Kampung Bule di Gili Trawangan?

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Hanindita Ratna Asti|314|NTB|21

Kampung Bule di Gili Trawangan?

Redaksi Detik Travel - detikTravel
Jumat, 20 Mei 2011 10:50 WIB
loading...
Redaksi Detik Travel
Biru laut, putih pasir, dan biru langit Gili Trawangan (YF)
Suasana jalan di Gili Trawangan (YF)
Salah satu cafe di Gili Air (YF)
Kampung Bule di Gili Trawangan?
Kampung Bule di Gili Trawangan?
Kampung Bule di Gili Trawangan?
Jakarta -

Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air. Siapa yang tak kenal keindahannya? Hamparan pasir putih memeluk laut biru kehijauan, serta langit biru membumbung tinggi membingkai pesona keindahannya. Untuk mencapai Gili Trawangan, wisatawan menyebrang dengan kapal motor dengan tarif Rp. 10.000 dari Pelabuhan Bangsal, perjalanan hanya memakan waktu 15-30 menit tergantung cuaca laut saat itu. Pelabuhan Bangsal terletak sekitar satu jam perjalanan dari Pantai Senggigi. Ketika saya menyebrang, satu kapal terdapat sekitar 20 hingga 30 orang. Hanya kami dan awak kapal yang merupakan orang Indonesia. Selebihnya wisatawan asing dari berbagai penjuru dunia. Gaung keindahan Gili Lombok telah mendunia.

Pak Marjan sudah tinggal di Gili Trawangan sejak tahun 1991. Saya menanyakan perubahan di Gili Trawangan sejak beliau pertama datang. "Padat. Setahun sekali perubahannya banyak sekali. Jumlah penginapan dan cafe-cafe semakin banyak. Sudah semakin gaya Eropa" Jelas beliau. Menurut beliau wisatawan yang banyak berkunjung memang wisatawan mancanegara sehingga pemilik penginapan dan cafe di Gili Trawangan hanya menyesuaikan dengan pasar. Wisatawan lokal hanya berkunjung satu sore dan tidak menginap. "Tapi kalau liburan sekolah, Juli dan Desember, banyak turis lokal yang menginap." Beliau menambahkan.

Pemilik bisnis di Gili Trawangan kebanyakan merupakan orang luar, baik luar Lombok maupun luar Indonesia. "Yang punya bule juga atas nama punya kita, jadi kita cuma punya atas nama saja. Padahal kita yang bodoh, mau aja digituin." Tuturnya. "Gili Trawangan ini kaya, uang datang dari mana-mana, tapi kemudian pergi juga dibawa yang punya. Alangkah baiknya jika kita sendiri yang punya" Beliau menceritakan harapannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat berbincang dengan Pak Marjan di lokasi konservasi penyu (15 Oktober 2010), satu rombongan wisatawan lokal terlihat sedang mengadakan kegiatan permainan di pantai. Yang sangat disayangkan adalah baik dari peserta maupun dari pihak tour atau event organizer meninggalkan sisa sampah yang berserakan begitu saja. "Kenapa kok orang luar lebih peduli sama alam kita?" Ujar beliau geram. Pak marjan juga sering menegur orang yang membuang sampah sembarangan, tak jarang orang yang ditegur membalas dengan marah, beliau melanjutkan "Saya cuma menasehati kamu, jangan buang mangga di situ. Ini untuk dilihat anak cucu kita nanti." Pak Marjan seorang yang tak mengecap bangku pendidikan formal, memiliki kepedulian tinggi terhadap Gili Trawangan. Maka pantaskah kita mendongakkan kepala mengaku berpendidikan tinggi, jika masih membuang sampah sembarangan?

Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air menyimpan berjuta pesona alam, di atas maupun di bawah permukaan laut. Tetapi kenapa banyak masyarakat kita yang lebih berbangga ketika berlibur di luar negri ketimbang mengembangkan potensi wisata Indonesia? Sampai hatikah kita bila Gili Trawangan dijuluki Kampung Bule, bahkan kita yang menjadi tamu di Negri sendiri? (HRA)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads