Misteri Gua Kreo, Semarang

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Misteri Gua Kreo, Semarang

Muhirin Spd - detikTravel
Rabu, 24 Agu 2011 16:31 WIB
loading...
Muhirin Spd
s4030027jpg
s4030030jpg
s4030036jpg
s4030085jpg
s4030107jpg
s4030113jpg
Misteri Gua Kreo, Semarang
Misteri Gua Kreo, Semarang
Misteri Gua Kreo, Semarang
Misteri Gua Kreo, Semarang
Misteri Gua Kreo, Semarang
Misteri Gua Kreo, Semarang
Jakarta - Aku teringat masa SMA ketika Bu Ida, guru favoritku, menjelaskan semua teori tentang manusia. Ia menjelaskan bagaimana manusia secara gradual mengalami perubahan dari sel tunggal hingga eksis sampai sekarang. Yah, teori evolusi, entah itu sebuah teori sains atau karangan Charles Darwin belaka, segala sesuatu di dunia ini memang nisbi, selalu tak abadi. Walau masih kontroversi berkunjung ke tempat ini seolah-olah aku menjenguk mbah buyutku di masa prasejarah.

Kera, dimana-mana ada kera. Walau aku tak menganut teorinya namun sisa-sisa jaman pra sejarah itu sepertinya tertinggal dalam sudut gelap otak manusia. "Reptilian Brain", begitu ilmuwan sono bilang. Sisa-sisa itulah yang menyebabkan orang-orang yang kuasa di puncak-puncak pimpinan tertinggi bahkan para negarawan-negarawan besar bisa jatuh terpuruk menjadi paling hina di mata rakyatnya, para bangsawan-bangsawan bisa berakhir di balik jeruji penjara. Para politikus kabur, menjadi buron membawa segudang masalah yang tak kunjung bisa di selesaikan.

Kera di sini memang liar, serakah, tak heran semua pedagang makanan di sini selalu membawa senjata rahasia, ketapel, begitu kera mendekat batu-batu pun berterbangan menghalau mereka. Tapi memang sudah menjadi tabiat mereka batu telah lewat, mereka akan langsung datang kembali, mengincar pedagang, pengunjung, petugas yang terlena, "mereka lihai mas, jika lengah sedikit saja, makanan bisa habis di sikat" jelas salah satu pedagang kepadaku. "Hati-hati bawa makanan mas, mereka bekerja secara berkelompok, kemarin warung Bu Jaenah, penjual di sini, di serang habis-habisan, sampai ludes seluruh isi warung, malem-malem mereka nyerbu lewat atap mas" sambung pedagang, aku manggut-manggut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ku lihat memang mereka begitu liar, tak sedikitpun takut kepada manusia, ku pasang mata dan telingaku mengawasi mereka.Β Di sebelahku seorang bapak tua berpakaian lusuh serba hitam, tiba-tiba berkata "Kulo Juru Kuncinipun Mas, saya sejak kecil hingga sekarang mengabdi dan tinggal di sini ", aku terkesima dengannya, dari raut wajahnya mungkin umurnya sudah 50-an, ia pasti sudah memiliki pengalaman dan kesan yang mendalam tentang daerah ini. "Di sini ada 3 kera keramat, kera merah, kera putih, kera hitam. Dan itu tidak akan muncul begitu saja, ia akan muncul pada hari-hari mustajab, dan memilih pengunjung tertentu yang akan menjumpainya", yah khas Jawa, khas Indonesia segala sesuatu pasti selalu di hubung-hubungkan dengan dunia mistis, tahayul, mahluk halus dsb. Mungkin itu yang membuat kita tertinggal, seperti sebuah pesawat yang mau "take off", mahluk-mahluk halus itu selalu mengunci roda pesawat di landasan, sehingga kita tidak pernah terbang. "Kalo panjenengan di werohi kera merah berarti panjenengan mau di kasih kekayaan," wah boleh juga nih. Udah bertahun-tahun aku cari pendapatan, tapi gak ada puasnya, gimana kalo dapat untung dari kera ini. "Kalo panjenengan ketemu kera hitam berarti, akan ada bencana", wah bulu kudukku langsung berdiri mendengarnya, "Kalo papasan dengan kera putih njenengan mau jadi orang yang bijaksana mas". Wah kayaknya dari dulu ane dah bijaksana nih, "Di sini dulu tempat petilasan Sunan Kalijaga, ia menanam bambu yang harum baunya, makanya di sini banyak bambu wangi" jelasnya lagi, kali ini aku tak tahan, "Jumlah kera di sini berapa pak?" tanyaku, mengalihkan perhatiannya pada dunia metafisika dan mengarahkan pembicaraan kepada hal-hal yang logis bagi otak saya. "Kera di sini ada tiga kelompok, tiap kelompoknya berjumlah ratusan, tiap-tiap kelompok memiki wilayah sendiri-sendiri, ni ada yang bagian atas bukit sini, di bawah tebing, satunya di sana?" sambil menunjuk bukit di seberang sana. Kali ini, penjelasannya baru masuk di kepalaku, "Kadang, mereka berebut daerah kekuasaan, kalo dah gitu bisa bentrok antar kelompok, bisa cedera bahkan kadang ada yang mati mas." Terangnya lagi. "Saya jadi juru kunci dah sejak kecil, tapi sejak tempat ini di bangun, pemerintah mendatangkan PNS-PNS dari kota, mereka sekarang, malah jadi mandor saya, padahal saya yang merintis sejak kecil, malah tidak diangkat PNS, saya ya tidak dapat apa-apa, modal ikhlas mawon mas." Wah kali ini saya tak bisa membantunya, kalo saya dah jadi walikota Semarang mungkin nanti bapak ini tak angkat jadi tangan kanan saya mengurusi monyet-monyet di sini. Tapi aku tak tau kapan aku di angkat jadi Walikota mungkin nunggu ketemu kera merah sama kera putih, kalo tidak ketemu-ketemu lebih baik saya bawa cat saja dari rumah.

Aku meninggalkan bapak tua tadi. Aku mulai melanjutkan perjalanan, tempat ini terdapat dua bukit, dan sebuah jurang di antara keduanya. Di kiri kanan ditumbuhi dengan pohon-pohon tak homogen. Di tengah bukit terbelah jalan beton buat pengunjung, anak tangga yang memanjang, menurun kemudian naik lagi. Di dasar dua bukit ini terdapat sungai kecil yang mengalir sepanjang tahun. Inilah habitat yang ideal bagi kera-kera di sini, pohon-pohon besar, ketersediaan air, dan tentunya makan bawaan dari pengunjung, entah mereka suka atau tidak, pasti makanan mereka berpindah ke tangan monyet-monyet di sini.

Di antara dua bukit ini nampak pemandangan yang lain, pemandangan sebuah proyek. Truk-truk besar, buldoser meraung-raung menggerus tanah, kabar dari media masa, tempat ini akan di jadikan bendungan, pusat tenaga listrik, untuk menyuplai listrik PLN yang "byar-pet" selama ini, bahkan untuk wisata nasional, dua bukit ini akan digenangi dengan air, hanya ujung-ujungnya saja yang nampak. aku tak tahu bagaimana nasib habitat kera-kera di sini yang sudah ratusan tahun menetap di bukit-bukit,Β  ini. Bahkan mungkin, mereka sudah ada sebelum manusia masuk ke daerah ini.

Aku perpaling dari pemandangan itu, aku menuruni bukit ini, lalu tangga mulai naik, aku naik sampai pada bukit yang tertinggi, di puncak bukit, terdapat tanah yang lapang dan ditumbuhi rumput setinggi betis, di seberang bukit yang lain, aku lihat sebuah lanscape yang menawan, sungai yang mengalir, diiringi dengan sawah dan ladang penduduk, dari kejauhan di bawah sana nampak petani setempat sedang memanen buah semangka. Naik ke atas sungai nampak perbukitan menghijau yang ditumbuhi hutan-hutan penduduk, buah-buahan dan pohon-pohon besar.

Naik turun bukit, ternyata membuatku cape, aku minum sofdrinkku, dan berbaring sejenak di atas rerumputan, rasa capek ternyata membuat mataku terasa berat, aku memejamkan mataku. Begitu nikmatnya, di atas bukit ini, angin semilir, udara begitu sejuk, aku teringat dengan lagu Katon Bagaskara, Negeri di Awan, mungkin inilah negeri itu, aku sedang menikmatinya saat ini, hatiku bersenandung merdu. Tiba-tiba, brak, aku terbelalak, seekor monyet besar berada di depanku menyerobot tasku, di sekelilingku terdapat puluhan monyet beringas yang bernafsu dengan isi tasku. Aku bagaikan seorang pendatang di padang pasir yang gersang di kelilingi oleh koboi ganas dengan senjata lengkap. Aku meloncat dan menerkam tasku, monyet itu menghindar, aku menerjang menyaut tasku, tap, aku menangkapnya. Monyet itu menarik keras, aku menahannya, aku sebrak tasku, dapat. Lari terbirit-birit dengan menenteng-nenteng tasku, monyet-monyet kalap itu mengejarku, ada yang bergelantungan melalui pepohonan, ada yang dari bekangku, aku terengah-engah. Monyet-monyet itu terus mendekatiku, tiba-tiba dari atas pohon monyet besat meloncat, tap. Berada di hadapanku. Aku sudah di ujung tanduk, aku terdiam, lirih aku dengar suara suit, suit, dari kejauhan nampak seorang berpakaian serba hitam bersiul dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Aneh, tiba-tiba monyet-monyet itu mundur teratur dan pergi menjauh dari hadapanku, bapak juru kunci telah menyelamatkanku.

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads