Windarto|6150|KEP. RIAU|12
Pak Itam dan Kaisarnya


Β
Kami diantarkan sampai penginapan Sun Ling di Jalan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Ternyata si pengemudi Kaisar, Pak Itam, sudah dikenal sering mengantarkan tamu ke penginapan ini. Dipanggil Pak Itam karena memang beliau berkulit hitam.
Β
Mengingat angkutan umum yang jarang sekali ada di Daik, maka kami putuskan untuk diantarkan Pak Itam dengan Kaisarnya ke tempat-tempat yang akan kami kunjungi di hari berikutnya.
Β
Pagi berikutnya dengan menumpang di bak belakang Kaisar milik Pak Itam, kami diantarkan ke beberapa situs sejarah yang ada di Daik. Tidak hanya situs sejarah, kami juga diantarkan ke makam raja-raja kesultanan Lingga Riau, Pantai Panjang, Desa Suku Mantang (Suku Asli yang dulunya tinggal di atas perahu, kini sudah menetap, tapi masih dengan rumah yang berada diatas laut), dan Masjid Sultan Lingga.
Β
Jangan anggap remeh Pak Itam dan Kaisarnya, walau usia pak Itam sudah kepala 5 dan bercucu 3 namun Pak Itam masih kuat dan lihai, sekuat dan selihai Kaisarnya yang dibawa Off Road sepanjang jalan menuju Desa Suku Mantang yang terletak di bibir pantai dekat pantai Pasir Panjang. Untuk menuju lokasi Desa Suku Mantang, medannya sangat berat karena belum ada akses jalan aspal apalagi dengan menggunakan Kaisar yang beroda 3 dengan ukuran agak lebar dan harus melalui jalan-jalan kecil yang masih berupa tanah yang sengaja diurukkan rawa-rawa bakau.
Β
Belum lagi medan lainnya adalah jalan tanah berkelok-kelok naik turun bukit yang sepertinya baru dibuat dan harus melewati 3 jembatan kayu diatas sungai selebar 7 meter sementara lebar jembatannya hanya lebih beberapa centimeter dari lebar Kaisar pak Itam. Jika Pak Itam tidak ahli membawa Kaisarnya, mungkin kami akan terjebak dalam lumpur di tengah rawa-rawa bakau yang jauh dari pemukiman atau terguling masuk ke rawa-rawa.
Β
Satu lagi, ternyata Pak Itam yang baru tinggal 4 tahun di Daik ini sebelumnya adalah nelayan di pulau kecil dekat tetangga pulau Lingga. Pak Itam cukup dikenal masyarakat setempat, entah itu di Museum Mini Lingga, di Penginapan, di Desa Kelumu, di Desa Suku Mantang, ataupun disepanjang jalan yang kami lalui. Padahal jarak antar perkampungan di Daik cukup jauh. Tak salah rasanya jika kami putuskan untuk diantarkan Pak Itam ke tempat-tempat yang mungkin luput dari perhatian orang pada umumnya, seperti kawasan adat terpencil Suku Mantang.
Komentar Terbanyak
Banjir Bali, 1.000 Hektar Lahan Pertanian per Tahun Hilang Jadi Vila
Warga Harap Wapres Gibran Beri Solusi Atasi Banjir Bali
Belum Dibayar, Warga Sekitar Sirkuit Mandalika Demo-Tagih ke ITDC