Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengisi waktu luang di bulan Ramadan. Tetap bisa melakoni hobi tanpa harus kehilangan waktu dan kesempatan untuk melakukan aktivitas bernilai ibadah mengisi bulan suci.
Nah, bagi traveler yang suka bepergian, berfoto-foto sekaligus mengunjungi tempat-tempat baru yang unik dan tak biasa, maka bertraveling mengunjungi masjid-masjid tua dengan catatan sejarahnya yang panjang adalah sebuah kegiatan yang amat menyenangkan. Traveling di bulan puasa tak perlu jauh-jauh, apalagi sampai harus menyeberangi lautan dan meninggalkan kota tempat tinggal demi untuk menemukannya.
Cukup lihat dan layangkan pandangan ke lingkungan di sekitar kita. Percayalah, jika anda cukup jeli dan mempunyai minat cukup besar akan tempat-tempat bernilai sejarah, maka niscaya anda akan dengan mudah menemukan spot-spot lokasi yang bernilai historis tinggi.
Di Kota Payakumbuh sebuah kota kecil yang berada sekitar 120 km jaraknya ke arah utara dari Kota Padang ibu kota provinsi Sumatera Barat, ada sebuah masjid yang sarat dengan catatan sejarah perkembangan agama Islam di Ranah Minang. Tak jauh dari pusat kota, tepatnya di kelurahan Balai nan Duo kecamatan Payakumbuh Barat, masih berdiri dengan kokoh sebuah masjid tua yang dibangun dengan struktur kayu, berasitektur khas surau-surau lama di Minangkabau.
Masjid Godang Koto nan Ompek namanya. "Godang" adalah dialek Payakumbuh untuk kata "Gadang" dalam bahasa minang yang berarti "besar". Sedangkan koto nan Ompek adalah nama nagari tempat keberadaannya.
Dari beberapa sumber literatur yang ditemukan, diketahui bahwa Masjid ini dibangun sekitar tahun 1840, di atas lahan yang merupakan wakaf dari empat kaum di daerah Koto nan Ampek saat itu, yaitu kaum Datuk Bangso Dirajo Nan Hitam, Datuk Rajo Mantiko Alam, Datuk Paduko Majo Lelo, dan Datuk Sinaro Kayo.
Dari tahun pendiriannya ini, kita dapat memahami bahwa masjid ini didirikan tak lama setelah jatuhnya seluruh daratan Minangkabau ke dalam genggaman penjajahan kolonial Belanda, yaitu sekitar lebih kurang 3 tahun setelah berakhirnya Perang Paderi di tahun 1837.
Perang Paderi ini sendiri merupakan perlawanan terbesar yang tercatat dalam sejarah masyarakat Minangkabau terhadap kolonial yang meluluhlantakkan ranah minang dalam periode 1821-1837. Fakta ini menunjukkan bahwa pembangunan masjid ini terlaksana di masa-masa "kelam " dan menyedihkan bagi orang Minang.
Masa ini adalah periode awal dimana masyarakat minang sedang "berduka" akibat takluknya daerah mereka terhadap penjajah kolonial Belanda dalam Perang Paderi. Bisa jadi, pembangunan masjid ini juga bagian dari usaha "mengobati hati" masyarakat Minang yang sedang "terluka".
Selanjutnya, Masjid Godang memiliki atap segi empat dan piramid lancip
(ddn/ddn)