Bercakap Bahasa Mentawai di Uma

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Anandita Puspitasari|11120|SUMBAR|13

Bercakap Bahasa Mentawai di Uma

Anandita Puspitasari - detikTravel
Selasa, 19 Jul 2011 15:10 WIB
loading...
Anandita Puspitasari
Bersama Tutulu dan keluarganya yang ramah
Utet saina, tengkorak kepala babi yang dipajang di atas pintu rumah
Bercakap Bahasa Mentawai di Uma
Bercakap Bahasa Mentawai di Uma
Jakarta - Selalu ada hal yang bisa dipelajari setiap kali berkenalan dengan orang baru. Di Mentawai, saya dan Kinanti belajar mengenai kebiasaan hidup selaras dengan alam, beradaptasi di lingkungan yang berbeda dengan yang biasa yang kami alami dan bahasa baru yang asing di telinga kami. Dalam cerita kali ini, saya perkenalkan beberapa kata-kata sehari-hari orang Mentawai ya.

Β 

Sebelum berkunjung ke perkampungan Mentawai, kami membeli antaran yang terdiri dari rokok, beras, gula dan makanan ringan. Termasuk permen Hot Pot Pop untuk anak-anaknya. Kabarnya orang Mentawai suka sekali bila diberi rokok, meskipun mereka sudah punya rokok lintingan sendiri yang disebut ube.

Β 

Begitu masuk uma (rumah), kami mengucapβ€œAloitta!” (apa kabar?) dan mereka menjabat tangan seraya mengucap, β€œanaileoita”. Lalu kami memperkenalkan diri dengan berkata, β€œOning ku Dita” (nama saya Dita) dan tanyakan nama teman kita, β€œkasei onim?”. Bunyinya mirip dengan, β€œWhat is your name?”. Pendamping kami memberikan antaran yang kami bawa sambil bertanya, β€œnuo bak ubek nekne?”. Artinya, β€œanda ingin rokok?”. Rokok membuat percakapan dengan orang Mentawai terasa lebih cair. Trust me, it works.

Β 

Di uma, kami memerhatikan banyak kepala binatang yang dipajang di dinding dan atap. Di antaranya adalah utet joja (tengkorak kepala monyet) dan utet saina (tengkorak kepala babi). Kata rimata (kepala suku) sekaligus sikerei (dukun budaya suku Mentawai), kepala binatang buruan yang dipajang nantinya akan β€œmenarik” binatang lain sehingga mereka tidak perlu takut kehabisan binatang buruan.

Β 

Ketika sudah sitagok (siang), kami makan bersama di uma tersebut. Tutulu, teman kami itu, mengajak kami untuk mencicipi sagu yang diambilnya dari batang pohon sagu. Uni Miya, pendaming kami, lalu mempersilakan untuk mencicipi rendang yang kami bawa. Rupanya keluarga Tutulu menyukai rasa rendang yang pedas itu! β€œMananam”, alias enak, katanya. Suku Mentawai senang membagi rata makanan atau apa saja yang mereka miliki, tak heran antaran yang kami bawa habis dalam sekejap dibagi ke semua penghuni uma tersebut. Tak terkecuali permen untuk tatoga (anak) dan makanan untuk sigeita (anjing) mereka.

Β 

β€œMomoi ku foto ekeu?”, guide kami bertanya sebelum memotret. Artinya adalah, β€œbolehkah saya memotret anda?”. Sebaiknya meminta izin sebelum memotret karena ada beberapa yang meminta imbalan bila kita hendak memotret.

Β 

Hari sudah menjelang sore ketika saatnya kami meninggalkan uma. Kami mengucap, "masura bagata” yang artinya β€œterima kasih”. Tutulu menjawab, β€œSimakerek” (sama-sama). Sekali lagi sikerei dan istrinya menjabat tangan kami seraya berkata, β€œKewah!” yang artinya kira-kira, β€œhati-hati di perjalanan”. Sebuah kunjungan yang menyenangkan!

Β 

Oh ya, kami juga belajar satu kalimat lain yaitu β€œkuobak ekeu.”. Artinya apa? Artinya adalah, β€œaku cinta kamu”. ;) (Anandita Puspitasari)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads