Kawah Ijen merupakan wisata khas Banyuwangi yang cantik dan menawan. Hiking di Ijen adalah pilihan yang tepat untuk melepas penat.
Setelah lama bermimpi, akhirnya saya memutuskan untuk menyusuri daerah paling timur Pulau Jawa, Banyuwangi. Kabupaten yang berbatasan langsung dengan Selat Bali ini memiliki bentang alam yang membius mata.
Wisatanya pun beragam, mulai dari pantai, taman nasional, sampai pegunungan. Kearfifan lokal dari Banyuwangi ini juga sangat berciri khas, seperti tradisi Mepe Kasur yang dipercaya oleh Suku Osing.
Pilihan saya jatuh ke Kawasan Ijen dengan sejuta pesonanya. Pagi itu pukul 9 kereta Argo Bromo Anggrek membawaku dari Stasiun Pasar Senen menuju Surabaya selama 8 jam 30 menit.
Hari yang cerah menambah sedikit energi positif dalam perjalananku di tengah pandemi ini. Protokol kesehatan harus terus diterapkan ya traveler! Sesampainya di Stasiun Pasar Turi Surabaya, panitia open trip sudah menunggu untuk menjemputku dan beberapa peserta sore yang panas itu.
Mobil minibus melaju kencang membelah jalan tol pantura yang memiliki panjang sekitar 287 km sampai ke tujuan. Rute yang dilewati adalah Sidorajo, Probolinggo, Jember, Situbondo, dan Banyuwangi Kota.
Duduk di dalam kendaraan selama 6 jam dan ditemani lagu dangdut Jawa Timur-an, membuatku dan rekan trip yang lain ingin bergoyang dalam gelapnya malam. Jalan berkelok membangunkan saya .
Rupanya hampir sampai di Wisata Geopark Ijen. Saya yakin pemandangan sekitar sini sangat indah namun terhalang gelap pekat. Saya membuka sedikit jendela mobil, merasakan dinginnya hawa khas pegunungan. Saya semakin tidak sabar memeluk Ijen sambil menikmati birunya kaldera.
Jam 1.30 kami pun mendarat di basecamp pendakian Gunung Ijen yaitu Pos Paltuding. Terdapat beberapa warung indomie berjejer. Toilet yang dibandrol dengan harga 2000-an, serta perapian untuk menghangatkan tubuh yang diterpa suhu 15 derajat itu.
Kawah Ijen berada di puncak Gunung Ijen yang memiliki tinggi 2.386 mdpl dan konon dapat didaki dengan waktu 2-3 jam. Tiket pendakian dihargai Rp 5000 untuk weekday dan Rp 7.500 untuk weekend. Harga yang sangat terjangkau untuk sebuah pemandangan yang memukau.
Biasanya, aktivitas menanjak dimulai pukul 02.00, namun karena pandemi, waktu pendakian diubah menjadi pukul 03.00. Sambil menunggu, saya dan rekan traveler lain menyesap secangkir kopi panas untuk menghangatkan tubuh di tengah hawa dingin yang menusuk.
Beberapa wisatawan lain menikmati semangkuk indomie yang cepat dingin diterpa suhu gunung. Setelah kami semua mempersiapkan diri dan memastikan peralatan kami lengkap (seperti jaket tebal, headlamp, tracking pole, air minum, masker,dan lain sebagainya), kami memulai pendakian tepat pukul 03.00.
Tak lupa kami melangitkan doa agar selamat sampai di Kawah dengan luas 5.446 hektar ini. Sebelum memutuskan untuk trekking di Kawasan Ijen, pastikan kondisi fisik kita kuat dan sehat.
Jalur menuju puncak terbilang tidak banyak batu namun juga tidak landai. Kemiringannya 60 derajat dan terus menanjak dengan jarak 3,4 km.
Jika sudah biasa jalan kaki atau jogging, penanjakkan ini akan terasa mudah. Kami mulai melangkah perlahan dan pasti. Ada sekitar lebih dari 50 orang dalam ekspedisi ini dan 20 di antaranya adalah peserta jasa open trip yang saya percayakan, Sumo Tour & Travel.
Jalan setapak yang lumayan lebar masih terasa datar. Cahaya headlamp dan senter berpendar dari segala arah, menerangi setiap jejak kami. Bagi kalian yang tidak kuat menanjak, jangan cemas, Ijen menyediakan jasa ojek/taksi menggunakan gerobak bertenaga manusia.
Ongkos nya Rp 600-700 ribu PP sampai kawah. Setelah 2 jam dengan trek yang lumayan membuat nafas megap-megap, akhirnya kami menemukan lagi jalur yang landai dengan pembatas kayu di sisi kanan. Kerlip lampu di bawah sana memperlihatkan Kota Banyuwangi yang masih tertidur pulas.
Angin gunung mulai berhembus. Kami tak merasakan dingin yang teramat karena banyak bergerak. Matahari mulai bangun dari peraduannya.
Bermacam-macam pohon dan tanaman dataran tinggi mulai terlihat di sisi kiri dan kanan jalan setapak yang sedikit berbatu ini. Saya sangat tecenung sejenak menatap kemegahan gunung lain yang berdekatan dengan Ijen, seperti Puncak Merapi, Gunung Raung, dan Gunung Suket.
Di sela asri nya alam Ijen, saya menemui beberapa penambang belerang. Mereka memanggul beban sekitar 60 kg ke pos Paltuding. Saat berpapasan, senyum mereka tulus, tak terlihat sedikitpun lelah walaupun saya tahu mereka menahan payah.
Pekerjaan berbahaya dan nyawa menjadi taruhannya. Dalam hati saya berdoa, semoga para bapak ini senantiasa sehat. Kami pun sampai di puncak dengan bahagia. Rehat sejenak seraya menikmati Kawah yang berwarna hijau tosca kebiruan.
Cuaca yang cerah melengkapi cerianya trip kami. Memang bulan Juni-Agustus adalah waktu yang cocok menyambangi salah satu kawasan yang termasuk ke dalam Ijen Geopark Bondowoso itu.
Saya banyak mengambil gambar dan di setiap spot tempat ini sangatlah elok, menambah kesan megah terhadap lukisan alam ini. Saya duduk termangu di pinggir kawah.
Rasa loyo sirna seketika dilarung oleh daya tarik gunung berapi aktif tersebut. Karena terlalu siang, kami tidak kebagian fenomena blue fire yang biasa muncul di tengah kawah sekitar pukul 02.00-03.00 WIB.
Sang surya semakin meninggi tetapi udara sejuk ini masih saja membuat damai di hati. Kami turun gunung pukul 6.30 dengan langkah yang lebih cepat. Sepanjang jalan kami kerap mengambil foto dengan latar pegunungan.
Maklum, saat naik gelap masih menutupi panorama di sisi Ijen ini. Jalan pulang ternyata tak semudah yang dibayangkan. Walaupun menurun namun kami tetap menahan beban.
2 jam kemudian kami kembali ke Pos Paltuding. Mandi dan makan serta beristirahat lagi. Bersiap kembali pulang dengan jiwa yang sudah lebih tenang. Kami meninggalkan Banyuwangi. Dalam hati berharap pandemi ini cepat usai dan saya pun dapat mengarungi The Sunrise of Java lebih lagi.
(elk/elk)