Lani Dani Yali

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Ayos Purwoaji|22953|PAPUA 2|28

Lani Dani Yali

Redaksi Detik Travel - detikTravel
Rabu, 16 Mar 2011 11:13 WIB
loading...
Redaksi Detik Travel
Seorang generasi muda Suku Dani yang sedang berdandan khas dalam acara bakar batu.
Lani Dani Yali
Jakarta -

Saya merasa harus bersyukur kuadrat mendapat tempat Wamena dalam itinerary program petualangan ini. Tempat ini adalah ladang subur bagi para pengelana pecinta studi antropologi. Begitu banyak suku dengan budaya yang beragam adalah daya tawar paling menarik dari Wamena.

Saya sendiri bukanlah mahasiswa Jurusan Antropologi, namun kegemaran melihat film Indiana Jones waktu kecil membuat saya bersikukuh untuk menemui suku-suku di pedalaman Amazon suatu hari nanti.

Ternyata saya tidak perlu jauh-jauh ke Brazil, karena di Wamena, sebuah daerah berketinggian 1700 meter di atas permukaan laut, saya bisa menemukan Lani, Dani, dan Yali, tiga suku keren yang memancing ratusan peneliti asing untuk datang ke Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Maka saya akan menjelaskan sedikit hal yang didapat mengenai tiga suku ini selama lima hari di Wamena.Β 

Seorang antropolog berkebangsaan Jerman, Dr. Werner F. Weiglein, pernah bilang bahwa Wamena adalah sebuah Shangri La, kota mitikal dalam ajaran Buddha yang diceritakan sebagai tiruan surga yang ada di muka bumi. Saya tidak sepenuhnya sepakat, tapi pada beberapa sisi bisa jadi ia benar. Wamena memiliki jalur bernama Lembah Baliem yang sangat indah. Sejak ribuan tahun lampau lembah ini sudah memikat rombongan orang Melanesia yang melintas dalam rangka migrasi massal untuk tinggal dan menetap.

Barangkali gambaran nirwana paling purba juga dimulai dari penemuan Wamena. Surga adalah tempat yang tinggi, selalu sejuk, sungai-sungai kecil jernih bersatu mengalir menjadi sebuah sungai besar, banyak bunga dan kupu-kupu. Apalagi gambaran surga yang lebih mendekati ketimbang Wamena?

Maka orang-orang yang tinggal pertama kali mendiami Lembah Baliem sepanjang 60 kilometer itu adalah nenek moyang Suku Dani. Mereka hidup dengan cara meramu dan berburu.

Suku Dani generasi awal ini juga mengembangkan sebuah bahasa, tata cara hidup, kesenian, dan mitos-mitos lokal yang memepsona. Konon, Suku Dani percaya mereka berasal dari batu, sama seperti Suku Asmat yang percaya bahwa mereka berasal dari kayu. Mitos lokal ini menunjukkan eratnya hubungan mereka dengan alam. Keduanya melakukan dialog dan saling menjaga.

Saat melakukan upacara bakar batu, sesaat setelah babi kecil dikorbankan, hujan turun dengan deras. Seorang pemimpin suku lantas berceracau pada langit, ia menunjuk-nunjuk langit dengan wajah murka. β€œMengapa kau turun pada saat yang tidak tepat? Asal kau tahu, Hujan, kami sedang berpesta!” kata Bang Herman mengartikan sumpah serapah yang dikeluarkan Onduwafi (kepala suku) kepada langit.

Tujuh menit kemudian hujan yang sangat deras tadi berhenti dan langit kembali cerah.

Tapi memang hujan tidak pernah absen membasahi Wamena, curah hujan di sini sangat tinggi. Hampir setiap hari hujan, namanya juga daerah berupa lembah, dimana awan yang mengangkut uap air seringkali tertahan oleh puncak-puncak gunung dan berakhir dengan mencurahkan hujan. Karena itu, suhu yang dingin menjadi lebih dingin lagi di Wamena. Sehingga Suku Dani pun membuat hunian hangat berupa honai. Semacam igloo yang membuatmu tetap hangat, namun berbahan kayu dan beratap jerami.

