Sebetulnya kami berjanji pada diri sendiri untuk bangun lebih pagi. Apalagi Ayos yang seorang penghobi foto, pasti dia butuh waktu yang tepat untuk merekam matahari pagi yang membuat semua objek menjadi lebih bagus di depan kamera. Rencananya, kami mau jalan-jalan pagi dan merasakan aroma Jayapura saat masih segar.
Sayangnya, kamar Swiss-Belhotel itu sangat enak, kasurnya juga empuk. Jadi terpaksa kami telat bangun dan harus bersegera mandi dan tergopoh-gopoh untuk menyelesaikan sarapan.
Hari ini sebetulnya jadwal kami sangat padat. Lima destinasi di sekitar Jayapura harus kami kunjungi sekaligus. Tentu saja ini bukanlah trip dengan waktu panjang yang memungkinkan saya dan Ayos untuk menyesap keindahan dan mendapatkan informasi lebih lengkap di sebuah daerah. Kami akan menggunakan model kunjungan singkap padat jelas, begitu datang kami bagi tugas, Ayos mengeluarkan kamera sedangkan saya memburu berita. Sebuah pembagian yang cukup adil dan taktis. Mengingat waktu yang dihabiskan dalam setiap destinasi sangatlah sempit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat rombongan kami datang, tidak ada seorang pun yang terlihat di pantai, kecuali sekelebat nelayan yang sibuk memancing dan beberapa anak muda teller sedang asyik bercanda. Kami baru ingat jika hari ini adalah hari kerja, bukan akhir pecan dimana masyarakat menyemut di sepanjang garis pantai. Padahal kami butuh sebuah sumber yang terpercaya untuk menjelaskan sejarah pantai yang menjadi sebuah titik penting dalam babak perebutan Pasifik selama Perang Dunia II.
Saya hanya menemukan sebuah ibu tua, Fransina Pui, yang sedang asyik mengunyah pinang di beranda rumah. Umurnya saya taksir sekitar 60 tahun. Perkiraan ini saya lakukan karena banyak orang tua di Papua yang saya temui tidak tahu umur mereka secara pasti, termasuk Fransina.
Namun meski sudah lama tinggal di pinggiran Pantai Basege, ia tidak dapat bercerita banyak tentang kejadian semasa PD II terjadi di Papua. βPokoknya saat Belanda masuk, Amerika pulang. Tahunnya saya tidak tahu, tidak ingat,β ujarnya berusaha menggali ingatannya yang tua.
Karena tidak ada yang bisa kami lakukan lebih jauh, toh kami ingin menceburkan badan ke laut tapi tubuh masih wangi, akhirnya kami segera angkat kaki. Menuju destinasi selanjutnya yang bernama Pantai Hamadi.
Konon, di Pantai Hamadi inilah tentara Amerika mendarat untuk mengepung pangkalan Jepang dalam sebuah operasi perang bersandi Hollandia. Melalui perairan di sebelah utara Jayapura inilah Amerika melumpuhkan titik pusat komando Jepang yang ada di Sentani.
Hari ini nyaris tidak ada peninggalan yang berarti di sekitar pantai, kecuali tiga buah tank jadul yang terpaksa dijadikan monumen. Padahal dulunya di sepanjang pantai banyak sekali tank yang mangkrak ditinggal sekutu, apalagi setelah berhasil memukul mundur Jepang untuk balik kucing ke negaranya. βSampai tahun 80-an masih banyak tank yang berjajar menghadap pantai, bahkan ada yang terletak di bawah air terendam karena abrasi. Sekarang sudah habis, semua hilang diborong oleh pengepul besi tua,β kata Cholil, seorang bapak asli Surabaya yang sudah 30 tahun tinggal di Jayapura.
Saya berpikir, mengapa pemerintah kalah cepat ketimbang pedagang besi karatan sekalipun? Padahal seandainya ada upaya konservasi, koleksi ini bisa menjadi sebuah monumen alami yang fenomenal. Sebagai atraksi baru yang bisa dijual melalui paket wisata sejarah. βPadahal sampai hari ini masih banyak veteran PD II yang datang kemari, hanya untuk bernostalgia,β lanjut Cholil.
Akhirnya saya dan Ayos hanya menyusur Pantai Hamadi yang lengang. Kami hanya menemukan beberapa gazebo kosong dan botol-botol bir yang berserakan. Mungkin pantai ini adalah tempat favorit anak muda untuk menenggak minuman, sekaligus menjadi tanda bahwa generasi muda sudah mulai lupa jika pantai ini menyimpan banyak cerita. []












































Komentar Terbanyak
Koster: Wisatawan Domestik ke Bali Turun gegara Penerbangan Sedikit
Ditonjok Preman Pantai Santolo, Emak-emak di Garut Babak Belur
Awal Mula PB XIV Purbaya Gabung Ormas GRIB Jaya dan Jadi Pembina