Tanpa penerangan listrik, kami hanya duduk berbekal senter dan lilin. Suara jangkrik dan kodok yang bersahutan, ditambah suara air sungai yang mengalir, suasana malam di hutan menjadi sangat terasa di Gunung Palung ini. Setelah makan malam apa adanya, kami duduk bersama, mengobrol, berbagi cerita, berbagi hidup. Bapak, Abang, Om β apapun panggilan yang saya beri untuk mereka β yang mengabdi untuk penelitian Orang Utan itu seru sekali bercerita dalam bahasa khas Kalimantan. Untungnya, bahasa berbasis Melayu itu sedikit banyak masih bisa saya mengerti. Perbedaan latar belakang menjadikan percakapan ini menarik bagi satu sama lain, dan saya belajar banyak dari mereka.
βYa,kami sangat berharap illegal logging bisa dihentikan. Dampaknya ke depan sangat mengkhawatirkan. Pembangunan rumah walet di daerah Kalimantan Barat ini juga mendorong meningkatnya permintaan kayu. Kalo sekarang, kita masih bisa menikmati, tapi nanti anak cucu gimana. Bukan cuma itu, pemerintah juga ga tegas. Yang kasih ijin itu ya pejabat-pejabat itu, dapet amplop lah gampang aja. Mau sebanyak apapun hutan di Kalimantan ini, tapi lama-lama bisa habis juga. Sekarang saja banyak tanah yang gundul, ataupun ditinggalkan setelah ditanami kelapa sawitβ, ujar Pak Syahrul, guide kami.
Mereka bercerita bahwa Kepala Desa Sedahan Jaya, di mana para tim peneliti tinggal, sempat menerima tawaran penanaman kelapa sawit di desa mereka. Mendengar itu, Bang Adib, pendamping kami, langsung mengatakan, βJangan lah bah.. Mendingan minta tanem karet aja kalo mau, lebih bagus..β
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
βBukan apa, kami hanya takut tersingkir. Lama-lama kalo orang kayakβ gitu berkuasa, hutan habis, gunung abis, desa abis, lha kami-kami ini gimana. Saya juga dulu sempat jadi preman. Tapi sekarang udah bertobat dan mau jadi orang baik, sayang sama alamβ, cetus Pak Syahrul.
Mendengar kalimat terakhirnya, saya jadi ingat ketika tadi sore Pak Syahrul menemukan tanaman anggrek yang di dekat camp telah mati, dibabat orang. Beliau marah-marah sambil mengelus sayang anggrek yang sudah mati tersebut.
βAh, udah lah, bah.. Susah kalau mau idealis sekarang. Jangan buang sampah sembarangan lah. Jangan kotori sungai lah. Sekarang aja kita bisa omong kayakβ gitu. Omong kosong itu semua kalo udah ketemu duit banyak. Kayakβ senior saya dulu, deket banget sama saya, ngajari saya banyak hal tentang alam, dialah yang membentuk saya seperti sekarang. Lha sekarang? Tau gak bah, udah ga saya tegor hampir 2 tahun. Dia kerja di kelapa sawit, bah! Omongnya butuh duit untuk keluarganya lah. Ah! Omong kosong lah. Saya cuma berharap saya ga akan jadi kayakβ diaβ, sambung Bang Adib.
Semua diam, lesu. Namun saya melihat sesuatu saat itu. Sangat jelas walau dalam gelapnya malam dan remang lilin. Kesedihan, kepedihan, dan keputusasaan itu ada di mata mereka, sangat dalam hingga tembus sampai ke hati.
Orang-orang sederhana ini orang baik: mereka membagi makanan kepada kami, mereka sangat ramah dan terbuka, mereka lucu dan menghibur, mereka tahu sopan santun, mereka sederhana namun kaya. Mereka sama-sama butuh uang, mereka hanya lebih memilih hidup di hutan dibanding gedung bertingkat di perkotaan, mereka hanya memilih untuk lebih dekat dengan alam.
Apa yang saya lihat dan dengar itu sudah lebih dari cukup membuat saua melakukan apa saja yang bisa saya lakukan, apa saja. Langkah pertama adalah dengan menyuarakan suara hati mereka, menuliskan cerita ini dan membagikannya kepada Indonesia, yang saya yakin masih punya hati nurani menanggapi hal ini, siapapun Anda, di tingkat manapun jabatan Anda, sebutuh apapun Anda dengan uang, dan apapun lembaga Anda.












































Komentar Terbanyak
Awal Mula PB XIV Purbaya Gabung Ormas GRIB Jaya dan Jadi Pembina
Fadli Zon Bantah Tudingan Kubu PB XIV Purbaya Lecehkan Adat dan Berat Sebelah
Wisata Guci di Tegal Diterjang Banjir Bandang, Kolam Air Panas sampai Hilang!