Untuk tetap hangat meski malam tiba dan embun mulai turun memenuhi lembah, maka setiap honai dilengkapi dengan tungku api di dalamnya. Sayang, asap dari pemanas tradisional ini tidak ada jalan keluarnya, jadi berputar-putar saja di dalam honai. Membuat penduduk Lembah Baliem banyak mengidap penyakit pernafasan akut (ISPA) dan risiko kematian yang sangat tinggi.

Selama ini yang mereka tahu kematian hanya datang dari roh jahat atau tenung yang berasal dari desa lawan. Akibat kematian ini maka timbullah perang suku yang tidak ada habisnya.

Kepercayaan mistik ini memang sangat susah dihilangkan dari kepala orang-orang Baliem. Misi Kristen yang ada sejak akhir abad ke-19 juga tidak bisa mengurangi kepercayaan animisme seperti ini. Suku Dani memang dikenal sebagai orang yang terbuka, namun kepercayaan mereka terhadap leluhur sangat susah luntur.

Berbeda dengan Suku Lani, mereka lebih terbuka terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Secara intelektual, orang Lani memang memiliki intelegensia yang lebih tinggi ketimbang dua suku lain di sekitar Baliem. β€œItu mengapa banyak peneliti asing yang melakukan ekspedisi di Baliem sering menggunakan jasa mereka sebagai guide atau porter,” kata Bang Herman.

Porter atau pengangkut barang bawaan para peneliti dan logistik untuk berminggu-minggu di medan pegunungan ini memang cocok bagi orang Lani. Secara umum tubuhnya lebih kokoh dengan tulang yang lebih besar dari suku lain. Mereka adalah porter jagoan yang bisa diandalkan.

Jika Suku Dani memiliki koteka untuk menutup kemaluan, maka Suku Lani memiliki kobewak. Sebetulnya fungsinya sama saja dengan koteka. Hanya saja diameternya berkali-kali lebih besar. Garis tengahnya sepanjang sepuluh centimeter. Mengapa ukurannya begitu besar? Karena selain untuk menutupi kemaluan, kobewak ini multiguna; bisa untuk menyimpan rokok dan uang receh sekaligus.

Saat kedinginan, biasanya mereka menari dan berteriak-teriak sambil memukul kobewak ini. Sangat lucu. Saya sendiri tidak tahu bagaimana rasanya, maka tanyakan saja pada Mas Sukma yang pernah ikut menari bersama Suku Lani.

Suku Lani adalah suku yang sangat ceria, berbanding terbalik dengan Yali yang sedikit muram. Suku yang tinggal di puncak-puncak pegunungan Jayawijaya ini memang sangat tertutup dengan peradaban baru. Mereka sangat sulit beradaptasi, tipikal orang gunung yang tinggal jauh dari laut.

Konon, hingga hari ini orang Yali masih memiliki tradisi kanibalisme. Meski saya tidak bisa membuktikan kebenaran ceritanya, namun tradisi kanibalisme ini memang ada dalam kehidupan Suku Yali,”Jika mereka memakan tubuh lawannya, ada perasaan bangga, mereka bertambah kuat,” kata Bang Herman. Seperti kisah McLeod dalam film Highlander saja.

β€œSaat ini mungkin kanibalisme sudah tidak ada, namun hampir bisa dipastikan, orang tua yang berumur 50 tahun keatas, sudah pernah makan orang, minimal sekali seumur hidupnya,” kata Bang Herman.

Tubuh Suku Yali ini sangat pendek (pygmy), ukuran rata-rata pria dewasa hanya 140 centimeter saja. Membuat saya jadi percaya diri jika berfoto di samping orang-orang Yali, mungkin seperti Yao Ming yang bersanding dengan Frodo Baggins.

Tapi jangan kau remehkan orang Yali. Mereka adalah penjelajah gunung yang sangat tangguh. Saat trekking di Kurima, saya menemui segerombolan orang Yali. Saat kami tanyai, ternyata mereka sudah seminggu berjalan kaki melintasi lembah dan puncak gunung, tujuan mereka adalah kota Wamena. Memang ada perlu apa sampai berjalan kaki seminggu lamanya untuk ke Wamena? β€œSaya mau ambil barang saja kok,” kata seorang pemuda Yali dengan santai.

Hide Ads