Pulang kampung, hal yang paling ditunggu ketika hari libur tiba. Kali ini pun aku pulang, dan tentu naik kereta api.
Kebanyakan orang juga akan senang bila bepergian dengan menggunakan moda transportasi yang satu ini. Apalagi anak-anak akan langsung bersorak gembira bila mendengar akan naik kereta api.
Salah satu rute yang sering aku lalui antara Jakarta dan Purwokerto. Ada dua jalur kereta api yang dapat dilalui, dikenal jalur utara dan selatan.
Dan aku sendiri lebih menyukai bila pulang lewat jalur selatan dengan perjalanan di siang hari. Menggunakan KA Serayu, kereta akan berjalan memutar lewat Bandung dan ini jadi salah satu pilihan terbaik bila memiliki waktu yang cukup dan dompet pun aman.
Dengan membeli tiket seharga Rp 67.000-an kita sudah dapat menaiki kereta ini. Perjalanan yang sangat panjang dari mulai Stasiun Pasar Senen sampai dengan Stasiun Purwokerto sejauh 417 km.
Waktu yang di tempuh selama 10 jam 55 menit. Dan memilih tempat duduk di gerbong paling belakang, akan mendapat sensasi tersendiri karena akan melihat kereta yang meliuk ke kiri dan ke kanan sangat memukau.
Bila dibayangkan perjalanan panjang dan lama ini, tentunya sangat membosankan terlebih dengan posisi duduk yang tegak lurus. Sama sekali tidak, ini sebuah perjalanan yang sangat menarik untuk dinikmati.
Walaupun kereta akan berhenti di 20 stasiun besar atau kecil tak akan terasa. Dimulai dari melintasi daerah Karawang, mata kita akan disajikan dengan pemandangan sawah hijau yang luas membentang.
Ketika kereta melewati daerah Plered, masih di wilayah Kabupaten Purwakarta. Pemandangan yang dapat dilihat di sebagian sawah, padi telah menguning dan di bagian lain aku melihat para petani sedang memotong padi dengan ayunan aritnya.
Sampailah bentangan ini di daerah Darangdan, Purwakarta. Sawah hijau yang mampu membuat mata menjadi segar oleh padi yang tumbuh dengan subur.
Kini yang ku lihat para petani berjalan melintasi sawah sambil sesekali mengayunkan tangannya. Kereta dengan gagah berjalan di atas rel besi lurus ke depan, dengan sesekali membunyikan peluit panjangnya.
Sehabis menikmati keindahan sawah dan memasuki tebing-tebing tinggi dan aku merasa kereta memperlambat lajunya, sangat perlahan. Tampak dari kejauhan Jembatan Cisomang yang berdiri dengan sangat anggun.
Jembatan ini menghubungkan bukit yang satu ke bukit lainnya, dan merupakan bagian dari jalan tol Cipularang. Tiba-tiba kereta masuk dalam gelap, terus melaju dan ternyata aku sadar kereta masuk ke dalam terowongan panjang.
Terowongan Sasaksaat terletak di daerah Sumurbandung, wilayah Bandung Barat. Terowongan yang memiliki panjang 949 meter, di bangun tahun 1902 ini merupakan terowongan terpanjang di Indonesia.
Karena aku mengambil tempat duduk di bagian gerbong paling akhir, jadi dapat menyaksikan wujud dari terowongan ini begitu kereta api keluar. Indah sekali mulut dari terowongan ini dengan rel kereta di tengah yang memanjang, seolah menyatu dalam bingkai lukisan arsitektur yang indah.
Perlahan tapi terus maju, kereta melewati kota Padalarang, Cimahi, Bandung, Rancaekek menuju Garut. Di penghujung kota Bandung tampak berdiri megah Stadion Gelora Bandung Lautan Api di daerah Gedebage.
Pemandangan indah akan dimulai kembali ketika kereta sudah memasuki Stasiun Cibatu. Keindahan alam tersaji baik di kiri atau kanan sisi kereta.
Kereta berjalan di antara bukit dan melihat ke arah gunung yang menjulang tinggi. Sepanjang 59 km terasa sangat singkat, keindahan yang luar biasa laksana lukisan dewata dapat dinikmati sambil menghirup kopi panas yang disediakan resto KAI.
Mitos mengerikan KAI di Garut
Ada keunikan tersendiri ketika kereta api sampai di Stasiun Cipeundeuy, Malangbong Garut. Konon kereta api yang akan melintasi daerah ini diwajibkan untuk berhenti agar selamat.
Hal ini sudah diterapkan sejak stasiun ini berdiri pada jaman Belanda hingga sekarang. Turun dari kereta untuk meluruskan kaki menjadi saat paling bahagia.
Setelah lima jam perjalanan walau tidak membosankan tetapi cukup pegal juga. Sambil mencari tau mengapa kereta harus berhenti di sini. Dan ternyata semua kereta harus diperiksa fungsi rem.
Jalan yang akan dilalui menanjak dan berbelok lalu menurun. Jadi terjawab sudah mengapa semua kereta diwajibkan untuk berhenti. Kereta akan berhenti untuk waktu yang cukup lama di Stasiun Cipeundeuy.
Gebrakan Bapak Ignatius Yonan yang membersihkan pedagang dari wilayah stasiun sangatlah berhasil. Tetapi tidak berlaku untuk Stasiun Cipeundeuy, segerombolan ibu-ibu akan menyambut kita di luar pagar stasiun dengan berbagai macam dagangan. Ada pecel, siomay, cilok, gorengan, sate, minuman, mie dan lain sebagainya.
Setelah 20 menit, kereta membunyikan peluit panjangnya dan siap untuk melanjutkan separuh perjalanan lagi. Menuju perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah, mata mulai merabun dan lelah melanda.
Jadi tak ada cerita di sini, mata pun terpejam. Hari menjelang senja dan terlihat langit mulai menguning dari mulai Stasiun Sidareja sampai dengan Stasiun Kroya.
Sekali lagi alam menyajikan lukisan yang luar biasa antara garis bumi di ujung sawah dengan warna langit keemasan. Dan saat tiba di Kroya senja pun mulai berganti malam.
Setelah loko di pindah ke bagian belakang, maka kereta pun siap untuk melanjutkan perjalanan ke stasiun akhir Purwokerto.
Kereta juga melewati Terowongan Kebasen yang memiliki panjang 292 meter dan yang terakhir Terowongan Notog dengan panjang 476 meter. Terowongan peninggalan jaman Belanda yang tetap dipergunakan hingga saat ini.
Perjalanan murah meriah dengan pemandangan yang sangat indah memukau mata yang memandang. Berulang kali melewati jalur ini tak ada kata bosan. Bangga pada Indonesia.
(msl/msl)