Suasana pesantren lawas di kabupaten kecil pesisir selatan Jawa itu mengingatkan kita pada Kesultanan Mataram Islam di abad 17-an. Para santri yang hendak mengaji, mengadopsi budaya Islam dan keraton dalam hal berpakaian.
Ada santri yang memakai udeng, blangkon, batik, peci, sarung, dan pakaian khas dari desa masing-masing. Referensi yang digunakan dalam belajar mengajar pun menggunakan kitab kuno berwarna kekuningan, ditulis Syaikh Muhammad bin Qasim al-Ghazziy di abad ke-15.
Konon kitab berjudul Fathul Qarib al-Mujib atau al-Qaulul Mukhtar fi Syarah Ghayah al-Ikhtishar itu menjadi rujukan hukum fiqh keluarga besar kesultanan islam di nusantara dan dunia pesantren yang mulai berkembang di lingkungan kyai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahasa yang digunakan juga tak lepas dari arab pegon Jawa, bahasa khas untuk memaknai kitab kuno sekaligus upaya komunikasi pejuang islam dalam mengelabui penjajah.
Perguruan ini bernama Pesantren Kebangsaan Al Mimbar (PKAM) dengan program madrasah diniyah merdeka nusantara. Letaknya di kawasan Masjid Al Mimbar Majan Tulungagung, Jawa Timur.
Sejarah berdirinya masjid dan pesantren ini tak bisa lepas dari pengaruh Kesultanan Mataram Islam yang melebarkan kekuasaan hingga ke timur Jawa. Sebagai pemegang Serat Kekancingan dari Sri Susuhunan Pakubuwono II yang menjadi Sultan Mataram saat itu, Eyang Raden KH. Khasan Mimbar telah meletakkan pondasi agama, sosial budaya, dan tatanan masyarakat yang kuat di Kabupaten Tulungagung (saat itu masih bernama Kadipaten Ngrowo).
Sejarah mencatat bahwa Eyang Raden KH. Khasan Mimbar berhasil menata masyarakat Tulungagung dengan mengawinkan budaya luhur nusantara dan nilai beragama yang diterima oleh kearifan lokal.
PKAM ini lahir dari hasil penggalian sejarah Pesantren Grenjol, embrio merdeka belajar rintisan Eyang Raden KH. Khasan Mimbar dan dilanjutkan penerusnya Eyang Raden KH. Muhammad Syarif.
Konon kata grenjol ini adalah usulan dari masyarakat setempat karena makna grenjol yakni bergelombang atau tidak rata. Hal ini berdasar pada fakta latar belakang santri yang beragam, bhineka tunggal ika.
Penamaan ini menjadi unik sebab tidak diambil dari bahasa arab tapi menyerap aspirasi lokal sehingga mudah diingat. Keputusan ini pula yang mendasari bahwa para kyai dan ulama' pendahulu mempunyai jiwa semangat nasionalisme yang kuat.
Selain mengkaji kitab-kitab kuno, santri PKAM mendapatkan materi kekinian agar tidak ketinggalan zaman. Misalnya, pengurus PKAM mendatangkan narasumber dari Polres, Kodim 0807, dinas pendidikan, Kemenag, BPBD, kesbangpol, BNN, dinas kesehatan, dan Dinas UMKM Tulungagung untuk memberikan materi wawasan kebangsaan.
Kurikulum yang dipakai yakni implementasi pembelajaran berbasis kompetensi dan penyediaan lebih banyak kesempatan bagi santri untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler.
Perlu diketahui bahwa santri PKAM ini berasal dari siswa SMA/SMK se-Tulungagung dan Trenggalek yang mendapatkan izin dari sekolahnya masing-masing. Keberadaan PKAM yang mengusung konsep santri berbudaya ini ingin mencetak karakter santri yang moderat dan toleran namun tetap progresif dalam mengarungi kehidupan modern.
Setidaknya ada beberapa alasan PKAM ini ada diantaranya sebagai respon kebijakan Menteri Nadiem Makarim tentang Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Selain itu, agar para santri tidak terjerumus dalam pemikiran islam yang kaku, eksklusif, intoleran bahkan berafiliasi pada organisasi yang sudah dilarang pemerintah seperti HTI dan lainnya.
Terobosan baru dalam sistem pendidikan juga penting dengan pendekatan kemajuan teknologi yang digandrungi generasi milenial agar tidak jatuh ke pemahaman radikalis-esktrimis di dunia digital. Gus Ali sebagai Ketua Yayasan Al-Mimbar menyatakan bahwa santri dahulu dan sekarang banyak perbedaannya.
Dalam hal pendidikan agama seperti dunia pesantren perlu penyesuaian dengan gaya milenial yang menggandrungi digitalisasi. Kurikulum pembelajaran harus mengadaptasi perubahan perilaku agar santri dapat membentengi diri dari kriminalitas, narkoba, bullying, maupun kenakalan remaja lain yang tidak sesuai dengan karakter budaya timur.
Konsep santri berbudaya mengacu pada peserta didik pesantren yang menghargai dan memelihara nilai-nilai budaya islam secara utuh dan menyeluruh. Konsep ini menekankan keseimbangan akademik dan spiritual, serta penanaman karakter yang kuat dalam pelajaran maupun kehidupan sehari-hari.
Contohnya taat pada ajaran agama, rasa hormat dan kesopanan, sikap rendah hati, jujur, sederhana, dan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat sekitar dengan nilai-nilai agama yang tasamuh (toleran), tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), dan i'tidal (lurus).
Selain berbudaya, santri juga didorong paham dunia digital dan ekologi. Konsep santri digital diharapkan dapat membuka akses dan memfasilitasi peserta didik dari lingkungan pesantren untuk berpartisipasi dalam ekosistem digital dan mendukung keterampilan mereka dalam menghadapi tantangan era digital.
Sedangkan secara ekologi, santri diharapkan menjadi agen perubahan dalam menjaga keberlangsungan lingkungan hidup. Misalnya dengan belajar langsung di alam seperti ziarah ke makam Bupati Tulungagung di abad 17 hingga 20.
Lokasi makam yang unik dan dikelilingi pepohonan asri menjadi proses pembelajaran istimewa bagi para santri. Pesantren Kebangsaan Al Mimbar ingin memberi warna baru dalam menjaga keutuhan NKRI melalui dunia pesantren.
Sebagaimana cara dakwah Wali Songo dalam pesan Serat Lokajaya yang berbunyi: "Anglaras ilineng banyu angeli ananging ora keli, uningo gandaning nabi." Betapa penting mengikuti arus kehidupan dan menjaga keseimbangannya.
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!