Suku Kamoro yang Terakhir

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Ayos Purwoaji|22953|PAPUA 2|28

Suku Kamoro yang Terakhir

Redaksi Detik Travel - detikTravel
Jumat, 12 Agu 2011 10:20 WIB
loading...
Redaksi Detik Travel
Seorang anak bermain melompati kole-kole di Pantai Kekwa.
Napilus menunjukkan mbiko, salah satu seni patung di Kekwa.
Para penduduk yang berhamburan di tepi pantai saat kami tiba.
Profil arsitektur di Desa Kekwa. strukturnya menggunakan kayu bakau.
Suku Kamoro yang Terakhir
Suku Kamoro yang Terakhir
Suku Kamoro yang Terakhir
Suku Kamoro yang Terakhir
Jakarta -

Mendarat di Pantai Kekwa padah hari Kamis (14/10), membuat saya jadi tahu rasanya Christopher Colombus saat menemukan benua Amerika. Coba bayangkan; saat boat kami mulai merapat, pantai yang tadinya kosong menjadi ramai oleh orang lokal. Sebetulnya tidak ada masalah, mereka berhambur ke pantai hanya untuk melihat speed boat yang kami tumpangi. Masalahnya, saya dan Mas Sukma ini bukanlah Nicholas Saputra dan Nadine Chandrawinata, jadi kami sedikit kikuk menghadapi tatapan mata semua penduduk Kekwa pada dua petualang tampan ini.

Tidak butuh waktu lama buat saya untuk segera dekat dengan penduduk. Bahasa Kamoro memang sama sekali berbeda, untung saja Yamin, guide kami cukup menguasai bahasa setempat. Wajah mereka memang sangar, tapi saat tersenyum, barulah kau tahu kebaikan hati mereka yang tanpa pulasan.

Beberapa pemuda Kamoro mengantar saya menuju kampung mereka. Sebenarnya tidak jauh dari pantai, dekat saja. Tapi memang Pantai Kekwa ini pantai yang ajaib, dia punya pasir sangat panas, apalagi kami datang tengah hari. Tidak pernah saya rasakan pasir pantai sepanas ini di belahan bumi Indonesia yang pernah saya kunjungi. Saya terpaksa jalan berjingkat-jingkat tidak karuan untuk menemukan bayangan pohon atau rerumputan atau apa saja, setidaknya meminimalisir rasa panas yang menjalar dari telapak kaki menuju ubun-ubun saya dengan cepat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Para pemuda Kamoro yang berbadan tegap tertawa saja melihat tingkah saya. "Memang kalian punya kaki tidak terasa panas?" tanya saya. Salah satu dari mereka menjawab,"Tidak, biasa saja. Malah sejak kecil kami sudah berjalan diatas bara api," katanya.

Ternyata yang dimaksud adalah Karapao, sebuah inisiasi pendewasaan anak laki-laki menurut adat Kamoro. Anak kecil berusia 6 - 8 tahun dari seluruh desa dikumpulkan, lalu mereka disuruh masuk hutan selama beberapa minggu untuk berburu sagu. Setelah pulang, seluruh sagu yang terkumpul diolah, dijadikan persembahan bagi para leluhur, tapi berakhir pula di perut para penduduk Kekwa. Mereka berpesta sagu, makanan khas para suku yang tinggal di pesisir Papua. Saat upacara inisiasi, seluruh anak yang jadi peserta melakukan ritual, salah satunya adalah berjalan di atas jalur yang beralas batu bara.

Karapao dilaksanakan di sebuah rumah panjang dengan tiga belas pintu yang selalu difungsikan sebagai tempat upacara adat. Seluruh dindingnya terbuat dari anyaman daun pandan, sedangkan atapnya berbalut susunan daun kelapa. Arsitekturnya sangat sederhana, hanya berupa kotak dengan atap miring di satu sisi. Konstruksinya terbuat dari kayu bakau yang banyak terdapat di muara Timika, bentuknya lurus-lurus dan jenjang.

Namun saya tertarik dengan dua buah ukiran yang ada di depan rumah panjang ini. Ini disebut tiang leluhur oleh suku Kamoro dan menjadi salah satu elemen penting dalam pelaksanaan upacara Karapao. "Kami ini juga suka mengukir kayu," kata bapak Napilus, mantan kepala desa Kamoro. Sejak dirambah dunia turisme, penduduk Desa Kekwa rajin memiliki stok ukiran kayu di rumahnya. "Barangkali tamu yang datang mau membeli patung-patung kami," lanjut Napilus.

Mereka menjualnya sekitar 100-300 ribu rupiah, tergantung ukuran patung. Bahkan ada seorang warga negara asing yang memiliki inisiatif untuk membangun sebuah sanggar kesenian, dimana para penduduk leluasa membuat ukiran, lalu dipasarkan di Bali dan mancanegara.

Napilaus juga menunjukkan sebuah patung yang disebut Mbiko, yang berarti sarang setan. Tingginya sekitar 40 centimeter dan terbuat dari jenis kayu putih. "Kalo Suku Asmat di Agats selalu pakai kayu hitam, kami Suku Kamoro selalu menggunakan kayu putih," ujar Napilus.

Melihat Mbiko saya jadi deja vu. Ingatan saya langsung tertancap pada jenis patung para penduduk Pasifik, seperti Fiji atau Vanuatu. Corak patung Mbiko ini memiliki persamaan yang kuat dengan patung-patung Melanesian. Bentuknya yang geometris, garis yang tegas, dan corak dekoratif saya pikir bukanlah sebuah kebetulan. Saya mengira mereka memiliki rumpun budaya yang sama.

"Menurut cerita turun temurun, nenek moyang kami berasal dari timur, timur sekali. Mereka datang berombongan," ujar Napilus.

Produk budaya lain yang saya temukan di kampung Kekwa adalah sampan mereka yang unik. Suku Kamoro menyebutnya 'perahu sendok' atau kole-kole. Bentuknya sangat sederhana, berupa satu buah batang pohon yang dikeruk bagian tengahnya. Seperti lesung padi di Jawa. "Setiap laki-laki Kamoro pasti bisa membuatnya," kata Napilus. Biasanya dibutuhkan waktu sekitar tiga hari bagi seorang pria untuk menyelesaikan perahunya.

Saya menemukan satu kole-kole yang diparkir di tepi pantai, anak-anak kecil berlarian melompatinya. Salah satunya adalah Yakim, berumur 11 tahun. Ia sudah dewasa karena sejak kecil sudah mengikuti Karapao. Saat saya tanya apakah ia bisa membuat kapal dan mengukir patung, ia hanya menggeleng,"Belum bisa, Kakak," katanya. Pengakuan jujurnya membuat saya berdoa, semoga generasi Yakim bukanlah generasi terakhir Suku Kamoro. []

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads