Itinerary hari kedua di Timika (14/10) adalah mengeksplorasi kawasan pantai. Target operasi kami adalah Pulau Puriri, Pulau Bidadari, dan Kekwa. Tempat terakhir ini adalah kampung halaman suku Kamoro, salah satu dari tujuh buah suku yang berada di dalam kawasan karya PT. Freeport Indonesia.
Kami memulai perjalanan dari sebuah jetty kecil di Amamapore. Speed boat sewaan dengan dua motor adalah kendaraan yang mampu diandalkan di medan sungai dan laut di selatan Timika. Dua mesin tempel Yamaha berkekuatan 40 PK mendorong boat fiber ini dengan kencang, bagai sebuah sport car yang melaju di atas air.
Kami pun hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk mencapai Pulau Puriri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena kecil, tidak perlu waktu lama untuk mengitari pulau ini. Di bagian utara, ada semenanjung pasir yang terbentuk akibat pendangkalan air laut. Di tempat ini biasanya camar dan burung laut lainnya melakukan sun bathing. Sialnya, saat kami datang mendekat mereka selalu kabur tunggang langgang. Kami kalah cepat.
Satu jam berselang, akhirnya kami bergerak menuju Pulau Bidadari.
Sebetulnya sama saja, ini bukanlah pulau yang berpenghuni. Pantainya juga pendek dan berpasir kusam. Saya dan Ayos hanya turun sebentar untuk mengambil gambar dan menyetel koordinat GPS melalui Nexian Journey.
Bukannya kami tidak mau menikmati Pulau Bidadari, hanya saja di daerah muara bagian selatan Timika air surut sangat cepat. Tentu saja ini tidak kondusif untuk speed boat yang kami tumpangi. Jika dipaksakan, baling-baling mesin akan rusak terantuk dasar pantai dan kami pun tidak bisa pulang.
Kami putuskan saja untuk langsung sambung menuju Kekwa. Ini sebuah perjalanan yang panjang, kami harus keluar masuk laut dan muara sungai untuk sampai ke pantai Kekwa. Untung saja Papa Mismis, sang kapten kapal, cukup lihai dan hafal jalur mana yang aman dilewati oleh sebuah kapal kecil.
Pada sebuah cekungan muara, Papa Mismis memperlambat laju speed boat. "Kenapa jadi pelan om?" tanya saya. "Soalnya tiga hari yang lalu ada batang pohon lapuk saya lihat di dekat sini," kata sang captain tanpa melepaskan pandangannya dari permukaan sungai.
Setelah berkendara hampir dua jam, sampailah saya dan Ayos di Kekwa. Lumayan apik, berpasir putih, bebas sampah dan pantainya cukup panjang. Pantai ini berhadapan langsung dengan Lautan Arafuru tanpa ada pulau lain di depannya sebagai penghalang. Tapi dibanding itu semua, saya jauh lebih tertarik dengan dua buah meriam yang menyambut kami beberapa puluh meter di lepas pantai. Milik siapa meriam ini?
Pak Matius, sekretraris desa Kekwa, mengatakan bahwa dua buah meriam itu adalah peninggalan dari bangsa Jepang pada Perang Dunia II. Pantai Kekwa memang strategis, ia adalah salah satu pantai paling selatan Papua yang memiliki batas laut lepas. Selain Biak di bagian utara, tentu saja Kekwa sebagai titik paling bawah juga tidak kalah penting.
"Dulu waktu saya kecil suka main-main di meriam itu, bagian bawahnya ada banyak gua buatan", ujar Pak Matius. Para penduduk juga masih sering menemukan peninggalan lain berupa samurai dan perkakas lain peninggalan para tentara Nippon yang tunggang langgang meninggalkan Kekwa setelah mereka tahu sekutu menjatuhkan atom di Hiroshima dan Nagasaki. Semua barang ditinggalkan dan menjelma menjadi barang-barang tanpa majikan.
Sayang sekarang pasir dan air laut mengubur semua peninggalan itu. Abrasi yang terjadi selama dua puluh tahun terakhir membuat garis pantai Kekwa mundur beberapa ratus meter. "Gereja kami yang semula berada di pinggir pantai, sekarang dipindah ke dalam hutan. Padahal sebelumnya sudah diseret mundur sebanyak tiga kali," lanjut Pak Matius.
Selagi Ayos mengambil gambar dan mencatat artifak suku kamoro, saya dan Pak Matius mengobrol tentang banyak hal. Salah satunya, ia bercerita awal ihwal penamaan pulau ini. Syahdan, bangsa Portugis datang ke pulau ini dan disambut oleh orang-orang Kamoro di pinggir pantai. Mereka pun bertanya,"Apakah tuan naik perahu?", dalam bahasa Kamoro, kekwa berarti naik perahu. Dari sini lalu bangsa Portugis menamai pulau tersebut.
Saya jadi ingat pernah membaca bahwa memang Portugis lah bangsa pertama yang memasuki Papua.
Ilhas dos Papua yang berarti pulau rambut keriting adalah sebutan bangsa Portugis untuk pulau raksasa di timur Indonesia ini. Belanda yang datang berikutnya menyebutnya Nieuw Guinea, karena mengingatkan orang Belanda pada penduduk suatu daerah di Afrika, yaitu New Guinea. []
Komentar Terbanyak
Bisa-bisanya Anggota DPR Usulkan Gerbong Rokok di Kereta
Turis China Serang Petugas Imigrasi, Jilbab Ditarik Sampai Lepas
Kagetnya Hotel Syariah di Mataram, Putar Murotal Ditagih Royalti Rp 4,4 Juta