Kera, dimana-mana ada kera. Walau aku tak menganut teorinya namun sisa-sisa jaman pra sejarah itu sepertinya tertinggal dalam sudut gelap otak manusia. "Reptilian Brain", begitu ilmuwan sono bilang. Sisa-sisa itulah yang menyebabkan orang-orang yang kuasa di puncak-puncak pimpinan tertinggi bahkan para negarawan-negarawan besar bisa jatuh terpuruk menjadi paling hina di mata rakyatnya, para bangsawan-bangsawan bisa berakhir di balik jeruji penjara. Para politikus kabur, menjadi buron membawa segudang masalah yang tak kunjung bisa di selesaikan.
Kera di sini memang liar, serakah, tak heran semua pedagang makanan di sini selalu membawa senjata rahasia, ketapel, begitu kera mendekat batu-batu pun berterbangan menghalau mereka. Tapi memang sudah menjadi tabiat mereka batu telah lewat, mereka akan langsung datang kembali, mengincar pedagang, pengunjung, petugas yang terlena, "mereka lihai mas, jika lengah sedikit saja, makanan bisa habis di sikat" jelas salah satu pedagang kepadaku. "Hati-hati bawa makanan mas, mereka bekerja secara berkelompok, kemarin warung Bu Jaenah, penjual di sini, di serang habis-habisan, sampai ludes seluruh isi warung, malem-malem mereka nyerbu lewat atap mas" sambung pedagang, aku manggut-manggut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aku meninggalkan bapak tua tadi. Aku mulai melanjutkan perjalanan, tempat ini terdapat dua bukit, dan sebuah jurang di antara keduanya. Di kiri kanan ditumbuhi dengan pohon-pohon tak homogen. Di tengah bukit terbelah jalan beton buat pengunjung, anak tangga yang memanjang, menurun kemudian naik lagi. Di dasar dua bukit ini terdapat sungai kecil yang mengalir sepanjang tahun. Inilah habitat yang ideal bagi kera-kera di sini, pohon-pohon besar, ketersediaan air, dan tentunya makan bawaan dari pengunjung, entah mereka suka atau tidak, pasti makanan mereka berpindah ke tangan monyet-monyet di sini.
Di antara dua bukit ini nampak pemandangan yang lain, pemandangan sebuah proyek. Truk-truk besar, buldoser meraung-raung menggerus tanah, kabar dari media masa, tempat ini akan di jadikan bendungan, pusat tenaga listrik, untuk menyuplai listrik PLN yang "byar-pet" selama ini, bahkan untuk wisata nasional, dua bukit ini akan digenangi dengan air, hanya ujung-ujungnya saja yang nampak. aku tak tahu bagaimana nasib habitat kera-kera di sini yang sudah ratusan tahun menetap di bukit-bukit,Β ini. Bahkan mungkin, mereka sudah ada sebelum manusia masuk ke daerah ini.
Aku perpaling dari pemandangan itu, aku menuruni bukit ini, lalu tangga mulai naik, aku naik sampai pada bukit yang tertinggi, di puncak bukit, terdapat tanah yang lapang dan ditumbuhi rumput setinggi betis, di seberang bukit yang lain, aku lihat sebuah lanscape yang menawan, sungai yang mengalir, diiringi dengan sawah dan ladang penduduk, dari kejauhan di bawah sana nampak petani setempat sedang memanen buah semangka. Naik ke atas sungai nampak perbukitan menghijau yang ditumbuhi hutan-hutan penduduk, buah-buahan dan pohon-pohon besar.
Naik turun bukit, ternyata membuatku cape, aku minum sofdrinkku, dan berbaring sejenak di atas rerumputan, rasa capek ternyata membuat mataku terasa berat, aku memejamkan mataku. Begitu nikmatnya, di atas bukit ini, angin semilir, udara begitu sejuk, aku teringat dengan lagu Katon Bagaskara, Negeri di Awan, mungkin inilah negeri itu, aku sedang menikmatinya saat ini, hatiku bersenandung merdu. Tiba-tiba, brak, aku terbelalak, seekor monyet besar berada di depanku menyerobot tasku, di sekelilingku terdapat puluhan monyet beringas yang bernafsu dengan isi tasku. Aku bagaikan seorang pendatang di padang pasir yang gersang di kelilingi oleh koboi ganas dengan senjata lengkap. Aku meloncat dan menerkam tasku, monyet itu menghindar, aku menerjang menyaut tasku, tap, aku menangkapnya. Monyet itu menarik keras, aku menahannya, aku sebrak tasku, dapat. Lari terbirit-birit dengan menenteng-nenteng tasku, monyet-monyet kalap itu mengejarku, ada yang bergelantungan melalui pepohonan, ada yang dari bekangku, aku terengah-engah. Monyet-monyet itu terus mendekatiku, tiba-tiba dari atas pohon monyet besat meloncat, tap. Berada di hadapanku. Aku sudah di ujung tanduk, aku terdiam, lirih aku dengar suara suit, suit, dari kejauhan nampak seorang berpakaian serba hitam bersiul dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Aneh, tiba-tiba monyet-monyet itu mundur teratur dan pergi menjauh dari hadapanku, bapak juru kunci telah menyelamatkanku.
Komentar Terbanyak
Kronologi Penumpang Lion Air Marah-marah dan Berteriak Ada Bom
Koper Penumpangnya Ditempeli Stiker Kata Tidak Senonoh, Transnusa Buka Suara
Tanduk Raksasa Ditemukan Warga Blora, Usianya Diperkirakan 200 Ribu Tahun