Pulau Lingga, 'Pulau-nya' Saksi Sejarah

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Rivki|188|KEP. RIAU|12

Pulau Lingga, 'Pulau-nya' Saksi Sejarah

Redaksi Detik Travel - detikTravel
Senin, 25 Jul 2011 14:00 WIB
loading...
Redaksi Detik Travel
Tampak depan Museum Mini Lingga
Bangunan replika Istana Damnah
Bekas reruntuhan situs Istana Damnah
Pemandangan Gunung Daik, dari Bukit Cening
Kumpulan meriam di Bukit Cening
Air Kendi di makam Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi
Pulau Lingga, Pulau-nya Saksi Sejarah
Pulau Lingga, Pulau-nya Saksi Sejarah
Pulau Lingga, Pulau-nya Saksi Sejarah
Pulau Lingga, Pulau-nya Saksi Sejarah
Pulau Lingga, Pulau-nya Saksi Sejarah
Pulau Lingga, Pulau-nya Saksi Sejarah
Jakarta -
Salam Petualang! Hari ini adalah hari ke empat kunjungan kami di Kepri, aku pun lupa persis-nya hari ini tanggal berapa, kalender di jam tangan-ku menunjukkan di angka 30/09/10. Kita ingat 45 tahun yang lalu bangsa ini sedang dirundung duka karena peristiwa G/30/S. Pulau Lingga adalah tujuan kami di hari keempat, karena hari ini berhubungan dengan peringatan G/30/S, aku akan mengunjungi situs-situs bersejarah di Pulau yang diakui sebagai Bunda Tanah Melayu.
Waktu menunjukkan pukul 12.00, matahari nampak marah, menyinari kulit ku dengan sengatan panas-nya. Darto pun menyiapkan peralatan "tempur" nya, sebuah alat kosmetik yang biasa kita sebut sunblock, melumuri kulit Darto yang mulus. "Gir itu pak Itam (pemandu kami di Pulau Lingga)," ucap Darto.
Dengan kendaraan motor pick up nya, pak Itam siap mengantar kami menuju kawasan wisata di Pulau yang pernah menjadi markas Belanda ini. Tujuan pertama kali adalah Bukit Cening, sebuah bukit yang dijadikann benteng pertahanan Belanda pada tahun 1700-an. Objek wisata yang terletak di Kampung Seranggung ini, memiliki 19 meriam peninggalan zaman kolonial dan zaman kerajaan Sultan Mahmud Syah III.
Untuk menuju bukit ini memang tidak mudah, jalan pasir disertai lubang-lubang membuat rute perjalanan kami menjadi tidak nyaman, "Gimana mau rame objek-nya kalau akses-nya saja begini," ucap Darto yang kesal. namun rasa itu terbayar ketika kami sudah berada di Bukit Cening. Pemandangan gunung Daik dan meriam-meriam yang memilikI panjang 3 meter ini, menjadikan "bumbu penyedap" bagi kami.
Sebatang rokok pun habis, dan kami akan melanjutkan perjalanan kami ke makam raja-raja Riau. Ya, sama seperti tadi perjalanan kami masih ditemani lubang-lubang dan jalan pasir yang membuat Darto menjadi geram, "Orang sini bokong-nya kuat- kuat yah," tanya Darto dengan mimik emosi.
Sekitar 20 menit berjalan dari Bukit Cening, kami pun sampai di makam Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi. "Di sini ada air kendi keramat, banyak orang ke sini untuk membasuh muka dan mandi di makam ini," ujar pak Itam sambil menunjukkan lokasi air kendi tersebut. Menurut pak Itam, air Kendi ini dibilang keramat karena tidak pernah mengering.
Tidak jauh dari makam, kami melihat sebuah papan nama yang bertuliskan "Museum Mini Lingga" tidak berpikir panjang kami pun langsung menuju museum tersebut. "Selamat siang, di mana kami harus membeli tiket untuk masuk ke sini?" ujar ku. "oh, tidak perlu, di sini gratis kok," saut sang petugas. Akhirnya kami pun langsung masuk ke dalam museum satu-satunya di Pulau Lingga ini.
"Wah, ini apa bang?" ucap Darto yang heran. "Ini adalah fosil Gajah Mina, yang ditemukan di Pantai Dungun pada tahun 2005," jawab sang petugas. Melihat unik-nya fosil ini, aku pun tak sabar ingin mengabadikannya dengan kamera, sekejap aku langsung membidik kamera ku pada fosil ini. "Maaf mas, di sini tidak boleh mengambil gambar," kata Petugas sambil menunjukkan papan "Dilarang Mengambil Gambar." Aku pun tertunduk lesu karena tidak bisa mengabadikan momen ini. "Tapi gambarnya sudah kami sebarkan di internet, silahkan kunjungi saja di www.pariwisatalingga.com," ujar sang petugas yang mencoba menghiburku.
Selain fosil Gajah Mina, museum ini juga menyimpan berbagai koleksi kendi-kendi pada masa kerajaan, koleksi uang logam, dan masih banyak lainnya.Β Waktu menunjukkan pukul 3 sore, kami pun harus meninggalkan museum itu, mengingat Pak Itam harus ke pelabuhan pada pukul 4 sore untuk menjalankan rutinitas-nya sebagai tukang ojek pembawa barang.
Namun di dekat Museum itu masih ada objek wisata lainnya, Situs Istana Damnah namanya. Hanya berjarak 500 meter dari museum, kita bisa masuk ke objek tersebut. Bekas reruntuhan Istana Damnah yang dibangun pada tahun 1800-an ini masih terlihat sebagian, terutama pada bagian pondasi, dan bagian tangga, sisanya hampir menyatu dengan tanah.
Namun rasa penasaran kami akan bentuk istana ini, akhirnya terpenuhi. Karena di sebelah barat Istana tersebut, berdiri bangunan megah. "Ini adalah Replika Istana Damnah," ucap Pak Itam, sembari mengajak kami ke lokasi tersebut.
Setibanya di banguan replika tersebut, seorang petugas yang bernama Lazwardi menghampiri kami. "Silahkan masuk," ucap pak Lazwardi. Kami pun segera masuk ke untuk mengetahui isi bangunan tersebut. "Bangunan ini sekarang dipakai untuk acara pernikahan melayau," jawab Lazwardi. Singgasana pelaminan adat Melayu yang megah dan foto-foto raja Riau pun terpampang di bangunan ini. "Di gedung ini, anda bisa belajar sejarah-sejarah kesultanan Riau dan adat pernikahan budaya Melayu," cetus Lazwardi.
Sayang, senja di langit sudah mulai tampak, tanda hari semakin Sore. Pak Itam pun harus kembali berutinitas, sehingga perjalanan kami hanya sampai di Sini. Padahal masih ada banyak situs sejarah di sini, seperti Benteng Kuala, Bilik 44 dan masih banyak lagi objek wisata di Pulau ini yang belum kami kunjungi.
"Sayang, yah Gir, penjga museum-nya ga cantik seperti di Tanjung Pinang," ucap Darto. Mendengar kata itu, Aku pun ingin segera menyeburkan di ke Pantai Pasir Panjang di Pulau Lingga esok hari.
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads