Menjamah (Perawan) Aceh di Pantee Ceureumen
Zulfikar Akbar - detikTravel
Jumat, 25 Nov 2011 10:22 WIB
Jakarta - Pernah mencoba menikmati wisata ke tempat yang tidak memiliki warung makan, transportasi umum dan pusat perbelanjaan seperti halnya kebanyakan tempat wisata? Berikut ceritanya.Jelang akhir 2009, bersama rekan-rekan dari Flora Fauna Internasional dan Jaringan Komunitas Masyarakat Adat, saya berkesempatan untuk 'mengencani' alam perawan di pelosok dusun di Aceh. Pantee Ceureumen menjadi nama kecamatan yang tergolong paling muda di antara kecamatan yang ada di kabupaten yang pernah didera tsunami pada tahun 2004. Dikarenakan baru disahkan sebagai kecamatan, berkisar awal 2000.Β Kecamatan ini memang memiliki alam yang masih sangat elok, jauh dari polusi, dan diapit oleh sungai-sungai dan gunung.Mengawali langkah dari Meulaboh hanya dengan berkendaraan sepeda motor, jarak sekitar 50 kilometer menuju kecamatan tersebut tidak akan memberi rasa lelah. Setidaknya, sepanjang jalan dari Meulaboh menuju Pantee Ceuremen, mata dimanjakan dengan pemandangan sawah yang menguning. Kebetulan, ketika saya sedang melakukan perjalanan ke sana, petani sedang bersuka cita dengan masuknya musim jelang panen. Patut dicatat, agar bisa mencari cara kalau berangkat dengan sepeda motor, hindari berdiri sebagai 'supir' sebab berpotensi membuat Anda tidak bisa menikmati suguhan keindahan yang ada di sepanjang jalan. Jika memaksa juga, meski di sana tidak ada pos malaikat maut seperti halnya pos polisi lantas, tetapi nyawa Anda bisa saja tercerabut. Sebab jalan yang harus ditempuh adalah jalan lintas provinsi yang lumayan padat. Selain, luas jalan yang juga hanya berkisar 1,5 meter saja ini dilengkapi dengan tikungan-tikungan tajam.Β Cuma, kepadatan itu hanya terasa sampai Gampong Ie Teubee yang juga menjadi pintu masuk menuju ke lokasi yang sayaΒ sebut.Sedang selanjutnya, sebuah jembatan yang memiliki panjang sekitar 10 meter melintasi krueng (baca: sungai). Sebaiknya di jembatan ini Anda tepikan sebentar sepeda motor yang Anda kendarai di sisi jembatan untuk menikmati alam pedesaan berupa sungai yang mengalir dengan lekuknya yang tidak kalah dengan gadis cantik yang baru menjelang remaja. Juga lenguh kerbau yang kerap menjadikan tempat itu sebagai βkolam renangβ untuk kawanannya. Di sini, beberapa kali kunjungan saya melewatinya, saat sore anak-anak desa sekitar kerap menjadikan pasir di sisi sungai sebagai tempat mereka bermain bola. Tak jarang anak-anak ini menendang bola kesana kemari tanpa mengenakan pakaian sama sekali, dan tentu saja untuk bocah usia berkisar 6-8 tahun itu tidak akan dijerat pasal pornoaksi. Justru yang mereka pertunjukkan adalah kelucuan-kelucuan khas anak-anak.Jembatan ini, seingat saya baru dibangun setelah Soeharto jatuh dari kursi kekuasaan tanpa berakibat patah kaki atau pinggangnya (joke saja). Sedang sebelumnya, sekitar tahun 98, saat pertama sekali saya menyambangi kawasan tersebut, masyarakat harus mempergunakan rakit saja untnk bisa menyeberang. Harus saya sebut nama presiden kita yang kedua itu karena memang di lokasi itu terdapat perusahaan yang dimiliki keluarganya, tetapi tidak ada manfaat apa pun untuk penduduk desa, meski sekadar untuk adanya sebuah jembatan yang 'manusiawi'.Tak heran, ketika itu, untuk bisa menyeberang saja, apakah karena ingin ke Meulaboh sebagai pusat Kabupaten atau sebaliknya untuk pulang, mereka harus rela antri berjam-jam.Β Masuk akal, karena alat transportasi hanya berupa satu rakit berukuran 3 x 4 meter saja yang dipasangkan di seutas kabel yang melintas sungai. Ya, bayangkan saja, satu alattransportasi yang harus dipergunakan oleh penduduk dari lebih kurang 15 desa yang ada di sana. Acap kali terjadi, ketika air sungai sedang pasang, atau ketika hujan turun dengan derasnya, akibat seperti putusnya tali rakit sudah menjadi bahan cerita yang tidak asing lagi untuk masyarakat setempat.Melewati rakit ini, tak lama, hamparan kebun karet yang sebenarnya sebagian kecil saja dimiliki penduduk, sedang selebihnya adalah milik pengusaha yang tinggal entah di mana. Hati-hati, jika tidak jeli, babi hutan kerap menjadi ancaman juga meski sebelumnya Anda merasa nyaman saja di atas kendaraan. Artinya, βmakhluk seksiβ ini kerap melintasi jalan dengan kecepatan 100 kilometer per jam, bayangkan kalau dengan kecepatan itu ia menubruk kendaraan yang juga sedang anda naiki? (kecepatan lari babi sengaja saya lebih-lebihkan sedikit karena saya menduga tadi Anda lupa senyum dulu untuk mengawali membaca tulisan ini).Memang, kebun karet dan hutan yang ada di sana, sedikit membuat aura kengerian muncul kuat. Kecuali kalau memang Anda sendiri tidak peduli dengan aura apa pun. Lanjut, setelah melewati beberapa dusun, akan disambut lagi dengan satu desa bernama