siang di Hokeng karena makanannya mengingatkan saya pada masakan Ibunda tercinta ketika saya di rumah, terutama ikan kuah asam dan sambal dabu-dabunya yang luar biasa.Sudah lama saya tidak menikmati masakan lezat seperti ini apalagi dengan meja makan panjang dimana kami makan bersama, sungguh, suasana kekeluargaan begitu terasa!Setelah santap siang, kami berkeliling perkebunan Hokeng dan berkesempatan melihat pembuatan gula aren secara tradisional. Gubuk kecil tempat pembuatan gula aren pun penuh sesak oleh rombongan kami. Salutnya, para pembuat gula aren ini tidak terganggu dengan kehadiran kami. Mereka makin asik menuangkan adonan panas gula aren ke lempeng-lempeng cetakan yang sudah disiapkan. "Ini nantinya akan dijual ke pasar lokal dan sangat digemari oleh anak-anak desa di sini," celetuk sang Pemandu kami yang adalah seorang pastor. "Biasanya dijual Rp1.000,00 per keping," lanjutnya.Dari tempat pembuatan gula aren, kami lalu menuju tempat pengolahan biji kopi dan coklat. Kulit dan buah coklat terlihat menumpuk di depan tempat pengolahan. Kami lalu ditunjukkan proses pengolahan biji kopi dan coklat hingga ke proses pengovenan. Yang menakjubkan, tempat pengolahan ini sudah berdiri sejak 1935 dengan mesin-mesin dari jaman yang sama. Oven yang digunakan pun sungguh luar biasa ukurannya. Semakin menakjubkan lagi ketika kami melihat tungku sumber api untuk memanaskan oven super tersebut. Kami jadi berpikir-pikir, apa jadinya kalau ada salah satu yang terkurung di dalam tungku yang mungkin apinya tidak pernah mati ini?!Kami juga baru tahu bahwa ternyata kulit buah coklat yang ditumpuk di depan tempat pengolahan tadi akan dijadikan pupuk organik. Hebat bukan?Dari tempat pengolahan kopi dan coklat, kami kemudian mengunjungi seminari yang berada di kawasan perkebunan. Ya, areal perkebunan ini dimiliki dan dikelola oleh sebuah seminari Katolik. Ketika mendengar kata catacomb (katakombe), saya dan seorang rekan langsung tertarik untuk mengunjunginya. Kami berpikir, kami dapat melihat sebuah katakombe di Indonesia yang masih lengkap dengan kuburan bawah tanah di bawah gereja. Ternyata, setelah melihat ke bawah dan bertanya, yang ada hanya gereja bawah tanah tanpa ada kuburan di bawahnya.Perjalanan pun kami lanjutkan. Dan kali merupakan perjalalan yang panjang. Bayangkan saja, kami berangkat dari perbatasan Larantuka menuju Moni, sekitar ΒΌ perjalanan menyusuri pulau Flores!Sebenarnya, harus ada satu obyek yang kami kunjungi dalam perjalanan menuju Moni. Sayang, karena salah perhitungan dan banyak waktu yang kami habiskan di obyek sebelumnya, maka kami putuskan bahwa sebagian rombongan kami (yaitu mobil yang saya tumpangi) akan langsung melanjutkan perjalanan menuju Wolowaru.Kalau di desa Ilepadung kami tidak sempat mencicipi lezatnya kacang mede Flores, akhirnya kesempatan itu datang di Wolowaru. Walaupun kami tidak bisa melihat proses pembuatannya (karena sudah malam), kami masih bisa membeli produk jadinya sebagai oleh-oleh yang ternyata sudah bersertifikasi internasional dan diekspor ke luar negeri. Kami bahkan diberikan kesempatan untuk mencicipi nasi pecel dengan bumbu kacang mede oleh Pak Tjahyo.Setelah berbelanja (rombongan kami membeli semua jenis produk yang ada dijual di tokonya Pak Tjahyo) kami lalu berangkat setelah menghabiskan kopi dan teh Flores yang diberikan buah vanilla. Setibanya di Moni, kami langsung makan malam dan bersiap-siap untuk menikmati indahnya Kelimutu esok hari.
(travel/travel)
Komentar Terbanyak
Viral WNI Curi Tas Mewah di Shibuya, Seharga Total Rp 1 M
Daftar Negara Walk Out Saat Netanyahu Pidato di Sidang Umum PBB
Wisatawan Bekasi Dicegat Akamsi Cianjur, Pemkab Jamin Wisata Aman dan Nyaman