Fun Escape to Tidung
Kamis, 10 Nov 2011 14:54 WIB

Jakarta - Pertengahan Agustus lalu saya mendapatkan invitation Gabung Mulung Tidung (GMT) via Facebook dari sahabat saya, Nana. Setelah membaca itinerary acara tersebut saya pun langsung bersemangat karena ternyata tidak hanya akan jalan jalan tapi kita juga memberikan kontribusi positif kepada penduduk Pulau Tidung, sebagai sukarelawan untuk membersihkan sampah, membantu mereka merenovasi taman baca, dan menanam tanaman bakau.Sebagai "provokator sepanjang masa" saya pun mulai mengompori sahabatyang lain untuk ikut dalam acara ini. Dengan semangat yang mengegebu-gebu saya mulai bercerita tentang betapa kerennya acara ini dan asiknya kalau kita bisa berlibur bersama-sama.Mereka semua mulai terpengaruh sampai akhirnya saya bilang, "Kita akan mulung."Wajah mereka langsung berubah drastis dan dengan spontan mereka bilang "Lo aja deh Mi."Tapi, Nesa dan Wina justru terlihat sangat bersemangat. Kami berempat menuntut ilmu kepariwisataan di sekolah yang sama dan juga mempunyai kegemaran yang sama, yaitu jalan-jalan dan mencoba hal baru.Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, Sabtu, (17/09), kami semua berangkat ke Pulau Tidung bersama 700 orang lainnya. Siang hari kami tiba dan disambut oleh penduduk lokal. Wajah kami sangat sumeringah begitu sampai di Tidung karena ini kali pertama kami ke sini. Waktu acara kelulusan sekolah kami sempat berencana akan melakukan perpisahan di pulau ini tapi karena banyak orang tua murid yang tidak setuju anaknya bermalam di pulau tanpa didampingi guru-guru acara tersebut pun di batalkan (saya kecewa sekali pada saat itu).Kembali ke acara GMT,kami semua dibagi dalam tim yang berbeda-beda. Saya di tim photographer, Nana di tim 6, Nesa dan Wina di tim 18. Sekitar pukul 01.00 WIB kegiatan kami pun dimulai. Karena sibuk dengan tugas tim masing-masing kami tidak sempat jalan-jalan bersama sampai sore hari. Β Tugas tim photographer yang lebih sedikit dibanding tugas tim lainnya membuat pekerjaan saya selesai duluan. Oleh karena itu, saya mencoba untuk menghubungi Nesa. Namun, ketika mencari handphone, saya tidak dapat menemukannya. Dengan keadaan panik, setengah tidak percaya, kelelahan, bau matahari, dan lengket saya berusaha mencari dan menulusuri jalan yang tadi saya lewati, berharap bahwa handphone saya terjatuh dan dapat saya temukan kembali. Karena saya tahu akan sangat susah mencari sebatang handphone di pulau kecil yang penduduknya hanya 1500 orang ditambah 200 pengunjung, dan 700 orang sukarelawan, saya pun pasrah. Padahal ini merupakan peristiwa kehilangan handphone ke-5, jadi sudah mulai terbiasa.Dalam perjalanan ke dermaga tiba tiba saya bertemu Wina, Nesa, dan Nana tanpa sengaja. Saat saya memberitahu mereka semua tentang hilangnya handphone saya malah ditertawakan dan dihina-hina. Saya hanya bisa diam dan meringis sedih. Untuk kesekian kalinya karena kecerobohan saya mereka tertawa seperti setan. Sebagai pelarian dari rasa sedih dan bete, saya pun memaksa mereka untuk melihat sunset di Pantai Barat Tidung. Jadilah kami berbondong-bondong ke sana menggunakan sepeda sewaan. Di tengah perjalanan tiba-tiba kami mendengar suara "Gubraaakkk," dan teriakan melengking. Ternyata suara memekakan telinga itu berasal dari Wina yang jatuh dari sepeda karena menghindari ayam (FYI, dia phobia ayam tapi suka banget Wendyβs). Kami berempat tertawa terbahak-bahak sampai bercucuran air mata. Anak anak kecil yang masih mengenakan baju pramuka menatap aneh ke arah kami berempat. Mungkin mereka pikir, "Kenapa orang-orang Jakarta yang sakit jiwa itu bisa sampai ke sini?" Tapi kami cuek bebek saja, untung sepedanya tidak apa-apa, soalnya sewaan cin.Nah, sampailah kita di Pantai Barat. Perjuangan kami mengayuh sepeda sekita 1,5 km terbayar sudah. Pantai yang sepi, air yang masih jernih, pasir putih yang bersih, dan pemandangan sunset yang luar biasa indah membuat rasa lelah kami lenyap seketika. Sekitar 1 jam kami bersantai di pantai itu, sayangnya kamera saya lowbat jadi kami tidak bisa bernarsis ria. Sambil ngobrol-ngobrol cantik kami mulai melakukan kegiatan aneh, yaitu mengorek-ngorek batu karang yang sudah terkubur oleh pasir pantai. Kami terus mengoreknya sampai kedalaman 30 cm, tiba-tiba kami menemukan potongan baju wanita. Pikiran-pikiran aneh tenang pembunuhan, pemerkosaan, Nyi Roro Kidul, sampai kain kafan meyelimuti pikiran kami. Terlebih lagi Nesa yang mempunyai imajinasi sangat liar, seliar singa di hutan rimba. Dengan keadaan sedikit paranoid dan cahaya matahari yang sudah mulai hilang, kami memutuskan untuk pulang ke base camp masing-masing, saat itu sudah pukul 18.15 WIB.Setelah makan malam, kamiΒ dan peserta lainnya berkumpul di dermaga untuk menyaksikan pertunjukan musik oleh group band yang dibawa dari Jakarta. Selesai menonton pertunjukan musik, kami memutuskan untuk ngobrol-ngobrol di warung kopi sambil makan mi karena belum mengantuk. Nana mulai menirukan dialog Rangga dan Cinta di film AADC dalam bahasa Jawa. Kami semua tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya. Saya yakin bahwa darah Waljinah mengalir deras dalam diri Nana. Mulai dari postur tubuhnya yang sintal, bahasa Jawanya yang medok, hingga lirikan matanya yang tajam, semuanya "Waljinah Banget!". Orang lain yang sedang duduk-duduk juga di warkop itu menatap kami dengan sinis dan bingung tapi sekali lagi kami tidak peduli.Jam 12 malam, warung kopi sudah tutup, kami pun memutuskan untuk pulang ke penginapan masing-masing. Karena sudah malam dan letak penginapan kami berjauhan, diputuskan bahwa kami harus saling mengantar mulai dari Base camp yang paling jauh terlebih dahulu, base camp Nana. Masih dengan sepeda sewaan kami pun mengantar Nana pulang, perjalanan kami lalui dengan obrolan tentang sekolah, kantor, pacar, dan lain-lain sehingga tanpa disadari kami sudah berada di ujung pantai. Kami pun menyusuri kembali jalan yang kami lewati tadi. Ternyata penginapan Nana sudah terlewat sangat jauh! (kejadian aneh tengah malam #1)Setelah Nana pulang, kami tinggal bertiga. Keadaan mulai berubah, jalanan yang gelap dan sepi, suara deburan ombak, teriakan jangkrik, dan binatang lain yang mulai bersautan menemani perjalanan kami ke base camp saya. Setelah melewati jalan lurus, tempat pembuangan sampah, belok kanan dan kiri, saya tak kunjung menemukan penginapan saya sendiri.Sampai saat saya memutuskan untuk belok kiri pada sebuah jalan. Ternyata jalan tersebut menuntun kami bertiga ke kuburan warga setempat (kejadiah aneh tengah malam #2). Suasana sangat mencekam dan tidak ada satu pun dari kami yang berbicara. Saya mengayuh sepeda sekencang-kencangnya diikuti oleh Nesa dan Wina. Rasa bersalah pun muncul karena saya tidak hafal jalan menuju penginapan. Setelah kuburan terlewat cukup jauh, kami pun berteriak sambil menyumpah-nyumpah (saya rasa ini merupakan terguran dari penghuni setempat karena kita berkeliaran tengah malam). Dengan terpaksa Nesa dan Wina mengantarkan saya pulang, padahal sudah jam 1 malam. Β Keesokan hari, saatnya bagi kami untuk bersnorkeling ria. Kami semua sangat bersemangat karena ini merupakan pengalaman snorkeling kami yang pertama tapi Nana harus kami tinggal karena dia bangun kesiangan. Sebagai gantinya Nana mengikuti kegiatan Holly Colours bersama perserta lainnya, kegiatan ini seperti festival rutin di India dimana setiap peserta menyiapkan abu warna-warni yang akan di lemparkan ke peserta lainnya.Β Sebetulnya jika acaranya tidak bersamaan denga snorkeling pasti kami semua akan ikut, tetapi karena sudah membayar biaya snorkeling jadi saya, Nesa, dan Wina memutuskan untuk melewatkan Holly Coulours.Oke, kembali ke cerita snorkeling. Sesampainya di snorkeling spot, kami langsung disuguhi pemandangan bawah laut yang begitu indah. Ketika sedang asik ber-snorkeling ria tiba-tiba saya melihat ubur-ubur lho, untuk pertama kalinya dalam hidup saya. Nesa yang dari tadi mencari ubur-ubur justru tidak berhasil melihatnya. Di tengah-tengah kegiatan yang seru ini Wina melakukan hal yang sangat konyol, ia lupa kalau masih memakai selang pernapasan. Ia mencoba untuk menyelam sedikit lebih dalam sampai ujung selang pernapasan berada di bawah permukaan air. Ketika mencoba mengambil napas, ia malah menyedot sekitar 200 ml air laut. Mukanya langsung berubah seperti Dobby Elf. Saya dan Nesa tertawa terpingkal-pingkal karena kebodohan itu tanpa berusaha membantu Wina mengeluarkan air yang dia telan.Hampir satu setengah jam snorkeling akhirnya kami naik, tak sadar kalau kaki kami semua sudah penuh dengan luka gores dari karang. Namun, itu semua terbayarkan oleh keindahan biota laut di Pulau Tidung. Kami juga menyempatkan diri untuk berkunjung ke pulau lainnya, seperti Pulau Payung, Pulau Tidung Kecil, dan mempelajari adat istiadat masyarakat sekitar yang sangat unik, seperti bagaimana mereka hidup tanpa kendaraan bermotor kecuali kapal, bagaimana mereka membiasakan diri untuk membagi rumah mereka untuk para wisatawan, dan lain-lain. Keindahan alam dan budayanya sangat menghipnotis saya, ini baru 3 pulau dari 17.000 pulau yang ada di Indonesia dan saya yakin masih banyak pulau lainnya yang lebih menawan dari ketiga pulau ini. Termasuk pulau Derawan, yang menjadi destinasi kami selanjutnya. So Happy Holiday, pick us!
(travel/travel)
Komentar Terbanyak
Banjir Bali, 1.000 Hektar Lahan Pertanian per Tahun Hilang Jadi Vila
Warga Harap Wapres Gibran Beri Solusi Atasi Banjir Bali
Belum Dibayar, Warga Sekitar Sirkuit Mandalika Demo-Tagih ke ITDC