Suak Awee. Sebuah desa yang kalau namanya diterjemahkan ke bahasa nasional akan menjadi, rawa rotan. Konon, dulunya penduduk yang mendiami tempat itu karena awalnya hanya karena untuk mencari rotan saja, tetapi kemudian malah membukanya sampai menjadi desa. Jangan heran kalau siang hari Anda akan jarang menjumpai penduduk desa di sini, meski dibanding dengan beberapa desa lain, di sini lebih padat penghuninya. Sebab, menjadi tradisi mereka kalau siang hari lebih banyak menghabiskan waktu di ladang yang berjarak berkilo-kilometer jauhnya dari desa. Sebab, masyarakat setempat memiliki profesi utama sebagai petani peladang dan juga buruh tani.Lebih ke dalam lagi, keadaan jalan yang ditemukan akan semakin kecil. Keadaan ini tidak membuat saya tertarik untuk menyindir-nyindir pemerintah terkait kenapa jalan-jalan semakin ke dalam kok bisa semakin kecil? Apakah karena memang penduduk di sana memang tidak memiliki keinginan besar? Wallaahu aβlam. Sekitar 10 Kilometer dari Suak Awee, sawah desa-desa Pantee Ceureumen dari Krueng Beukah, Seumantok dan lainnya menyambut Anda dengan senyum khas alam. Aroma desa yang dipancarkan berani saya pastikan mirip aroma di sorga (karena saya sendiri sejauh ini belum berpengalaman mengunjungi sorga, jadi setidaknya mirip dengan yang ada di pikiran saya).Tiba di pusat kecamatan Pantee Ceureumen yang kerap disebut penduduk setempat dengan Pantee saja, Anda akan menemukan keramaian laiknya pusat kecamatan yang sudah mulai membenahi diri. Di sini, kalau memang masih ingin memanjakan selera makan Anda, sajian engkoet keureleulieng (sejenis ikan sungai) yang dimasak dengan boh limeng (belimbing wuluh) menjadi menu yang sangat diandalkan dan untuk lidah Aceh, itu menjadi menu terlezat.Di sini petualangan dimulai. Tinggalkan kendaraan Anda di rumah penduduk kecamatan (untuk ini disarankan untuk bisa memiliki kontak penduduk setempat terlebih dahulu). Baru kemudian, mari melenggang meniti jalanan desa yang sampai akhir 2009 saya kunjungi masih berupa bebatuan saja.Mengikuti jalan βrayaβ terus, akan disambut desa Canggai di ujung jalannya, sekitar 8 kilometer ke depan. Di desa ini, terdapat keunikan berupa jalanan berbukit. Berdiri di atas bukit ini, di sisi kanan jalan, Anda bisa memuaskan pandangan dengan kesempatan melihat liukan sungai lagi dengan pemandangan yang berbeda jauh dari di jembatan seperti yang saya ceritakan sebelumnya. Di sini lebih bagus. Apalagi kalau menyempatkan melihatnya ketika matahari baru naik, pantulan cahaya yang jatuh di riak sungai membawa nuansa indah yang saya kira lebih indah dari jatuh cinta (lho?). Dari sini juga Anda bisa melihat deretan pegunungan yang juga akan menyulap perasaan Anda dibalut rindu laiknya duda yang 50 tahun ditinggal mati istri (maaf, kalau pengibaratan saya agak asal), jikalau kelak Anda keluar dari desa ini.Melangkah lagi,mengenal desa Canggai lebih dalam. Mereka di sini memiliki kondisi sosial yang di banyak sisi memiliki kelebihan, seperti tradisi gotong royong semisal meuseuraya. Memiliki komunitas penerus tradisi rateb meuseukat dan memiliki kesalingpedulian antara sesama yang cukup kuat. Tak ayal, entah karena memang hanya desa kecil, sehingga dalam hal kemauan tolong menolong sampai sekarang masih terpelihara kuat oleh masyarakat di desa tersebut. Sebut saja, jika ada warga yang sakit keras, mereka yang kebetulan sudah berkesempatan memiliki kendaraan roda dua, akan dengan senang hati meminjamkan kendaraannya itu. Patut dicatat, di sini sepeda motor masih menjadi βhartaβ yang mewah yang masih menjadi indikator seorang penduduk dipandang βberkelasβ atau tidak.Posisi desa yang bersisian dengan sungai, bisa disebut sebagai sebuah kelebihan lain dari sisi keindahan yang dimiliki oleh perkampungan yang penduduknya tidak terlalu mahir berbahasa Indonesia ini. Hanya saja, sungai itu menjadi satu tempat favorit juga untuk penduduk berjongkok saat pagi, tentu saja mereka melakukan aktifitas buang hajat di kejernihan air sungai itu. Namun begitu, kendati memang ada beberapa hal ironis yang bisa ditemukan di desa ini dan umumnya pedesaan lain di Pantee Ceureumen, namun itu semua sama sekali tidak mengurangi keindahan βperawanβ bernama alam desa yang menjadi bagian dari tanoeh Aceh.Β Nah, untuk itu, jika berkeinginan untuk menjamah semua desa yang ada di sana, makanan dan kendaraan umum hanya bisa Anda dapatkan di kecamatan saja, selebihnya tergantung Anda kreatif tidaknya. Asal tidak mencoba untuk masuk tanpa salam ke kebun penduduk.
(travel/travel)












































Komentar Terbanyak
Awal Mula PB XIV Purbaya Gabung Ormas GRIB Jaya dan Jadi Pembina
Fadli Zon Bantah Tudingan Kubu PB XIV Purbaya Lecehkan Adat dan Berat Sebelah
5 Negara yang Melarang Perayaan Natal, Ini Alasannya