Jumat (22/6/2012) lalu, tepat pukul 10.00 WIT, saya menginjakkan kaki di halaman museum ini. Pintu museum hanya dibuka sebelah. Tiba-tiba, seorang wanita keluar dari pintu sambil memegang tangkai sapu.
"Kakak, museumnya sudah buka?" tanya salah satu teman saya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tiket masuk Museum Provinsi Papua hanya Rp 3.500, berlaku setiap hari kecuali hari libur nasional. Wanita yang tadi bersih-bersih ruangan pun menuntun kami masuk ke dalam ruang pamer pertama, terletak persis di atas ruang selamat datang.
Lampu lantai atas kembali dinyalakan. Ruangan itu berbentuk bundar, dengan etalase kaca yang berjejer di sepanjang dindingnya. Ruangan ini memuat peninggalan-peninggalan dari berbagai daerah di Provinsi Papua, termasuk Biak Numfor dan Lembah Baliem.
Tas, bantal, koper, manik-manik, hingga alat musik khas Papua berjejer di masing-masing etalase. Ada pula piring-piring peninggalan Belanda serta guci-guci dari China, yang pada masanya digunakan sebagai mas kawin. Selesai berkeliling, lampu kembali dimatikan. Kami beranjak menuju ruangan kedua.
Beruntung, Kepala Museum sedang ada di sana saat itu. Yakomina Rumbiak, begitu nama wanita itu, ikut mengantar kami berkeliling di ruang pamer kedua. Ruangan ini lebih luas dari ruang pamer pertama, pun menyimpan koleksi sejarah yang lebih banyak pula. Mulai dari aneka koteka dan rok khas Papua, hingga foto-foto Perang Dunia II.
"Sekarang ini mulai jarang sekali yang datang ke museum. Kenapa? Padahal museum itu tempat pertama yang harus dikunjungi waktu datang ke daerah yang dituju. Lewat museum, orang jadi tahu daerah-daerah dan budaya yang melekat di situ," tutur Yakomina.
Dahi wanita itu mulai kerung dan suaranya semakin bernada miris. Katanya, turis asing yang datang ke sini pun berkurang secara signifikan. Padahal tak ada perubahan apa pun pada tubuh museum ini, malah koleksinya bertambah.
"Dulu tahun 1980-90an turis asing membludak. Sekarang jangankan turis asing, turis domestik jarang sekali yang ke sini," tuturnya, tersenyum kepada kami berempat.
Padahal museum ini punya segala informasi tentang Provinsi Papua mulai dari arkeologi, etnografi, seni dan budaya, geologi, biologi, hingga relik sejarah. Ada lebih dari 3.600 koleksi bersejarah yang ada di dalamnya, menjadi saksi bisu atas bergeraknya zaman.
Yakomina pun menerawang di dalam museum yang berada di bawah kuasanya. Hingga pukul 12.00 WIT, tak ada satu pun turis yang menyusul kami ke Museum Provinsi Papua. Namun museum ini bukannya tidak berkutik sama sekali. Seringkali diadakan pameran keliling di berbagai kabupaten di Papua, termasuk juga sekolah-sekolah untuk menggalakkan Gerakan Nasional Cinta Museum.
"Kalau mereka nggak mau ke sini, biar kami yang ke sana," katanya.
Sang Kepala Museum lalu menjelaskan berbagai hal seputar relik sejarah, budaya, serta motif-motif yang terukir di patung dan tiang rumah khas Papua. Ia menceritakan kedekatan hubungan hewan dengan manusia saat saya mengambil gambar tiang unik berukir manusia dan buaya.
Di museum ini, saya mendapat banyak pengetahuan yang jauh lebih banyak dari sekadar berselancar di dunia maya. Rupanya benar kata Yakomina, museum adalah potret hidupnya sejarah masa lalu. Museum Provinsi Papua pun masih membuka pintu lebar-lebar, bagi siapa pun yang mau mendalami kekayaan Papua. Kapan Anda ke sana?
(shf/fay)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Prabowo Mau Beli 50 Pesawat Boeing dari Trump: Kita Perlu Membesarkan Garuda
Bandara Kertajati Siap Jadi Aerospace Park, Ekosistem Industri Penerbangan