Lombok Tengah, Sengigi, dan Trawangan

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Lombok Tengah, Sengigi, dan Trawangan

Danny Maulana - detikTravel
Senin, 21 Nov 2011 14:19 WIB
loading...
Danny Maulana
Anak-anak desa Wajageseng, Lombok Tengah
Batu apung untuk dijual.
Seorang ibu membawa dua batang bambu sepanjang 7 meter di desa Wajageseng, Lombok Tengah
Pemuda setempat berlatih kuda di pantai Sengigi
Empat wanita wisatawan asing melakukan yoga saat sunrise di Gili Trawangan
Lombok Tengah, Sengigi, dan Trawangan
Lombok Tengah, Sengigi, dan Trawangan
Lombok Tengah, Sengigi, dan Trawangan
Lombok Tengah, Sengigi, dan Trawangan
Lombok Tengah, Sengigi, dan Trawangan
Jakarta - Seharusnya kisah ini saya posting sebelum perjalanan saya ke Sibolga. Tanggal 7 sampai 14 september 2011 lalu. Saya dan tim Pengabdian Trans TV, datang ke pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat untuk liputan tentang sebuah desa di Lombok Tengah yang jauh dari sarana kesehatan.Tiba di Mataram jam 1 siang. Saya dan Fitri Faroziati (reporter) bertemu Ari Diatmika (admin@infolombok) dan pak Parhan, Kepala Desa Wajageseng, Kecamatan Kopang, Kabupaten Lombok Tengah untuk pre-interview tentang kondisi desa yang akan kami datangi setelah ini.Dua jam perjalanan melewati sawah dan kebun kangkung dari Mataram ke Lombok Tengah cukup melelahkan. Apalagi ketika memasuki desa Wajageseng, jalanannya masih bolong disana sini. Sampai di rumah pak Parhan, kami dihidangi tuak putih. Wah, ini minuman baru untuk saya. Syukurnya tuak ini tidak mengandung alkohol sama sekali. Rasanya seperti air kelapa yang dicampur gula. Dijamin wajah langsung mengkerut kecut ketika meminumnya. Tapi gelas tuak yang saya habiskan tak terhitung jumlahnya. Setelahnya kami langsung jalan kaki ke lokasi liputan. Ternyata tidak jauh! Dari jalan utama desa dengan rumah-rumah penduduk yang sudah permanen, hanya sekitar 500 meter jalan kaki melewati kebun bambu dan pohon aren.Saya bingung menyebut pemukiman ini, entah masuk desa atau dusun karena jumlah komunitasnya yang sedikit. Yang pasti, komunitas ini sangat butuh fasilitas kesehatan. Rumah-rumah disini masih bilik bambu dengan atap rumbai. Disini hanya ada orang-orang paruh baya dan anak-anak kecil. Para pemuda dan pemudinya banyak yang bekerja di Mataram atau bahkan menjadi TKI di Arab.Mata pencaharian disini menggali tanah yang mengandung batu apung. Satu karung batu apung dihargai Rp2.000,00. Bayangkan berkeringat sejak pagi dan hanya dapat Rp20.000,00 saja jika terkumpul sepuluh karung? Wajar kesehatan gigi mereka kurang terawat. Harga sikat dan pasta gigi saja lebih dari 2000 rupiah. Nah, penduduk disini mengakalinya gosok gigi dengan batu apung yang dihaluskan. Debunya digosok-gosokan ke gigi lalu berkumur. Bayangkan debunya yang masih kasar melukai gusi.Kurang lebih empat hari, kami merekam kegiatan drg. Carissa Kaunang yang datang bersama kami dari Jakarta. Drg. Icha (panggilan akrabnya) memberikan penyuluhan tentang kesehatan gigi dan menggosok gigi yang baik. Tentunya perlu usaha lebih untuk mengalihkan kebiasaan gosok gigi dari debu batu apung ke pasta gigi. Syukurnya, Icha dan rekan dokternya berencana mengirimkan sikat dan pasta gigi setiap tiga bulan sekali untuk komunitas ini.Diluar topik liputan, saya pribadi tidak pernah bosan ke NTB. Ini yang ketiga kalinya saya ke NTB namun baru pertama kalinya tidak keluar dari pulau Lombok. Dua kali kunjungan saya sebelumnya pasti ke pulau Sumbawa. Jadi, saya tidak membiarkan kesempatan ini lewat begitu saja.Di belakang hotel Jayakarta tempat saya menginap ternyata ada perkampungan nelayan. Dan disitu mereka menjual ikan bakar dan ikan yang diasapi kepada pengunjung pantai yang bosan makanan hotel. Beruntungnya saya, saat itu ada para pemuda yang sedang berlatih kuda. Bayangkan berlatih kuda dipinggir pantai Sengigi saat matahari terbenam! Sungguh-sungguh pengalaman fotografis yang tidak akan saya lewatkan.Bagi saya pribadi, Lombok sungguh surga yang luar biasa indah bagi para wisatawan. Namun, untuk warganya yang hidup jauh dari lokasi wisata, bayangan surga sangat jauh dari pikiran mereka yang setiap hari harus bekerja keras untuk makan esok.
Hide Ads