Saya selalu menganggap gajah adalah binatang yang lucu dan cerdas. Setidaknya itu yang saya lihat dari Dennis, Milo, Agam, dan Aris. Itu beberapa nama gajah di Pusat Konservasi Way Kambas yang saya kenal saat berkunjung ke sana. Saya sempatkan satu jam di sana untuk mengenal mereka lebih dekat dengan melakukan safari gajah.
Dennis, nama gajah yang saya tunggangi. Usianya sekitar 17 tahun. Badannya tidak begitu besar. Ia termasuk jenis gajah tunggang, gajah yang dilatih untuk dapat ditunggangi oleh para pengunjung. Satu jam bersama Dennis ternyata sangat berkesan. Saya tidak akan melupakan pertama kali harus naik ke punggungnya yang tinggi. Kemudian badannya yang bergoyang-goyang saat berjalan membuat saya sedikit gemetaran. Apalagi Dennis tidak berhenti makan selama perjalanan. Belalainya yang panjang selalu mencari rumput untuk ditarik. Bagian paling seru adalah saat kita melintasi rawa di tengah-tengah padang rumput. Begitu turun ke rawa, rasanya badan ini mau jatuh ke depan. Tapi begitu masuk ke air, Dennis pun dengan gagah melintasi genangan air rawa yang genangannya mencapai setinggi kakinya.
Gajah yang ditunggangi oleh Mas Yopie, pendamping tim saya, namanya Milo. Ia di Way Kambas sejak usianya masih kecil dan saat itu ia hanya diberi susu formula, layaknya anak kecil. Dari situlah ia diberi nama Milo. Gajah usia balita memang selalu diberi susu. Minumnya pun memakai botol. Saya tidak bisa membayangkan botol susu gajah sebesar apa. Gajah pun tidak bisa sembarang minum susu, salah-salah malah diare. Gajah-gajah kecil diberi minum susu sampai dengan usia 5 tahun. Namun apabila masih ada induknya, gajah-gajah tersebut dilepaskan bersama sang induk. Hitung-hitung untuk mengurangi dana susu selama 5 tahun. Gadar, misalnya. Gajah mungil yang saya temui di tengah padang rumput ini masih asyik bermain bersama induknya, Bunga. Gajah kecil seperti ini belum akan dilatih hingga usianya mencapai 6 tahun. Layaknya anak kecil, gajah pun bisa nakal. Milo sewaktu kecil dikenal sebagai gajah yang nakal. Dulu ia sering mencuri beras yang disimpan di gudang sampai harus dikejar oleh para petugas di Way Kambas. Ada-ada saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama safari gajah, saya juga bertemu banyak gajah-gajah lain di padang rumput. Ada yang namanya Mambo. Dulu saat usianya masih di bawah 17 tahun, ia sering dikaryakan sebagai gajah atraksi. Bahkan kepopulerannya sebagai gajah atraksi sudah lintas pulau lintas propinsi. Karena kepiawaiannya dalam melakukan atraksi, ia dulu sering show di Taman Safari dan Kebun Binatang Ragunan. Kini usianya sudah lebih dari 20 tahun, dan ia lebih banyak menghabiskan waktunya di Way Kambas. Pusat konservasi ini juga masih sering mengadakan festival yang menghadirkan atraksi gajah. Atraksi gajah mulai dari bermain hulahop sampai dengan berhitung angka juga dapat ditemui di sini pada akhir pekan. Selain itu, pada akhir pekan pengunjung di sini juga bisa naik kereta gajah. Kereta yang ditarik oleh gajah untuk berkeliling kawasan Way Kambas.
Satu jam melakukan safari gajah ternyata bisa membuat saya mengenal gajah-gajah di sini. Dengan biaya 150.000 rupiah per jam, kita bisa puas berkeliling kawasan Way Kambas dan mengenal bintang-binatang besar ini lebih dekat. Selain safari gajah, saya juga berfoto bersama dengan gajah-gajah lucu ini. Pertama-tama memang agak menakutkan duduk di kaki gajah sambil berpose sementara belalainya menjalar ke mana-mana. Bahkan, saya sempat kena hempasan telinga Milo yang lebar. Tapi tenang saja, itu cuma cara mereka berinteraksi dengan kita. Jangan khawatir, mereka sudah jinak dan tetap berada di bawah kendali pawangnya. Sayang untuk melewatkan pose-pose lucu mereka.
Komentar Terbanyak
Didemo Pelaku Wisata, Gubernur Dedi: Jelas Sudah Study Tour Itu Piknik
Prabowo Mau Beli 50 Pesawat Boeing dari AS, Garuda Ngaku Butuh 120 Unit
Skandal 'Miss Golf' Gemparkan Thailand, Biksu-biksu Diperas Pakai Video Seks