Pengalaman Magis Nonton Pertunjukan Lutung Kasarung di Bandung

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Pengalaman Magis Nonton Pertunjukan Lutung Kasarung di Bandung

Fira Amarin - detikTravel
Rabu, 22 Okt 2025 21:40 WIB
loading...
Fira Amarin
Bayangan Putri Purbasari dengan dua penari yang bergerak seirama
Suasana sebelum pertunjukan dimulai
Akhir bahagia antara lutung dengan Putri Prubasari
Purbasari bernyanyi pilu lagu duka yang mengiringi tubuhnya berubah karena racun kutukan.
Keramaian sebelum teater dibuka
Pengalaman Magis Nonton Pertunjukan Lutung Kasarung di Bandung
Pengalaman Magis Nonton Pertunjukan Lutung Kasarung di Bandung
Pengalaman Magis Nonton Pertunjukan Lutung Kasarung di Bandung
Pengalaman Magis Nonton Pertunjukan Lutung Kasarung di Bandung
Pengalaman Magis Nonton Pertunjukan Lutung Kasarung di Bandung
Bandung -

Bayangkan menonton legenda Sunda tanpa satu pun aktor di panggung. Tak ada wajah, tak ada kostum hanya bayangan yang menari di atas layar putih. Ini kisahnya:

Pertunjukan ini hanya terdiri dari bayangan yang berpadu dengan musik dan cahaya. Tapi justru dari situ, kisah Lutung Kasarung terasa lebih hidup dari yang pernah kubayangkan.

Itulah yang kurasakan saat menyaksikan The Shadow Theatre: Lutung Kasarung di Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat, Bandung. Sebuah pertunjukan hasil kolaborasi antara Reupbray Production dan Indigo Moon Theatre dari Inggris.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bukan teater biasa, melainkan perpaduan antara tradisi wayang kulit dan teknologi pencahayaan modern yang menciptakan pengalaman magis.

Awalnya aku tahu dari unggahan Instagram Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat kolaborasi antara Reupbray Production dan Indigo Moon Theatre asal Inggris.

ADVERTISEMENT

"Shadow theatre?" pikirku waktu itu. Seperti wayang, tapi lebih magis. Rasa penasaran itulah yang akhirnya membawaku ke Teater Tertutup Taman Budaya pada Sabtu, 11 Oktober 2025.

Begitu tiba di lokasi, suasana sudah hidup. Para pengunjung datang bersama keluarga, beberapa anak kecil berlarian sambil menunggu giliran masuk. Di area depan teater, panitia menyambut setiap tamu dengan ramah di meja penerimaan.

Tiket yang sebelumnya dibeli secara daring dengan kisaran harga mulai Rp50 ribu hingga Rp150 ribu yang kemudian ditukarkan dengan tiket masuk berbentuk gelang untuk dipakai selama acara berlangsung.

Tak jauh dari sana, deretan stan UMKM lokal ikut meramaikan suasana ada yang menjual aksesoris batik, minuman segar, sosis panggang, hingga cookies rumahan. Di sudut lain, live performance music mengalun mengiringi percakapan para pengunjung.

Hangatnya interaksi manusia di tengah udara sejuk Taman Budaya membuat siapa pun betah menunggu pertunjukan dimulai. Begitu pintu teater dibuka, kami diarahkan ke kursi masing-masing. Lampu belum sepenuhnya padam, tapi suasananya sudah terasa berbeda.

Lampu temaram, panggung berselimut cahaya lembut, dan tulisan Lutung Kasarung terpampang besar di layar. Saat musik mulai dimainkan, aku serasa melangkah masuk ke dunia lain campuran antara mimpi, legenda, dan bayangan.

Pertunjukan dibuka dengan sambutan dari Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, Dr. Iendra Sofyan, yang menekankan pentingnya ngamumule budaya Sunda lewat cara-cara kreatif.

Setelahnya, produser Reupbray Production, Ari Marifat, tampil penuh semangat meski suaranya serak. Ia bercerita tentang beratnya proses produksi dan rasa syukurnya melihat banyak penonton hadir.

"Kalian mungkin beli tiket tanpa tahu ini pertunjukan seperti apa," katanya sambil tertawa kecil. "Tapi hari ini, saya melihat kursi lumayan terisi banyak. Berarti kami sangat diapresiasi. Jadi terima kasih banyak," ujarnya.

Lalu lampu benar-benar padam. Satu cahaya menyorot layar putih besar di tengah panggung. Dari baliknya, muncul bayangan Putri Purbasari yang menari lembut. Di depannya, dua penari lain bergerak seirama, menciptakan harmoni antara manusia dan bayangan.

Musik mengalun pelan, menghidupkan kisah cinta, kesetiaan, dan keajaiban dari legenda Sunda. Bayangan itu tak lagi tampak datar. Ia seperti hidup menari, melayang, bahkan bernyanyi.

Teknik single spotlight membuatnya tampak tiga dimensi tanpa kehilangan sentuhan klasiknya. Inilah hasil perpaduan tradisi wayang kulit dengan teknologi pencahayaan modern.

Dalam satu jam pertunjukan, aku merasa seperti menyaksikan dongeng masa kecil yang bangkit dari buku, lalu menari di depan mata.

Usai pertunjukan, aku sempat berbincang dengan sutradara Haviel Perdana atau Mang Apiw, sosok di balik konsep visual yang menakjubkan itu.

"Saya ingin menghadirkan konsep family entertainment," katanya. "Pertunjukan seperti ini bisa ditonton bareng-bareng anak, orang tua, kakek, nenek semua bisa menikmati tanpa merasa asing dengan budaya sendiri," ujarnya ramah.

Ia juga menjelaskan bagaimana kolaborasi dengan Indigo Moon Theatre membuka banyak kemungkinan baru bagi seni pertunjukan di Bandung.

Sore itu, tepuk tangan penonton menggema panjang. Beberapa anak tampak antusias bertanya tentang kisah Lutung dan Purbasari, sementara orang tua mereka tersenyum haru.

Aku sendiri terdiam cukup lama sebelum akhirnya melangkah keluar dari teater. Lampu taman sudah menyala temaram, dan bayangan di pikiranku masih menari.

Mungkin seni memang tidak pernah tua hanya butuh cara baru untuk dikenang. Dan malam itu, Bandung memberiku cara yang paling magis untuk mengingatnya.

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads